Friday, October 23, 2009

Nero, pemuda dari bukit seberang

Pagi itu saya tiba di Tanakita, di Situgunung, Sukabumi. Tanakita ini adalah salah satu campsite yang dikelola oleh Rakata Adventure , salah satu operator yang ada di Jakarta. Saya disambut Nero yang mendengking manja dan kemudian duduk di dekat kaki saya. 

“Kenapa Nero?” Saya berjongkok dan mengelus kepalanya. Kemudian ia berjalan dan memamerkan sesuatu. Jalannya pincang. Salah satu kaki depannya bengkak.

“Astagaaaa.. Neroooo”  pengen nangis rasanya.

Begitu saya tanya teman-teman yang ada disini, mereka bilang Nero dipukul penduduk yang ada di kampung tak jauh dari campsite. Sedang jadi tertuduh raibnya kambing peliharaan mereka.

Kami semua tak percaya. Kang Isep -yang sekarang merawat Nero- saja bilang, pernah suatu hari Nero dikurung bersama ayam peliharaannya. Tidak terjadi apa-apa tuh. Biasa-biasa aja.  Jangankan kambing, ayam saja dia sayang kok. Padahal bagi orang yang belum kenal perawakannya cukup menyeramkan. Anjing jantan, besar, kekar dan hitam. Ini sudah kartu mati deh. Nggak bisa diganggu gugat lagi.

Ngomongin hitam, saya jadi ingat beberapa bulan lalu. Waktu kami semua ada di Tanakita.  Sedang meeting dan duduk di teras bangunan utama. Seperti biasa Nero mengambil posisi di tengah-tengah kami. Bayangin aja. Badan sebesar itu memaksakan diri ingin eksis di tengah-tengah kami.

Bori –ini salah satu teman saya- menggoda Nero “Mana si Nero ya. Kok nggak keliatan?” sambil mengendus-endus mencari Nero. Dan Nero merajuk dibuatnya. Hahaha… habis kamu bulunya hitam sih. Ya nggak keliatan walau ada di tempat terang. Hahaha..

Kalau begitu Nero itu suka bergaul, dong? Iya. Ini kata Nganga. Kata Nganga –teman saya yang lain, fyi juga nih, Nganga ini semacam godfathernya Nero. -

 “Penyakitnya nih.” ucapnya kesal.

“Penyakit apaan?” masih binun mode on.


“Kalo ngeliat cewek, pasti didatengin dan mulai caper deh” (caper=cari perhatian)

“ooooh..” geli.

“Dipanggil-panggil juga nggak didengerin. Huh!”

Ah Neroooo… Maka, jadilah kami berdua duduk dan bergossip tentang Nero. Yang diomongin sih lagi duduk diantara para wanita-wanita itu. Gerombolan tamu yang sedang ngobrol di pojokan sana. Sebagian sih bubar jalan karena takut pada Nero. Tapi sisanya baik-baik aja tuh.

Mendengar cerita Nganga, Saya baru tahu kalo Nero itu jenis Labrador Retriever .Dia termasuk salah satu ras terpopuler di dunia. Mereka tenang, tidak agresif dan tidak suka merusak. Sangat ramah sehingga cocok dijadikan anjing rumah, termasuk sebagai teman bermain anak-anak segala umur.

Nero juga bukan tipe anjing yang haus akan daerah kekuasaan. Pernah ia main jauh. Ke salah satu villa yang ada di kampung sebelah. Nah, di villa itu ada satu anjing gede yang tinggal disana. Maksud hati mengajak anjing itu main. Eh.. Nero malah ditampolnya. Maka larilah Nero pulang dan mengadu. Hingga hari ini, dia tak mau main lagi kesana. Kapok katanya! Hihihi…

Dan yang menarik dari Nero. Dia amat suka bermain air. Apalagi berenang.

“Serius?” saya tak percaya.

“Pernah nih. Karena penasaran, waktu main ke danau  Nero sengaja diajak naik perahu. Di tengah danau, kita cemplungin deh ke danau.”

“terus?”

“Bisa tuh. Langsung berenang”

Hebat! Nah mengenai hobinya main air ada lagi satu kisahnya. Waktu itu tangki air di Tanakita belum sempat ditinggikan, jadi masih bisa dijangkau oleh Nero.Nah suatu ketika hari sedang terik-teriknya disana. Dan Nero tertangkap basah sedang asyik berendam. Sudah tentu Nero diusir keluar. Dan omelan orang-orang disini karena harus kerja bakti menguras tangki. Hahaha…..

Tapi kayaknya siang ini Nero nggak bisa ikut main di sungai ya? Menemani tamu-tamu ini bermain tubing disana.  Kasihan Nero. Cepat sembuh ya!

Kisah di tanakita 16-17 sept 2009 lalu
-Tapi waktu saya turun ke sungai, ketemu Nero yang mendengking sedih. Ia sedang dipapah salah satu crew Rakata dan dilarang keras masuk ke sungai. Wong kakinya lagi sakit begituuuuu…! Ah.. Nero…Nerooo….

Mimin kamu ada dimana? hiks!

Sudah hari kelima. Dan Mimin belum juga pulang. Terakhir kali saya lihat dia malam minggu lalu. Ketika kami –saya dan suami- baru tiba di rumah.

Saya lihat Mimin sudah makan dan sedang tidur di sofa ruang tamu. Hari itu memang saya titipkan semua kucing pada Mbak Nia –orang yang biasa datang dan membantu saya jika cukup lama kami pergi meninggalkan rumah-


Mimin juga tidak muncul keesokan harinya. Ketika pukul setengah tujuh pagi saya membuatkan sarapan untuk mereka. Tidak biasanya ia melewatkan waktu makannya.

Apa ada yang menculik Mimin ya? Setahu saya, kucing hitam ini tidak begitu jinak pada orang asing. Dia juga bukan tipe kucing yang suka berlama-lama dipeluk dan digendong.  Lalu kalau tidak diculik, apa dia kabur dari rumah ya?

Padahal menjelang kepindahan kami ke Bekasi dan disela-sela hiruk pikuk saya mengemasi barang-barang di rumah, semua kucing ini juga tak luput dari masa sosialisasi mengenai pindah rumah  saya nggak peduli apakah mereka mengerti bahasa manusia. Tapi dengan intonasi yang lemah lembut dan ekspresif. saya rasa sih mereka mengerti  .

Seperti pagi ini misalnya. Kebetulan si Koko sedang beraksi dan bergelayut di betis saya. Sambil saya gendong berkeliling rumah, lalu kami ‘bercakap-cakap’.

“Koko, minggu depan kita pindah rumah lho”

“Miaau ?

“Koko nggak usah khawatir. Koko pasti ikut kok. Semua mpus pasti ngikuuuut!!!”

“Miaaaau!” -pasti artinya Horeeeeee!!! Hehehe-

“Kopernya mpus Koko sudah siap belum?”

“hihihihihi!!!” –kalau yang ini, suami saya. Kebetulan dia lewat di belakang kami.-

Baju bulunya jangan lupa dibawa ya …mpuuuuuuzzzz” -sambil ngeloyor pergi-

“huahahahaha…!!!” –laaah? Ada yang tertawa terpingkal-pingkal nih  -

Tidak hanya Koko. Semua kucing di rumah ini juga mendapat perlakuan yang sama. Pippy saya ingatkan untuk tidak lupa membawa kardus kesayangannya. Joni dengan selimut tidurnya. Malih dengan shampoo anti ketombenya.

Semua saya ingatkan. Dan saya selalu bilang kalau mereka semua pasti ikut pindah ke rumah yang baru. Saya awasi juga jadual main mereka setiap harinya. Terutama Joni, Kiki dan Mboy yang hobinya main keluar.

Tapi Mimin? Hiks! Kamu ada dimana mpooooez?

Ah, kalau itu Kiki atau Mboy, saya tidak sekhawatir ini. Pernah berhari-hari mereka meninggalkan rumah atau sering melewatkan waktu sarapan karena malamnya terlalu jauh bermain dan kemudian datang tergopoh-gopoh karena ketiduran di luar sana. Saya sih tenang-tenang saja. Mereka berdua memang hobi main. Dan pasti survive diluar sana.

Tapi tidak dengan Mimin. Mimin itu kucing yang selalu on time pulang ke rumah. Paling disiplin kalau sudah berurusan dengan makan. Tidak heran kalau sekarang perawakannya hampir menyamai Pippy –maaf ya Pippy rekormu sebagai kucing tergendut di rumah ini, hampir di pecahkan oleh Mimin-

Mimin juga kucing yang paling manja pada Pippy. Walau kadang-kadang jika Pippy lagi PMS dan ingin 'bunuh orang'  maka sedetik kemudian sudah ditampolnya Mimin dengan cakar miaunya. Hebatnya, Mimin tak pernah merasa sakit hati. Dia akan kembali menggelayut di depan Pippy, dan minta dijilat kupingnya.

Ah.. Mimin yang manis.

Hingga hari ini, saya sudah berkali-kali mencari Mimin. Bahkan hingga ke blok sebelah yang saya curigai tempat Mimin bermain. Membonceng motor suami saya ketika ia pulang kantorpun sudah saya lakukan. Dan berkeliling komplek sambil berseru-seru memanggil Mimin –sudah tentu dibumbui pandangan ‘kasiandehloe’ dari tetangga yang kami lewati-, tetap saja Mimin tak kami temukan.

Oh Mimin.. Mimiiiiiin…  

Serpong 23 Oktober 2009, 15.17, Joni lagi ‘pingsan’ dan tidur terlentang di depan pintu..hihihi.. capek begadang ya mPus?

-saya yang lagi sedih, andaikan Mimin membaca postingan ini. Hiks! Mimin.. pulang yaaa.. kamu nggak akan ditinggal. Kamu pasti ikutan pindah kok- atau andaikan si penculik Mimin membaca postingan ini, please..please deh, kembalikan Mimin kepada kami. Huhuhu…

Monday, October 12, 2009

taman nan asri itu bernama Taman Sari




“Mbak…!”  panggilnya. Di kamar depan, Cecep duduk bersimpuh memunggungi pintu. Berkutat dengan komputernya.  Disamping, ada Ivana yang memandang saya penuh harap. Mereka ingin saya melihat sesuatu. Malam itu di salah satu rumah, di utara kota Jogja.


“Ada apa Cep?” Saya baru selesai mandi. Dan saya yakin ia pun sebenarnya sedang diburu waktu. Jam tujuh nanti ada janji dengan teman-temannya dan kemudian ia akan pulang ke rumah ayahnya di Gunung Kidul.

Saya duduk diantara mereka. Tiga kepala serius menghadap monitor. Slide show foto rupanya. “Tadi kami kesana.” “Ooooo…” “Sayang kalian mbatalin acara ke tamansari sore tadi. Padahal kalo iya. Bisa dapet moment bagus nih.”

Ihiks! Betul juga. Fotonya bagus Cep. Modelnya juga keren -sambil melirik Ivana - Terus terang, dari dulu kalau mampir ke Jogja, saya kok nggak pernah tertarik untuk mampir ke Tamansari.

“Maaf ya Cep. Tadi kami batalkan acara kesini. Gara-gara sebel waktu ke Borobudur tadi siang. Rame banget kayak cendol. Jadi kupikir, sama aja dengan Tamansari.  Maklum toh. Soalnya lagi liburan. Pasti banyak turisnya”

Masih sambil menyesali diri melihat hasil jepretan Cecep. Saya bertanya-tanya, apa saya masih bisa kesini lagi? Cecep mengangkat bahu. Nyengir dan segera berlalu ke belakang. Mandi.

Jogja, 24 September 2009
(tapi ternyata keesokan harinya, pagi-pagi sekali dalam perjalanan kami kembali ke Jakarta, kami sempat mampir kesini. Penasaran  makasih ya Cep. Untuk inspirasinya. Juga untuk tumpangan penginapannya. So sorry about the door. Maaf yaaa… ;ditulis di  Serpong 12 oktober 2009 05.09 sibuk-sibuk packing barang)


info lainnya silakan lihat disini :

taman sari
istana air
taman sari

Saturday, October 10, 2009

Mas gondrong pemuda dari tamansari




Barangkali tampang kami yang sedikit ‘gagap’ menarik perhatiannya. Begitu motor kami hampir putus asa, berderum perlahan mencari tempat parkir.

Ia duduk di dekat pagar dan memperhatikan kami. Memakai tshirt hitam bergambar kamera dengan sebatang rokok terselip ditangan yang tak kunjung dibakarnya.

Sementara itu si Malih –ini nama motor kami- akhirnya kami parkir di dekat pintu masuk. Tempat parkir motor berkanopi yang letaknya persis di depan loket yang belum juga buka. Padahal sudah pukul setengah sembilan pagi.  Hmm…

Ia segera menarik minat saya. Rambutnya panjang, berminyak dan diikat satu. Matanya redup. Mungkin semalam tidak tidur. Ketika saya tanya namanya, ia hanya bilang :”Panggil saya Gondrong”

Melihat gelagatnya, saya sih sudah menduga. Dia pasti salah satu pemandu tempat ini. Saya sebenarnya nggak begitu suka jalan ditemani guide. Entah mengapa. Mungkin saya nggak begitu suka menjelajah ditemani orang lain. Rasanya imajinasi saya tidak bisa berkembang  tapi ternyata saya salah duga.

Kemudian kami diajak menembus pagar tembok. Merunduk melewati lubang setinggi 1,5 meter. Memutar menembus pemukiman di luar pagar tembok tamansari. Sempat berhenti di warung –mas gondrong mau beli rokok- kami turun menuju lorong bawah tanah. Melewati lorong-lorong sempit, meniti atap dan akhirnya tiba di mesjid yang bentuknya aneh sekali.

Karena terlalu asyik memotret, kadang saya tertinggal di belakang. Ia melirik kamera yang saya tenteng. Dan tiba-tiba saja kamera sudah berpindah tangan. “Kamu berdiri disana!” perintahnya. Hihihi… ini pemandu atau satpam sih?

Padahal, saya bukan tipe orang yang pandai bergaya di depan kamera. Sama seperti ribuan ‘tukang potret’ diluar sana ‘yang pandai memotret tapi tidak pandai untuk dipotret. 

Begitu juga suami saya. Kami pasrah saja mengikuti instruksinya. Tanpa saya sadari saya sudah memanjat tembok tinggi dan melompati pagar demi mendapat angle yang menarik. Baru kali ini saya bertemu pemandu yang juga jago motret.

Tidak saya sangka hasilnya akan seindah ini. Ah… saya harus banyak belajar lagi. Maka dengan segala kerendahan hati, tulisan ini saya tujukan untuk Mas Gondrong.
“Potretmu… kereeeennn sekali Mas  !!!!”

tamansari, jogja 25 september 2009 (salah satu kisah edisi trip tour de Solo akhir September lalu, fotonya mau dicetak ukuran besar dan dipasang di dinding rumah ah..

 
;