Friday, December 16, 2011

burangrang yang artinya bukit dan rangrang (rangrang=ranting)



Dalam pencarian saya mengenai gunung-gunung yang ada di tatar sunda, pada akhirnya membawa saya ke tempat ini. Ini kisah tentang Dayang Sumbi yang meminta Sangkuriang untuk membendung sungai CITARUM. Membuat sebuah PERAHU dan TALAGA (danau) dalam waktu semalam. 

Sangkuriang menyanggupinya. Maka dibuatlah PERAHU dari sebuah pohon yang tumbuh di arah TIMUR. Lalu tunggul pohon itu berubah menjadi gunung BUKIT TUNGGUL. Dan rantingnya ditumpuk di sebelah BARAT dan menjelma menjadi gunung BURANGRANG. 

Namun ketika bendungan hampir selesai, Dayang Sumbi memohon kepada Hyang Maha Gaib agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Agar fajar segera terbit, Dayang Sumbi menebarkan irisan BOEH RARANG -kain putih hasil tenunannya-.

Sangkuriang pun gusar. Di puncak kemarahannya, bendungan yang berada di SANGHYANG TIKORO dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung MANGLAYANG. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi GUNUNG TANGKUBANPARAHU. 

Sangkuriang pun mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di GUNUNG PUTRI dan berubah menjadi setangkai BUNGA JAKSI. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan UJUNGBERUNG akhirnya menghilang ke alam gaib (NGAHIYANG).

Apakah kisahnya berakhir begitu saja? Tentu tidak lah ya. ;) Ini baru Burangrang. Masih banyak lagi yang (sungguh mati saya penasaran) ingin saya datangi. Bersama teman-teman tentunya.

(Trip to Burangrang +2064; 10-11 Desember 2011 bareng Dwinovianto Arya Saloka, Emma Kusumaningsih, Kentat Wong, Rossy Prasetyo dan  Restu Sumanjaya. Kapan-kapan trekking bareng lagi yaaa…oiya
(kisah diatas dikutip dari : www.sundanet.com; begitu tiba di rumah, Sondang ‘yang protes bakar diri di depan istana’ tak tertolong lagi :( tapi Nunun Darajatun tertangkap KPK)

Wednesday, November 30, 2011

akhirnya joni resmi pindah


Sabtu lalu saya dihubungi Bu Panji. Bu Panji ini tetangga kami. Dulu, ketika kami masih tinggal di komplek yang lama. Dia bilang Joni sakit. Aduh..  Jantung saya langsung berdebar keras. Tanpa pikir panjang, sedetik kemudian saya sudah ada di dalam mobil, membawa kandang orange dan dry food kegemaran Joni. Siapa tahu, Joni mau saya ajak pulang.
Begitu tiba disana, Joni sedang tidur diatas keset di teras depan rumah Bu Panji.  dan ketika melihat saya, ia mengeong manja (bukan Bu Panji lho yaaa yang mengeong… tapi Joniiiiii ) dan berdiri menyambut kedatangan saya. Wajahnya menyiratkan rasa rindu yang mendalam 
Ah .. Joni….
Saya peluk Joni. Lalu saya periksa keadaannya. Saya perhatikan kedua matanya. Matanya masih bening bersinar. Lalu saya periksa bulunya. Ah… bulunya mengkilat dan halus tanda ia masih rajin mandi kucing. Saya gendong sebentar, waaah Joni.. kamu harus diet nih. Badan Joni berat dan ototnya masih kekar seperti dulu.  
“Sakit apa kamu mpuuuuus?”
“Meooooooonggg” jawab Joni manja.
Tak lama kemudian Bu Panji dan Reta -Reta ini putri bungsu Bu Panji, yang sekarang duduk di kelas tiga SD- datang menyusul dan duduk di teras menemani kami.

“Seharian ini Joni nggak mau makan” lapor Bu Panji dan Reta berganti-ganti. “Kerjanya hanya tiduuuuuuur saja” Padahal segala cara telah dilakukan. Rupa-rupa makanan juga sudah di tawarkan. Tapi Joni tetap mogok makan. Tapi begitu saya suapi dry food, Joni makan dengan lahap sekali.
Ahaha.. kami semua tertawa geli. Ini ulah Joni ‘memanggil’ saya jika kangen. Saya tidak heran. Joni memang kucing yang cerdas.
Aaah…sudah setengah tahun berlalu sejak kepindahan kami ke rumah yang baru. Dan dalam waktu setengah tahun ini pula, sudah puluhan kali Joni pulang ke rumah kami yang lama. Dan setiap kali saya jemput, tak pernah bertahan lama. Biasanya dua atau tiga hari kemudian Joni menghilang. Tahu-tahu saya di telpon bu Panji atau kakek di sebelah rumah kami yang lama.
 Joni ada disana.  
 Setelah saya pikir-pikir lagi, bukan rumah lama kami yang Joni datangi. Tapi untuk lingkungan itu ia kembali. Komplek perumahan yang mungil namun ramai dengan hiruk-pikuk penghuninya. Saya tahu temannya banyak. Tidak hanya yang berwujud kucing, teman manusianya juga banyak.
Satpam komplek, tukang sampah dan tukang sayur yang lewat saja, kenal dengan Joni.  Bapak-bapak yang sedang mencuci motor, anak-anak ABG yang sedang main bulutangkis, juga nenek yang ada di blok belakang, semuanya ngefans berat lho dengan Joni. Malah si nenek pernah datang ke rumah, minta restu untuk turut mengasuh Joni. Hahaha… si Joni yang jarang di rumah dan pulang hanya untuk makan.
Namanya juga kucing gaooool!!! 
Lalu bagaimana Joni bisa survive selama ini?
Tikus. Ya, tikus-lah jawabannya. Dulu ada juga kebiasaan baru Joni. Mungkin karena bosan dengan menu sehari-hari, Joni mulai rajin menangkap tikus. Sudah tak terhitung berapa kali Joni datang membawa persembahan.  Setelah puas di lempar kesana-kemari. Lalu tikus itu dimakannya. Hanya kepalanya saja yang disisakan untuk saya. Ih.. apa coba maksudnya?  Walau horor dan jijay melihatnya tapi sekarang saya bersyukur karena Joni bisa bertahan hidup dengan cara seperti itu.
Lalu kemudian saya tahu kalau ternyata banyak juga yang rutin memberinya makan. Termasuk nenek dan anak ABG itu. Namun sifat pengelana Joni tetap tak berubah. Bulan lalu tinggal di rumah kakek sebelah rumah. Bulan ini dia tinggal di rumah Bu Panji, tetangga depan kami.
Malam itu, saya minta ijin membawa Joni pulang ke rumah.
“Ah.. ya nggak apa-apa toh Bu. Itu kan kucingnya bu Joko” sahut tetangga saya.
Saya jadi sungkan, tidak enak hati karena telah merepotkan. Walau katanya pula, ketiga anaknya telah jatuh cinta setengah mati pada Joni. Tapi Joni bukan milik mereka.

Saya pandangi Joni. Mata kami beradu pandang. Joni menjawab dengan caranya yang khas. Meong-meong tentunya. Ah… sebenarnya kami berdua (ini maksudnya saya dan Joni lho ya) tahu jawabannya. Saya tahu ini keputusan terberat dalam hidup saya. Mungkin dalam hidup Joni juga.
Malam itu Joni saya serahkan kepada mereka. Untuk mereka rawat dan pelihara.
Bu Panji menyahut setengah tak percaya  “Saya sih terserah bu Joko saja. Kalau Joni diserahkan kesini, ya saya terima”  
Saya tersenyum namun terasa perih di dalam hati. “Kalau saya, sebenarnya terserah Joni. Mana yang Joni suka. Saya ikuti. Kalau Joni lebih suka tinggal disini. Ya .. sudah. Itu pilihan Joni.”

Walau rasanya beraaaaaaat sekali.
Dan mata saya mulai berkaca-kaca.

BTR 30 November 2011; 09.28 pagi. Semua kucing tidur dan menempati pos-nya masing-masing. Hari yang cerah, sambil menunggu cucian kering.

(malam itu Joni saya ajak pulang ke rumah. Joni berlari dan  masuk ke dalam mobi dengan riang gembira. Tidak masuk ke kandang orange-nya, tapi  duduk manis sambil mandi kucing di kursi penumpang di samping saya. Lalu dua hari kemudian Joni menghilang. Joni nggak bilang sih. Tapi saya tahu, dia kembali lagi ke sana)

Friday, November 25, 2011

si uta dari goa hantu



Namanya Uta, lengkapnya Uta Manis. Kucing betina umur 7 bulan milik mbak Yasmien Ruruh. Saya kenal mereka berdua, beberapa minggu lalu. Kami sama-sama ikut grup pecinta kucing di facebook. Walau ngobrolnya melalui dunia maya tapi rasanya saya kenal dekat dengan mereka. 

Kisah ini berawal dari foto postingan mbak Yasmien. Yang bilang :
“Kucing buta, siapa takut”
“itu kaki keponakanku” kata mbak Yas. Rupanya si Uta habis kejar-kejaran di dalam rumah.
“Dan nggak pake nabrak lho. “ sambungnya pula. 

Yang memberi jempol banyak sekali. Yang merespon pun begitu. Apalagi melihat foto Uta yang sedang nyangkut di kaki kiri seseorang.

Lalu karena penasaran saya pm mbak Yas. Saya ingin tahu kesehariannya Uta. Dia bilang, Uta itu kucing yang bahagia. Dia mendapat Uta dari vet di klinik hewan.  Ia dihibahkan dari dokter klinik kenalannya. 
Ketika usianya empat bulan, Uta terserang clamedia. Ini penyakit yang menyerang mata. Sayang, Uta terlambat dibawa ke vet. Kedua bola matanya terpaksa diangkat. Namum hingga dua bulan Uta mendekam di kandang dalam klinik , Uta tak pernah dijemput pemiliknya. Dia enggan memelihara Uta lagi karena Uta buta.

Uta ditelantarkan oleh pemiliknya yang dulu. Padahal, kalau ditelusuri, penyakit ini timbul karena pemiliknya kurang menjaga kebersihan dan Uta tidak dirawat dengan baik.

Nah, begitu Uta tiba di rumah. Uta langsung dilepaskan dari kandangnya. 


Tiga hari pertama dilakukan untuk melatih kemampuan Uta berorientasi. Dengan panduan suara kertas hvs yang diremas-remas mbak Yas, Uta mengikutinya ke kamar mandi. Itu tempat untuk puppy.
Uta memang kucing cerdas. Dia pun mampu mengikuti mbak Yasmien menuju tempat makan dan minumnya. Dan terakhir, dengan mengalungkan tali kekang pada Uta, mbak Yas juga mengajarkan Uta untuk jalan-jalan dan berlari-lari. Tidak hanya  di dalam rumah tapi juga di luar rumah.
Wah.. wah… luar biasa!
Dan dalam waktu dua minggu, Uta sudah dapat mandiri. Ia sudah bisa puppy di kamar mandi dengan rapi. Berjalan tanpa pernah menabrak sedikit pun dan mampu ke tempat makannya dan makan sepuasnya. Uta menjadi pribadi yang bahagia, cerdas dan mau berteman dengan siapa saja.  (ada ya kucing seperti itu? Hehehe) Hanya ada satu kelemahan Uta. Yaitu kalau dia sedang pilek. “iya.. jadinya harus disuapin tuh ...!”





Tapi tidak juga. Pernah waktu itu Uta sedang lapar berat, tapi dia bisa langsung ke tempat makanannya. Rupanya dia mendengar suara saudara-saudaranya yang sedang makan.
Orang yang tidak kenal Uta, pasti tak kan menyangka kalau Uta itu buta. Walau dengan nada sebal mbak Yas menambahkan
“ Kasihan Uta. Dulu waktu dia sehat dan cantik, disayang-sayang (pemilik sebelumnya) tapi begitu sakit dan buta, ditelantarkan”
“Eh.. tapi kalau tidak begitu.. (Uta) ya tidak akan pernah bertemu denganku ya?” lanjut mbak Yas lagi “Ada hikmahnya juga”
Iya betul, mbak Yasmien. Salam buat Uta ya. Semoga sehat selalu dan tetap ceria!!!

kucing, buah-buahan dan tintin



Sejak kapan saya suka kucing? Saya tak ingat persis. Tapi menurut ibu saya sih, sejak kecil saya sudah menenteng seekor kucing. Apa iya? Walau setengah tak percaya, tapi rasanya foto tua ini cukuplah menjadi bukti. Itu saya dan adik perempuan saya. Saya empat tahun. Adik saya dua tahun dibawah saya.

Pengaruh siapa? Sepertinya datang dari ayah saya. Ibu saya jelas-jelas tidak suka binatang. Seingat saya, sejak kami kecil dulu, selalu ada satu atau dua hewan peliharaan di rumah mungil kami. Tidak hanya kucing. Kadang-kadang anjing, angsa, landak, ayam, ikan, burung, dan pernah seekor kambing. :p

Kebiasaan ayah yang satu ini seiring pula dengan kebiasaannya membeli segala jenis buah. Mangga, rambutan atau jambu. Ya, tergantung musim sih. Maka dari itu jangan heran kalau saya ini pemakan segala buah.

Saya ingat, kalau pulang dari suatu tempat, ia pasti membawa oleh-oleh. Bahkan hingga kini pun, jika saya sedang pulang ke rumah, ayah tak pernah segan untuk mengupas mangga dan menyuruh saya menghabiskannya.





Kebiasaan membawa oleh-oleh ini juga ada kaitannya dengan buku. Saya cinta akan buku juga tak lepas dari pengaruhnya. Walau gajinya pas-pasan. Saya boleh kok beli komik yang saya suka. Sementara ibu akan mengomel karena menurutnya membeli buku sama dengan pemborosan.

Kami juga sempat tergila-gila dengan komik Tintin. Ya, kami bertiga : ayah, saya dan adik saya. Pernah sekali waktu, ayah marah besar. Karena kami bertengkar berebut Tintin. Tidak mau mengalah dan membacanya bersama-sama. Masing-masing dari kami ingin menjadi orang yang pertama membacanya.

Bukunya dirobek dan di buang ke tempat sampah. Ah.. ayah saya kesal. Ia lelah baru pulang kantor. Oleh-oleh yang dibawanya malah jadi bahan pertengkaran kami berdua.

Oh.. maafkan kami…ya...


Edisi mengenang masa lalu, BTR 25 November 2011, 17.10 lagi nonton queen of reversal dan diganggu mpus Tiri yang lagi menarik kabel computer.

Preman Pippy

Diantara hiruk-pikuk suami saya yang bangun kesiangan, status kucing-kucing di rumah ini selalu sama. (yaitu) Siap dipanggil untuk makan pagi. Padahal what to do saya setiap pagi cukup banyak. Seperti : 

mencuci piring bekas semalam, membuka semua pintu dan jendela, mematikan lampu teras, membuka kunci pintu pagar, merapikan tempat tidur, menyapu lantai lalu menyiapkan kaos kaki, dompet dan HP untuk suami. Dan puncaknya tentu menyiapkan sarapan pagi. Tentu sarapan untuk suami tercinta.

Nah, jika ia sudah rapi jali, saya akan duduk disampingnya dan menemaninya sarapan. Namun seringkali saya –yang merasa dirinya super women ini - selalu merasa bisa untuk melakukan banyak hal dalam satu waktu. Termasuk menyiapkan sarapan untuk keempat kucing ini. Padahal suami saya lebih suka jika saya memberi makan setelah ia berangkat ke kantor.

 Bukannya apa-apa, tapi dia tak ingin konsentrasi saya terpecah. Padahal, saya tahu, dia cemburu karena perhatian saya tak hanya untuk dirinya seorang.  tapi kan .. cinta saya hanyalah untuknya seorang. *rayuan pulau kelapa mode on*

Walau sering diprotes, tetap saja saya lakukan. Alasan saya hanya satu, saya tak ingin sarapan kami yang romantis ini terganggu hanya karena tatapan sendu dari keempat ekor kucing yang rapi berbaris di dekat kami.

Lalu suami saya mendengus tanda sebal.

Tapi hari ini, karena saya pun bangun kesiangan, saya tak sempat menyiapkan makanan untuk si meong. Saya masih berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi kami. Namun mereka tak pernah patah semangat. Selalu setia menanti panggilan merdu yang menyuruhnya untuk sarapan.

Semua ada di dapur. Pippy ada di dekat karung beras, tidur-tidur ayam karena mengantuk. si Malih tergopoh-gopoh datang karena baru selesai main di taman depan. Si Tiri –ini si kucing kecil, warga baru penghuni rumah ini- membunuh waktu dengan mandi kucing di dekat lemari. Tapi Koko mengeong dan mengemis tanda tak sabar. Mengikuti saya kemanapun saya pergi. Padahal saya sibuk luar biasa.

Lalu tiba-tiba terdengar suara mendesis tanda  marah. Dan disambung dengan rintihan kecil menyayat hati. memilukan sekali. Saya langsung menoleh dan……

“Pippppppyyyyyyyy!!!!!!” jerit saya gemas.

Demi melihat Pippy yang baru saja menampol si kecil Tiri. Tiri tak berani untuk lari. Matanya setengah terpejam. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya terpaku di lantai, terlentang dengan keempat kaki menghadap ke atas.

Dan saya hampiri Pippy.

Saya sentil telinganya.

BTR, 25 November 2011 (hari yang mendung dan berangin)

Monday, November 21, 2011

overland to atjeh (bagian 1)

Hai, ini saya. Sejujurnya saya adalah seorang ibu rumah tangga yang kuper dan jarang keluar rumah  tapi September lalu, saya pergi ke Aceh dan Sumatera Utara. Berdua saja, bersama Ika. Ika ini teman backpakeran saya kali ini. Ika ini teman lama saya. Dulu medio 2004-2006 kami bertiga, saya, Ika dan Jenny, kerap jalan bersama edisi kebut gunung. Halah.. itu dulu. (raung uh.. i love to dancin with the sun)

Setelah lima tahun menjadi ‘tkw’ di negara tetangga, mei lalu ia putuskan untuk berhenti kerja dan pulang ke tanah air. Dengan gayanya yang khas ia berucap “It’s over. It’s done..!” Jadi saat-saat break seperti ini, tepat baginya untuk ‘menarik nafas dulu’. “Gue pengen lihat Aceh”  

Sedang Jenny sebenarnya ia ingin sekali ikut, hanya pekerjaan di kantor tak dapat ditinggal dalam waktu lama. Sekarang sudah jadi ibu manager dan memegang posisi strategis di kantornya. Tak seperti dulu. Tak bisa sering-sering pergi jauh. 

Jadi, inilah kami berdua. Dari Jakarta naik pesawat menuju Medan, lalu membonceng rombongan motor (ini suami saya dan klub motornya yang sedang touring menuju Aceh) kami menyusur jalur timur menuju Banda Aceh. Menyeberang ke pulau Weh, ke km. O yang ada di kota Sabang.

Lalu kami  kembali lagi ke Medan. Masih bersama rombongan biker itu hingga tepian Danau Toba. Dan berpisah disana. Kemudian kami menyeberang ke pulau Samosir. Dari Samosir, dengan angkutan umum, kami teruskan lagi perjalanan menuju Tongging. Saya ingin melihat air terjun sipiso-piso yang terkenal itu. 

Baru setelah itu, kami masuk lagi ke Aceh. Kali ini kami mencoba lintas tengah Aceh yang melewati pegunungan Leuseur dan dataran tinggi Gayo. Ada kota Kutacane dan Takengoun disana. Nah selepas kota-kota diatas pegunungan itu, kami bergerak turun menuju pantai barat Aceh. Meulaboh tujuannya. Dan etape terakhir adalah kembali lagi ke Banda Aceh, melalui pantai baratnya yang indah itu.

Terakhir dari sini kami pulang ke Jakarta. Total sekitar setengah bulan perjalanan. Inginnya sih lebih lama lagi. tapi .. hahaha.. ya gitu deeeh.. 


Seperti biasa, libur panjang lebaran dan tahun baru adalah saat yang selalu dinantikan oleh suami saya. Dan saya tahu, sebagai biker, dia tak akan melewatkan KM. 0, yang ada di Sabang, Aceh itu. Begitu tahu cutinya agak panjang,  rencana pun disusun Tentu bersama beberapa teman: Budi, Hendrik, Adnan, Choky dan bro Hendra. Hanya saja, kali ini, saya tidak boleh ikut. 

Hmm.. dia lebih sayang sama si Pitung sih.  -ini nama motornya- dia tak mau kejadian seperti waktu kami touring ke Madura atau ke Palembang tahun lalu, conrod patah karena menghajar lubang. Uh.. ya sudah. Tapi saya nyusul ke Medan ya? Dan ikut hingga Sabang.

Selanjutnya, saya belum tahu, apa terus bersama rombongan biker ini atau berpisah dan membuat trip sendiri. Ada dua rencana saya saat itu. Naik gunung atau backpacker-an keliling Aceh. Saya mengincar Leuseur. Tapi saya tidak yakin. 

Sebulan sebelum hari-H, saya di hubungi Ika. Kebetulan sekali ia muncul. Dan tak menolak ajakan saya. Gunung kami coret dari daftar. Ika sudah lama tak naik gunung. Jadi, trip Leuseur ini kami tunda dulu. Untuk trip ke Sabang, (foto-foto ada disini : belum haji kalau belum ke km.0). Jadi saya nggak akan cerita panjang lebar deh.

Komentar saya untuk para petouring sejati ini hanya satu : 

Kalau ingin overland sejauh ini, siapkan waktu cadangan lebih banyak dan tak lupa untuk taat pada jadwal yang telah dibuat. Karena kalau tidak. Ya seperti ini. Jadinya buru-buru dan tidak sepenuhnya dapat menikmati perjalanan. Satu kali saja terlambat berangkat dari stop pit sebelumnya, langsung merubah ritme perjalanan secara keseluruhan.

Ini yang terjadi pada mereka. Di hari ketiga, mereka nampak seperti batman. Siang tidur dan malam menekan pedal gas untuk melanjutkan perjalanan. Itupun tidak sepenuhnya, karena beberapa kali berhenti untuk tidur. 


Padahal sejak dari Jakarta, sudah saya ingatkan. Untuk taat skedul.  Ini perjalanan jauh. Dua minggu penuh pula.  Mereka harus menjaga stamina dan emosi.  Begitu lelah, pasti sulit untuk berpikiran jernih. Ya kan?

Singkatnya, lima hari pertama dalam trip ini saya habiskan dari Medan menuju Sabang dan kembali lagi ke Medan. Mengikuti rombongan satria bermotor ini. *nyengir*

lanjutannya nanti ya, disambung lagi.  udah siang. mau nyetrika dulu 


Note :

Banyak tempat menarik di kota Banda Aceh ini. Sayang nggak semua sempat kami kunjungi. Di sela-sela waktu menunggu kapal yang akan menyeberang ke pulau Weh dan di sela-sela beberapa kunjungan seremonial antar klub motor. Kami hanya sempat berkunjung ke : PLTD apung, Kapal Apung Lampulo, Mesjid Baiturrahman, Rumah Tjoet Nya Dien dan Gunongan.

Kejadian serupa juga terjadi di Medan. Karena di kota ini meeting point antara kami dengan pasukan bermotor itu, jadi diantara waktu yang sempit itu, kami hanya sempat berkunjung ke rumah Tjong A Fie, mesjid raya Al Mashun, Istana Maimun, beberapa pasar tradisinal, dan wisata kulinernya. Sepertinya memang harus kesana lagi deh. 

Friday, November 18, 2011

kalau si meong pergi arisan

Mereka ikut arisan? Yup!.. betul sekali.

Sepertinya mereka tahu jadwal saya setiap bulannya. Kalau saya sudah berpakaian rapi lalu sibuk mengunci pintu depan. Maka dari segala arah, tahu-tahu mereka sudah nongol  dan datang menghampiri saya. 

Ada yang baru bangun dan kepalanya muncul dari pintu kucing. Ada yang sedang main di rumah tetangga lalu berlari kencang mendekati saya. Ada yang sedang bengong di depan pohon, lalu menoleh dan menyapa saya. Semua hadir lengkap.

Maka, berjalanlah saya menuju rumah tetangga di blok belakang. Dengan pasukan kecil yang berbaris rapi di belakang. Ah.. sebenarnya sih nggak rapi-rapi amat. Pippy masih dengan setia berlari-lari kecil di samping saya. Tapi Malih, dia lebih suka mengendap-endap diantara semak-semak. Mungkin baginya, ini perang gerilya. Jadi harus lebih hati-hati. Apalagi kalau ada anak-anak tetangga yang selalu menjerit dengan histeris begitu melihat malih. “ada kucing anggora! Kucing angora!” jerit mereka dengan nada tujuh oktaf. Duh .. ! berisik banget!

Nah, bagaimana dengan Koko? Kucing manja ini lebih sering tertinggal jauh di belakang. Terlalu banyak ritualnya sih. Tiap rumah, pasti mampir. Dan seluruh halamannya akan di endus-endus bak anjing penjaga. Lalu begitu sadar sudah tertinggal jauh, dia akan mengeong-ngeong dengan pilunya. Minta dijemput! Uh! Dasar. Kalau sudah begini, ya terpaksa saya kembali untuk menjemputnya.

Lalu begitu saya tiba di rumah tetangga, sembari menyalami pemilik rumah dan ibu-ibu lain yang sudah datang. Ekor mata saya tetap dengan waspada selalu memantau keberadaan pasukan saya ini. Biasanya mereka akan menyibukkan diri sambil menunggu saya selesai arisan. Kalau sudah bosan, biasanya mereka akan tiduran di kolong mobil, di teras rumah –diantara pot bunga - atau ikut  masuk ke dalam rumah dan ngumpet di kolong kursi.

Pernah dulu, waktu masih ada si Joni, ada kejadian yang cukup menghebohkan. Bayangkan saja, ketika kami semua sedang duduk dengan tegang serius menghadapi gelas berisi gulungan kertas menunggu pengumuman siapa yang menang arisan. Tahu-tahu si Joni dengan santainya melenggang di tengah ruangan diantara kami semua. Dia ingin menyelidiki isi rumah tetangga saya rupanya. Aduuuh Joniiiiii…!!!

Kalau sudah begini, saya yang rajin minta maaf kesana kemari. Karena tak semua ibu-ibu suka dengan kucing. Dan tak semua anak-anak –yang biasa ikut ibunya pergi arisan- berani memegang kucing. Untungnya mereka cukup maklum dengan keadaan saya ini. Saya gitu lho. Kalau yang lain datang arisan dengan anak-anak mereka. Saya pasti datang dengan pasukan kucing saya. Sudah satu paket.

Apakah acara arisan saya sukses sesudahnya? Tidak juga. Perjalanan pulang saya kadang-kadang tak semulus yang saya harapkan. Pernah waktu itu saya agak lengah. Karena sedang asyik pulang sambil mengobrol dengan ibu-ibu lainnya. Saya tak menghitung lagi berapa jumlah pasukan saya. Saya pikir sih. Kalau sudah bosan main, mereka pasti pulang dengan sendirinya. Mereka hapal kok jalan pulang.

Nah, begitu waktu makan malam mereka tiba, saya kehilangan Pippy. Koko ada, Malih Ada. Tapi Pippy?

Lalu saya ingat. Pippy tadi ikut arisan. Oh, pasti dia mengira saya masih ada disana. Dan benar saja, Pippy masih setia menunggu saya di bawah kolong mobil tetangga dan mengeong tanda gembira, begitu tahu saya datang menjemputnya. Duh.. maaf ya Pips! 

celengan kambing

Kemarin sore ibu RT mampir ke rumah. Ahaha.. tumben. Padahal rumah kami cukup jauh lho, ada di blok belakang yang masih sunyi dan sepi. Dia datang sambil membawa celengan. 

“Bu joko sudah tahu?” katanya sambil menyodorkan celengan plastik berwarna merah. Lho, kok balik bertanya. Ya jelas saya belum tahu. 


“ini hasil rapat bapak-bapak minggu lalu. “ Ya. Saya ingat. Undangannya ada waktu itu. Tapi suami saya nggak dateng  itulah sebabnya mengapa saya bengong  di hadapan celengan itu.

Sambil tersenyum bu RT menjelaskan. “ini celengan untuk sumbangan mesjid” dan setiap rumah masing-masing akan mendapat satu. Ngisinya sih sukarela saja. Dari recehan uang belanja, uang jajan atau uang ojek, tabunglah disini. Nanti tiap bulan, ada orang yang datang untuk mengumpulkan isi celengan. 

Oh.. pantas saja. Kenapa pula perut celengan ini sudah disilet sepanjang 20 cm. Lubang itu untuk mengeluarkan isi perut celengan.  Haha.. idenya keren juga. Saya seperti diingatkan karena seharusnya saya yang rajin mampir ke mesjid. Tapi ini, malah ‘mesjid’nya yang datang menghampiri saya. 

Saya jadi malu.

Nah, sekarang celengannya ada di atas tv di ruang tamu. Agar selalu dilihat dan rajin diisi. Berjajar rapi dengan toples isi permen karet dan celengan ayam untuk tabungan kambing. Kok? Ada tabungan kambing? Hehehe.. iya. Itu untuk beli kambing. Mudah-mudahan Idul Adha tahun depan, kami sudah bisa beli seekor kambing.

 

 BTR, hari yang superpanas. 18 November 2011, 14.13 wib (oiya, buat yang penasaran melihat foto diatas, satu toples permen karet, isinya 125 butir, harganya Rp 23,000. Belinya pas belanja bulanan di warung grosir deket rumah) 

Thursday, November 17, 2011

Danau Lut Tawar : ada danau di dataran tinggi Gayo




Danau yang teduh ini terletak di sebelah timur Kota Takengon, di dataran tinggi Gayo, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Danau ini berada kira-kira 1.250 meter di atas permukaan laut. Ia merupakan danau terluas di Propinsi Aceh dengan luas sekitar 5.472 Ha, panjang sekitar 17 km dan lebar 3,219 Km.

Sayangnya waktu itu kami hanya sempat mengitari seperempat putaran danau. Kami mampir ke gua Loyang Koro lalu ke air terjun Mengaya. Sepertinya sudah takdir kalau lain kali saya harus kesini lagi  Karena agendanya sudah jelas terekam di benak saya, yaitu :

(1) trekking ke bukit-bukit di sekitar danau
(2) main sepeda gunung dan keliling danau
(3) naik perahu dan berenang-renang di danau
(4) nonton pacuan kuda
(5) makan ikan depik dan minum bergelas-gelas kopi gayo 

selesai!  (daydream di siang bolong yang panas ini. 12.43 wib. nov 2011)

Info lainnya :

Wednesday, November 16, 2011

yang tak terucap di beutong ateuh




apa kalian masih ingat peristiwa Beutong Ateuh tahun 1999 lalu? Tidak? Hmmm… atau apa kalian juga ingat tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999 lalu? 

“Anak saya sudah menikah. waktu itu saya nggak tahu kalau menantu saya masih ada hubungan langsung dengan Tengku Bantaqiah. “ucapnya setengah berbisik. 

Dia ibu pemilik warung tempat kami istirahat makan siang.  Waktu itu, kami –saya dan Ika- dalam perjalanan dari Takengon menuju Meulaboh.   

Ini menarik. Karena rasanya saya pernah mendengar nama itu. Tapi seperti umumnya orang-orang disini. Seperti ada sesuatu yang menahan mereka untuk tak berkata-kata. Sesuatu yang sebaiknya disimpan saja. Sama saja ketika saya tanyakan penumpang lain yang berangkat bersama kami. Ibu tua yang duduk di belakang kami atau sopir yang ada didepan kami.   

“Nanti kita lewat sana, Kak!” ucap si sopir singkat. 

Tidak seperti jalur lintas timur yang jalannya lebar dan melipir pantai dan penuh dengan angkutan umum sekelas mikrobus. Tapi disini, L300-lah rajanya. Kendaraan favorit yang digunakan untuk merangkak naik turun pegununungan.  Dengan kendaraan berpenumpang 10 orang ini, kami melewati ruas jalan propinsi yang melewati lintasan Jeuram-Takengon di kawasan pegunungan Gunung Singgah Mata. Tujuh jam perjalanan menuju Meulaboh. 

dan disanalah tempatnya.   


(lokasi dalam foto ini adalah makam tengku Baharudin Ben Tengku Ibrahim, salah satu korban peristiwa Beutong Ateuh. Sedangkan TKP lainnya, tidak jauh dari sini. Paling tidak, dengan adanya makam ini jadi salah satu tempat untuk mengingatkan kita akan peristiwa kelam yang terjadi pada waktu itu. Apa kabarnya ya kasusnya sekarang? Apa sudah ada penyelesaian?)

Info lainnya silakan disimak disini: 

 
;