Thursday, July 10, 2008

TOUR DE KAMPOENG *Huh...! Kejaaam*

kisah yang lalu : episode : MAKAN SIRIH BARENG (it’s very-very dangerous. Do not try this at home)

pagi itu disela-sela acara tour de kampung.

Saya *si anak manja ituh * : “Tapi Swas.. aku pengen pipis nih”

Suwasti *dengan tampang sebal* : “Ya pipis ajah disini”

Huh kejam! Dia sih enak. Udah pup di seberang kali. Diantara semak belukar pula.

Lah diriku? Yang ditinggalkannya merana sendirian di seberang kali. Mengamati ibu-ibu mencuci pakaian, remaja putri yang mencuci piring gelas. Dan bocah kecil yang mengambil air dalam batang bambu.

Kemudian ekor mataku melihat gadis remaja yang baru datang. Menarik sedikit kainnya. Dan duduk berjongkok di tengah aliran sungai.
 
Suwasti *lagih* : “kayak gitu tuh”

Aku nyengir.

Seperti penjelasan Suwasti kemudian. *sekarang kami sudah gencatan senjata* untuk urusan MCK, mereka menganut sistem zoning, pembagian wilayah. Untuk para lelaki, MCK mereka ada  di sekitar jembatan, nah …cewek sedikit di hilir.  Nggak boleh pake bahan kimia. Jadi, nggak ada sabun, odol and the gank.

Gelasnya pun dari buluh bambu. Piring dan mangkuk yang mereka pakai dari keramik. Antik banget. Jangan-jangan ada peninggalan kaisar Ming disini. *wondering*

Pakaian mereka hanya ada dua warna. Putih dan hitam.  Pakaian untuk kaum pria  *termasuk anak-anak kecil-nya ya* pasti memakai ikat kepala berwarna putih. Baju kurung lengan panjang jahitan tangan. Warnanya hitam, putih atau kombinasi keduanya -putih dengan lengan hitam- wah.. trendy juga.

Bawahannya nggak dijahit seperti celana, tapi berupa kain hitam bergaris yang disarungkan diatas lutut. Lengkap dengan golok baduy yang tersampir di pinggang masing-masing.  Sayang nggak bisa dipotret.













Nah.. sekarang mengenai para wanita. Bentuk dan warna bajunya sama, baju kurung hasil jahitan tangan yang amat rapi. Dikombinasikan dengan kain kain hitam panjang. Untuk ibu-ibu dan gadis remaja rambutnya biasanya digelung. Pake make up pula. Cantik sekali. *saya nggak tau mereka pake make up apa. Soalnya, tiap dideketin pasti mereka ngumpet, atau malu-malu kuciang gitu deh*

Dan baik laki-laki dan perempuan menambah asesories gelang dan kalung manik-manik berwarna warni. Kereeeen…!

Orientasi rumahnya juga searah *kalo  nggak salah utara selatan yaa.. kalo salah maaab* ada jalan utama, ada jalan sekunder. Jalan selebar 1-2 meter yang diberi paving potongan batu alam.

Di ujung kampung, ada tanah luas yang kusebut alun-alun.

Bentuknya persegi panjang, persis kayak lapangan bola. Di sisi terpendeknya terdapat rumah puun kampung cibeo.

Di sisi terpanjang  alun-alun ini, berderet beberapa rumah tinggal.

Salah satunya milik jaro. *tangan kanannya pu'un* dan jauh diseberang rumah pu'un di ujung lapangan ini, ada tempat menumbuk padi dan bale pertemuan. Bangunan beratap tanpa dinding. Aku dan Suwasti sempet lihat ibu-ibu numbuk padi pagi itu. Dan tak jauh dibelakangnya mengalir sungai yang tadi kami datangi itu.


“akhirnya datang juga!”

Seru Sondang dan Hanum bersamaan. *kayak acara di TV itu lho* sementara di dapur, Taufan sedang sibuk memasak nasi goreng untuk kami semua. Oh. Ada tambahan bubur kacang hijau pula. Wheeeeh.. syedaaaap…!


Kami sarapan tak sendiri. Pasti ada deh, satu atau dua orang baduy yang datang berkunjung dan menemani. Juga anak-anak kecil yang ‘diteror’ Hanum untuk makan bubur kacang hijau.

“Program perbaikan gizi, mbak”

Buktinya mereka doyan tuh.

Setuju Hanum!

Sayang kami harus segera pulang. Kalo nggak mau ketinggalan kereta.

Pagi-pagi sekali kami harus mulai bergerak meninggalkan kampung Cibeo.  Jalur pulang kami tidaklah sama dengan kemarin. Kali ini kami menuju Ciboleger. Sebenernya Ciboleger ini adalah pintu masuk resmi bila ingin berkunjung ke kawasan Baduy.

Pak Sardi melepas kepergian kami.  Ada dua orang yang ingin menemani kami hingga Ciboleger. Ada satu bapak juga yang pengen ikut.

“Pengen jalan-jalan aja katanya”  jawab Suwasti ketika aku tanya kenapa.

Kami berlima berjalan  meninggalkan rumah pak Sardi. Menjemput Taufan di rumah tetangga. Lah? Mbawa apa dia? Di kerir 45 liternya sudah menggantung dua tempat air yang terbuat dari labu. Bentuknya jadi seperti bebek gitu deh. Warnanya abu-abu kehitaman. Dan ketika aku pegang.

“Duh.. fragile banget sih Faaan!”

Aku ragu kendi itu akan bertahan hingga Jakarta. *dan berharap pecah di jalan.. huehehe…maab paaak.. ampuuun*

*and you know what? Akibatnya aku dikutuk untuk terus memangku kendi itu sepanjang perjalanan dari Rangkas menuju Jakarta. Terus waspada mode on sepanjang jalan.  Takut pecah boooo! Duduk berhimpitan diantara penumpang lain dan pedagang asongan yang terus-menerus lewat di dalam kereta. Hiks! Dunia memang kejaaaaaaaam…*

Nah.. kembali ke perjalanan menuju Ciboleger. Jam setengah sembilan tepatnya kami baru melangkah meninggalkan Cibeo. Mulanya melewati jembatan bambu. Dan dimulailah petualangan never ending tanjakan yang terkenal itu. 

Daypack Suwasti dibawakan oleh salah satu penduduk Baduy yang menemani kami hari itu.

“sok luuuu”

“katanya pendakiiiih”

“halaaah.. pake malu-malu segalaaaa”

Itu kata-kata bijak kami pagi itu padanya.


Dan Suwasti tersenyum malu.  Sebenarnya, kami berlima yang baik hati dan tidak sombong ini   tahu kalo bahu kiri Suwasti sempat cidera waktu maen sepeda awal bulan lalu. 



Nggak pengen dong, cideranya bertambah parah. Apalagi kemaren kaki kanannya sempat terkilir pula. Waaah.. banyak amat sih bu?

Formasi barisan, tetap seperti kemarin. Di depan teman baduy kami sebagai penunjuk jalan. Taufan, Hanum, Sondang, Aya, Suwasti dan aku beriringan di belakang.

Jalur yang kami lalui ini tidak melalui Gajeboh yang harus naik turun bukit dan menuruni lembah yang panjang itu.  Tapi memotong jalan.

Mendaki sedikit dan tetap berada di pucuk-pucuk bukit *hihihi.. susah juga nih istilahnya* dan masuk ke hutan lindung.

Untuk menyusur gigiran pasir. Sayang nggak bisa motret. Padahal hutannya indah sekali.  Katanya, ntar di ujung hutan. Udah bisa motret. Udah masuk baduy luar.

Aku *pengen tahu* : “udah bisa motret belum, Kang?”

“Belum”


Sempet ketemu monyet. *dari jarak jauh tentunya* melihat jebakan burung *bentuknya batang bambu yang dipasang vertikal dengan tali layangan -seperti kerekan tiang bendera- kemudian dipasang jaring diujungnya dan secara berkala di periksa. Siapa tahu, ada yang terjerat*. Juga tangga bambu untuk memetik buah aren. Berupa satu batang bambu yang di beri tukikan setiap 30 cm untuk pijakan kaki. Nah. Batang itu diikatkan di pohon aren. Dan.. voila.. jadi deh.. tangga buat naek ke atas.

Aku *lagi-lagi iseng tanya* : “udah bisa motret belum?”

“Beluuuuuuum”  kali ini beberapa orang turut menjerit.

Aku nyengir lagi.


Catatan : foto ilustrasi yang digunakan dalam catper ini adalah foto-foto selama di baduy luar. Pada dasarnya gambaran yang diberikan kurang lebih sama antara baduy luar dan baduy dalam.


selanjutnya episode : who scrathes at the blue sky

12 comments:

Suzanna Vivian Mokalu said...

iiih aku kangen baddduuuy.....

*kangen jalan sama swasti wanita perkasa itu juga*

Irfan Yusuf said...

suwasti gayanya ganjen bgt sey :p

nefransjah :) said...

ries, suka foto anak kecil yg di pojok rumah dan foto penduduk yg three-shot.
kapan kita jalan lagi ries? kangen gueeee! :)

mlaku mlaku ambar said...

masih nunggu cerita dede kecil

suwasti dewi said...

hahahahaha... baduy selalu never ending story .....

suwasti dewi said...

jadi mau balet dibilang perkasa....
penyakitan ginihhh....

suwasti dewi said...

gaya ganjen bareng yuk leth....

Imam Arkananto said...

foto-fotonya bagus banget ...clear and sharp....pake kamera apa mbak?

a riesnawaty said...

nikon D70 mas...

a riesnawaty said...

uik...uik... ;p

a riesnawaty said...

:D

a riesnawaty said...

begitulah adanya swaas..

 
;