Tuesday, October 23, 2007

TIME edisi women of the year 1997

Setelah berbulan-bulan selalu saya tunda, akhirnya minggu lalu saya bereskan juga lemari buku di kamar depan. Rupanya ada satu box isi foto-foto lama. Salah satunya ya foto ini. Fotonya diambil tepat sepuluh tahun yang lalu, di waktu yang sama akhir Oktober tahun 1997.

 
Foto saya : berkacamata, berkonde, berkebaya biru, memakai jubah hitam dan toga pinjaman.Sedang menatap lensa kamera dengan senyum penuh arti ..  -ah, lugunya-

Saya jadi ingat, setelah acara wisudaan dan kembali dari foto studio, tahu-tahu di atas meja sudah ada sebuah foto ukuran 10R.

Pose saya pada sampul depan majalah  bertajuk women of the year 1997.  –yah .. kapan lagi hihihi-  Agak norak dikit sih  Siapa lagi sang tertuduh kalau bukan kerjaannya bokap.  Mungkin karena terlalu bahagia ya karena  anak sulungnya sudah jadi sarjana.

Astagaaaa….jadi berasa udah tua nih. Ngomongin umur. Raut wajah saya nggak berubah ya? Masih pake kacamata. Masih nyengir tak terkendali. Bener nggak sih?

 
- bsd , 15:03 23 okt 07 hujan gedeee bangeeeet, si empus lagi ngumpet di dalem lemari-

Saturday, October 13, 2007

argopuro dan kabar dari jakarta

teman-teman, ini kejadian waktu  kami ada di sikasur. waktu itu sudah hari ke tiga kami di argopuro.

Minggu 19 agustus 07

Aku kena sariawan. Ada delapan titik. Menyiksa sekali deh. Mungkin karena kurang makan buah. Mungkin juga karena kurang vitamin.  Atau karena panas dalam.  Mungkin juga karena aku bukan dokter. Hei! Serius amat bacanya :)

Yang jelas, bibirku juga pecah-pecah. Jangankan untuk nyengir. Mau ngomong aja rasanya pengen nabok orang karena perihnya. 

Hari itu aku bersumpah :
kalau bisa dapet abothyl (catatan : obat sariawan, obat tetes, warna ungu tua, umumnya ditakuti para penderita sariawan :) akan kuobati sariawan ini.

“saya punya mbak”  Cahyo menyahut entah darimana.

Damn! Kepiting rebus! kecoak busuk! Sejuta topan badai!  Aku ciut. Nggak berani.

 

Siang

Akhirnya pos Sikasur sepi juga.  Kini pondok kami kuasai :D. Tetangga sudah mengepak barang dan turun menuju Baderan. Aku bangun siang.  Yang lain juga begitu. Semalam, aku, Joko dan Wangsa tidur berhimpitan bersama dua remaja rempakem itu diantara : trangia, beberapa kantong logistik, kerir, sepatu dan jemuran pakaian basah kami.

Ah, siapa bilang tidur di dalam pondok lebih hangat. Tidurku tak nyenyak karena dingin. Lihat saja, pos ini tak lagi berpintu dan dinding utara hilang sebagian. Aku kerap terbangun karena ‘teman-teman kecil’  (baca : tikus) ingin mencicipi isi kantong logistik yang ada di sampingku. Yang seharusnya dilakukan adalah : memasang tenda di dalam pos. itu baru benar.

Dan Joko pun membangun tenda tepat di depan pos. “kenapa mas?” Tanya Wangsa.  “tuh!”  Joko menunjukku yang sedang bengong di depan tenda.

Siang itu, Joko turun tangan untuk masak. Aku sih jadi pengawas aja. Sambil comot sini comot sana. Hehe… Yang lain,  sejauh yang bisa kupantau dari dinding pondok yang terbuka : turun ke sungai, mandi, cuci piring dan motret.

Mas Gimo malah menjemur seluruh isi kerirnya. Basah.  Dedy  mengikuti. Menu hari itu adalah sayur lodeh, lembaran tipis daging beef burger yang digoreng matang dan kepingan emping goreng.  Lezat betul kelihatannya. Makan pagi sekaligus siang. Di pondok di tengah lapangan seluas ini. Dan aku menelan ludah.

Dan tiba-tiba.

 “Kuuuuuuuur…kuuuuuuurrr! Ayo makaaan!”

Suara kelontengan panci yang dipukul Joko dengan sendok.  Sialan! Kami disamakan dengan ayam. Hahaha….

Sedetik kemudian kami berkumpul di dalam pondok. Memegang piring dan sendok masing-masing. Menunggu dituang jatah lodeh dengan adilnya.

 Setelah makan, dan bebenah. Aku masuk ke dalam tenda dan tidur. Yang lain satu persatu menyusul.  Mas Gimo, Dedy dan Wangsa menggelar matras dan tidur di luar menantang langit. Sepi di ketinggian 2100 meter ini. Hanya terdengar bunyi angin dan tarikan nafas kami yang bersahut-sahutan.  Tidur dulu yaaaak…!

ini obrolanku dengan chipi dan cahyo pagi tadi
 
Ada apa semalam Puts?”  tanyaku pada Chipi “Apa kamu sakit?”

“Nggak mbak.”

“tapi Mas Gimo"

"beban Mas Gimo berat banget” kata Chipi.

Jadi begini ceritanya, sejak meninggalkan pos mata air 1. Mas Gimo selalu ada di belakang, karena beban berat maka jalannya pelan sekali.

“Nyampe alun-alun kecil jam berapa?”“jam tiga mbak”

padahal perjalanan dari alun-alun kecil hingga sikasur normalnya hanya 2-3 jam saja.

“Kenapa lama sekali?”  balasku gemas.“nunggu mas Gimo" sudah malam ketika mereka ada di Jambangan. Gelap. Hujan. Lelah dan ngantuk.  Mereka putuskan untuk menginap semalam. Besok pagi baru menyusul ke Sikasur.

“terima pesan berantai kami?” “Terima mbak”  ini  Cahyo yang menyahut. Tapi pesanku tak berbalas. Aku tahu, selain kami, tidak ada lagi pendaki yang naik menuju Sikasur.

Ingin sekali mengabarkankan status mereka saat itu, Chipi dan Cahyo mencoba keberuntungan. Dan menelpon kami yang ada di Sikasur. Tumben dapat sinyal.

“HP mbak aries nggak aktif”“Iya. Mati. Nggak ada sinyal sih”

“Hp mas Joko juga”“idem. Dimatiin. “

“Nggak tau no hp mas Dedy. Juga Wangsa” “oh”  

akhirnya  Chipi  menghubungi Nani –pacar Wangsa- yang ada di Jakarta.“Hmmmmm….” Firasatku mulai tidak enak. 

Sebagai orang yang sudah makan asam garam, Mas Gimo dengan bijak berpendapat. “Hati-hati untuk kasih kabar ke Jakartapoinnya sih. Pikir dulu sebelum bertindak. Cara orang menanggapi sebuah berita, apalagi dengan kondisi jauh disana, bisa berbeda-beda lho. Aku setuju dengan Mas Gimo.

“Mas Gimo memang begitu Hany.” “Begitu gimana?” 

dalam kesempatan yang berbeda, ini pembicaraanku dengan Joko. Mas Gimo itu selalu packing paling akhir. Kalau masih ada barang di luar. Pasti dia angkut.  Nggak peduli seberat apapun.

Iya. Tapi umur nggak bisa ditipu Joko”.

Mungkin bukan jamannya lagi mas Gimo membawa beban seberat itu.


Aku kecewa pada diriku sendiri. Kenapa aku jadi nggak peduli dengan rekan seperjalananku ya? Biasanya aku selalu rajin memeriksa beban kerir teman-teman. Aku juga kecewa dengan Joko. Kok kelihatannya dia nggak peduli dengan sahabatnya itu. Bentuk persahabatan yang tidak aku pahami.  Semoga saja aku salah.

Pagi itu juga kubongkar kerir Mas Gimo. Logistik kelompok kubagi tiga.  Untuk mas Gimo, untuk Wangsa dan Dedy. Sederhana saja, agar Mas Gimo tidak tertinggal lagi. Alasan yang lain : bila terpisah lagi. Minimal, team depan pun lengkap logistiknya. :) ah, tak kenyang rasanya, jika teringat semalam hanya makan mie kuah dan nasi dingin sisa makan siang.

Pelajaran hari itu (jangan pernah bosen untuk ngingetin): sebelum berangkat, catat nomor HP masing-masing. Bawa HT minimal 2 buah.  Beban kerir merata. Usahakan selalu berjalan bersama. Atau kalau tidak, menunggu di tiap pos. baru jalan lagi.

-ars-
begitu deh kejadiannya waktu itu. Maaf ya kalau merepotkan temen-temen di jakarta (dan Batam), temen-temen yang masih ada di semeru , juga makasih temen2 yang masih stand by di proboliggo. padahal kami tahu, kalian pasti masih capek beraats

 
;