Tuesday, November 29, 2005

sumbing yang redup oleh kabut




Akhir November 2005, berempat bareng Simon Pardede, Agus 'Age' Setiawan, Heri Supriyanto info selengkapnya silakan mampir ke blog-nya Heri : itinerary sumbing 3371 mdpl (19-21 Nov 2005) 

Sunday, October 09, 2005

Tuesday, September 13, 2005

Suatu tempat di Azerbaijan




(tahun lalu, akhir Juli 2005)


‘Tantangan’ itu nongol di suatu sore yang cerah, ketika satu sms masuk dari Bang Jodie, *salah satu teman milis* “Mau naek gunung ke Azerbaijan? Gratis?”


Whuehehehehe… nggak salah nih? Dikira iseng. Ditantangin kayak gini, kalo nebeng jingle salah satu iklan sih… “siapa tauuuuuu.. eh.. siapa takuuut!”


Setelah berbalas telpon dan ngobrol, rupanya, FPTI (Federasi Panjat Tebing Indonesia) mendapat undangan dari Women Federation of Sport, di Iran yang lagi ngadain pendakian bersama. Kali ini lokasi yang dipilih berada di Azerbaijan. Semua ditanggung, tiket, visa, fiscal dan akomodasi selama disana. Yang harus saya lakukan adalah, membuat semacam resume untuk diaudisi serta mulai persiapan alat dan fisik. Wow! Beberapa hari kemudian, saya dikabarkan.


“You’re in, kamu berangkat!” dan cengiranku bertambah lebar J


Huhuhu, praktis persiapan hanya sekitar dua minggu. Di sela-sela kerjaan saya di kantor dan dibantu beberapa teman, yang ikut ‘pontang-panting’ selama persiapan. Minjemin alat, data-data literature, ditraktir makan sate sama Kris..*hehehehe..* dan ngikut manjat di SMA-1 sama Mbakyu Djoko.. hiks! Hiks!...


Sungguh, naek gunung saja sudah satu hal. Lha ini? Pergi ke suatu negara *yang jujur, baru aku tahu lokasinya begitu aku mau pergi*  J


Inilah sebagian foto dari serangkaian kegiatan kami disana (16-25 Agustus 2005). Semoga menginspirasikan teman-teman buat teruuuuus jalan-jalan…


Special thanks untuk : Mbak Dian *temen seperjalanan*, Bang Jodie, Kang Maman from FPTI, Joe, Mbakyu Djoko, Nefran, Erwin, Jenny, Ika, Haris, Suwasti, Kris, Santia, temen-temen Manastash di SMA-1, temen-temen milis dan semua yang nggak sempet disebut satu persatu. Makasih ya…

Dinner bak laiknya seoRang PRO [episode : namanya juga nyontek tetangga sebelaaah]

Dinner bak laiknya seoRang PRO [episode : namanya juga nyontek tetangga sebelaaah]

Spin off pendakian ke gn. Shahdag, Azerbaijan 16-25 Agustus 2005

 

 

“Everybody….! Attttaaaaackkk!” Mahboobeh, cewek Iran yang duduk disebelah berbisik kepadaku. Aku nyengir selebar-lebarnya. Alena dan Nina, temen-temen dari Tajikistan dan Daghestan yang ada di hadapan kami berdua, saling melirik dan nyengir bareng melihat ekspresiku.

 

Hidangan pembuka sedang dihidangkan. Pelayan hilir mudik meletakkan beberapa piring penuh semangka. Berpiring-piring roti [catat : bundar pipih dan segede gaban J ] yang lembut dan harum telah  dipotong-potong menjadi empat bagian. Potongan gula, bermangkuk-mangkuk madu, mentega, keju dan  yoghurt digelar pula disekitarnya.

 

Waktu itu Pukul 7 malam, tapi langit masih terang benderang dan udara cukup sejuk.  Kami duduk dengan manis dalam sebuah meja panjang bertaplak putih, di dalam sebuah gazebo, di sudut kompleks penginapan di Kota Quba, Azerbaijan.

 

Masih inget cerita komik Asterik? Itulah kami, berduapuluh-lima orang. Bedanya, kami bukan baru pulang dari mengalahkan pasukan romawi ..bukaaaaaannn! bukaaaaaaann!!! Tapi baru turun gunung. Naah.. nyambung kan? Itu artinya kami LAPAR beraaaatttt!

 

Secara resmi acara pendakian bareng ini datang dari Islamic Federation of Women Sports [IFWS] yang berkedudukan di Iran. Total ada 5 negara yang berpartisipasi dalam kegiatan ini, Indonesia {2 orang], Iran [7 orang], Tajikistan [2 orang], Daghestan [6 orang] dan sisanya dari Azerbaijan selaku tuan rumah.

 

Suara riuh rendah, mendadak senyap. ketua rombongan kami, Mr. Saridan Mursagulov secara resmi menyatakan bahwa pendakian kali ini sukses berat. Dengan bahasa Turkis yang kemudian berturut-turut diterjemahkan kedalam bahasa Russia, Iran dan Inggris. [tentu saja, beberapa peserta didaulat pula sebagai interpreter].  Nggak mau ketinggalan, team dari negara lain pun bersahutan mengucap salam dan sambutan.  

 

“ Tidaaaaaak!” keluhku dalam hati.  It will be a long long night! [sobbing]

 

Hanya dalam hitungan sepersekian detik setelah acara seremonial itu selesai, Eghbal, manager perjalanan team Iran yang ada disebelah kananku, langsung menyambar semangka.  Mengambil roti dan menyobeknya, ditambah dengan sesendok yoghurt dan mengunyahnya dengan nikmat. [kok aku jadi inget sapi yang lagi leyeh-leyeh di padang rumput ya? Hehehe.. ampuuuunnn Eghbal. Maaaapp!]

 

Aku? Jelas tidak mau ketinggalan. Sedikit saja anda terlambat, hilanglah kesempatan untuk makan.

 

“fasteeeer… and fasteeeer!” candaku kepadanya. Eduuuun! Makannya itu lho, dengan kecepatan penuh!

 

Begitu makanan utama tiba. Semua berteriak histeris. [eh.. enggak ding! Maksudnya kami berdua, dari team Indonesia… hahaha!!!]. Mbak Dian langsung berkomentar dari sudut sana :

 

“Ries! Nasiiiiiii!!!!”

 

“Aaaarrrggghhhh!!!” jawabku sendu. Maklum, dasar orang melayu, sudah seminggu tidak berjumpa dengan nasi.

 

Nasi yang diongseng kering, nasi putih dengan sedikit highlight kuning disana-sini [seperti nasi tumpeng, lupa nanya, apa ada kunyit ya disana?] dan ditambah potongan daging ayam. Makanan utama lainnya mucul. Berpiring-piring kambing kebab berikut potongan daging ayam yang dihias tomat bulat goreng. Duuuuhh.. segernyaa! Kloter berikut menyusul berupa potongan jeruk, tomat, timun dan daun-daunan segar.

 

Lalu? Cara makannya?

 

Tidak usah kalap dan bingung karena itu semua tergantung kreatifitas anda deh. Lama-lama juga bakal terbiasa. Seminggu bareng mereka, akhirnya aku udah bisa makan bak laiknya seorang pro.

 

Roti disobek, tambahkan metega. Roti dicuil, selipkan keju dan kunyahlah dengan nikmat. Bertemu tomat, bisa dimakan mentah-mentah, tambahkan garam+merica bila suka. Roti lagi, gabungkan dengan daging, kunyah lagi. Begitu seterusnya.

 

Gimana caranya biar nggak gendut karena banyak makan berlemak dan berkolesterol tinggi?  [maklum…. sebagai anggota klub gendut ceria J]

 

Nhaaaahh.. ini dia. Rupanya, setelah menelan potongan daging, pastikan untuk selalu melahap sayur dan buah sebagai penyeimbang. Kadang-kadang, potongan jeruk yang seger itu diperas airnya, ditambah garam dan dihirup begitu saja dengan sendok.

 

Wowowow… kisahnya nggak hanya sampai disitu, masih ada makanan penutup. Lumayan sedikit light. Secangkir teh hangat, disuplai langsung dari teko yang mengepul terus berikut kue yang rasanya amat sangat manis. Cukup sempurna sebagai penutup makan malam kami.

 

Tahu-tahu, aku udah merasa kenyang bukan kepalang. Soalnya, makannya sambil ngobrol sih.  Lho? Kok malah ngobrol? Hehehe.. iya dong, ternyata faktor bahasa bukan masalah lagi.

 

Walau bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa Internasional, selain team Iran, ternyata minim sekali penguasaan bahasa Inggris mereka. Rupanya sebagian besar peserta hanya paham bahasa Russia.

 

Maka jadilah satu bahasa baru … yaitu bahasa mooooonnnnnyyyeeeet !!!! hahahaha. Pake bahasa isyarat! Jangan salah duga ya. Justru dengan bahasa kayak gitu, kami bisa ketawa cekikikan kalo sudah ngobrol.

 

Makluuuummm gitu deh yang terjadi bila beberapa superhero udah ketemu !

 

tiba-tiba :

 

“Aries… what is ‘I love you’ in Indonesian language?”

 

Nah lu?

 

Serpong 5 September 2005

[lagi beruntung bisa dapet tiket+akomodasi+visa+fiskal gratis untuk ikutan pendakian cewek ke gn. Shahdag, Azerbaijan 16-25 Agustus lalu]

 

Catatan :

Makanan utama di sebagian wilayah Georgia, Iran dan Asia Tengah didominasi oleh daging, terutama daging kambing, sapi dan ayam. Yang khas disini adalah rasanya yang amat sangat spicy. Menu utamanya disebut pilaf yaitu nasi goreng yang ditambah dengan potongan besar daging, ikan, sayuran bahkan buah-buahan.

 

Dan semua itu tidaklah lengkap bila belum ditutup dengan meneguk secangkir teh hitam dari poci yang dipanaskan dari semacam teahouse yang disebut chaykhanas. Sebagai pelengkap diberikan gula pasir, gula batu dan potongan jeruk lemon. Seni meminumnya juga bermacam-macam. Cara konvensional biasanya dengan menambahkan gula pasir atau gula batu kedalam cangkir. Uniknya cara lainnya adalah dengan mengigit gula dan kemudian dilanjutkan dengan meneguk teh panas. Mencemplungkan potongan jeruk tersebut, atau mengigit-gigitnya dengan nikmat setelah meneguk teh. Hmmmmm, nikmat sekali. Sekarang tinggal pilih yang mana?

Monday, April 18, 2005

SUDAH LEBIH DARI SERATUS HARI


Cepat sekali ya waktu itu bergerak? Tentu saja aku bisa bilang begitu karena waktu akan terus bergerak. Bumi akan terus berputar. Umur berkurang setiap hari. Dan yang terjadi selalu datang dan pergi. Masih ingat seratus hari yang lalu? Hari dimana kamu bilang “saya yang akan menghubungi kamu”
Sejak detik itu. Sudah kuhapus semua nomor angka, tulisan, speed dial, atau apapun itu yang berkaitan dengan kamu. Sejak itu, aku sudah memutuskan. AKu akan silent mode saja. Bukan posisi menunggu. Tapi posisi yang akan terjadi.. yaaa ..monggo silakan terjadi. Dihubungi syukur. Nggak dihubungi juga nggak apa-apa.
Kalau kamu sekarang sudah mati pun. Aku tidak akan pernah tahu kan? Karena orang mati tidak mungkin dapat mengabarkan kematiannya dengan menghubungi aku. Kamu kecelakaan, kamu menikah, kamu pergi ke luar negeri-pun. AKu tetap tidak tahu. DAN TIDAK MAU TAHU.
Maka seratus hari yang lalu, aku sendiri sedikit-demi sedikit mulai yakin apa itu yang dimaksud dengan hubungan. NO RELATION kalau tidak ada komunikasi sama sekali. Mulai yakin, karena selama ini selau ada proses deny. Penyangkalan! Kadang-kadang aku bisa terkaget-kaget sendiri kalau menyadari betapa naïf-nya aku selama ini.
Dalam seratus hari ini, banyak sekali perubahan yang dapat aku buat. BUat diri sendiri. Buat pohon yang sedang tumbuh. Buat kucing hitam yang aku tak tahu siapa namanya. Buat hujan yang sudah mulai turun belakangan ini. BUat sinar matahari, buat angin. Buat batu. Aspal. Tanah basah. Rumput. Atap rumah. Padang ilalang. Becak. Lampu di jalan. Walau hingga detik ini, masih saja aku bertanya-tanya.. wondering… sedang apa ya dia? Apa yang dia lakukan sekarang? Aku harap itu hal yang baik buatnya.



(bsd, 22 Oktober 2004, jam 07.20)
Habis sahur, minum kopi, nggak bisa tidur lagi. Browse dari subuh tadi. Udah ngerapiin data. Kucing hitam lagi leyeh-leyeh di ruang tengah
.


Friday, April 15, 2005

[curly]


Sudah dua orang yang salah prediksi nembak hari ultahku. Yang lain, malah bingung antara hari Sabtu atau hari Minggu ya? dan malah bertanya …. “mau dikasih kado apa?” he..he…. tapi ada juga kok yang inget kalo ultahku tanggal 26 ini. Tapi… buntut-buntutnya malah minta ditraktir makan-makan. Huaa..ha..ha…

Tapi terlepas dari itu semua, senegnya bukan kepalang. Masih ada yang inget. Perhatiannya itu lho. Itu yang tak tergantikan. Dan ngomongin soal ultah, juga nggak jauh-jauh dari panggilan kesayangan. Beberapa temen yang cukup dekat di hati punya panggilan tertentu yang rasanya “nyeeeesssss” dihati. Bak air yang netes dari keran. Sueeejuuuuuk banget!

Krit! Itu panggilan kesayangan yang muncul waktu jaman kuliah dulu. Sejarahnya cukup panjang. Demi menjadi satu-satunya (eh enggak ding kalo sama dia sih, jadi berdua) yang berambut keriting tak terkendali di kampus. Kami berdua cukup tahu diri untuk membentuk himpunan perjuangan dibanding himpunan resmi jurusan. Asalnya sih mangil nama, resmi! Tapi lama-lama telinga ini cepat tegak dan sensitive begitu dipanggil Krit. Lama-lama, kakak angkatan ikut-ikutan memanggilku begitu.

Yang lain, curly! Muncul dari temen kantorku. Istilah ini hadir akibat kagumnya dia atas rambutku yang (herannya) masih keriting tak terkendali selepas jalan-jalan ke Rinjani. Panggilan itu bener-bener unik dan nggak ada duanya. Dari omongannya saja sudah tergambar seribu rasa sayang yang nggak terucap dengan kata-kata.

Sayang, udah lama nggak ketemu lagi dengan orang yang satu ini. Cuma kadang-kadang saja ada satu SMS yang masuh di tengah hari bolong. : “Ada dimana Curly?” Huaaaa… kalau sudah begitu, sudah deh….. yang laen pada lewat. Kami sibuk berbalas SMS bak laiknya orang yang lagi chatting.

Entah kenapa ya…. Akhir –akhir ini teman-teman lama yang sudah lama banget nggak pernah ngontak pada menghubungiku dalam waktu yang bersamaan. Kalo baca ramalan bintang minggu ini di tabloid sih, nggak ada hubungannya sama sekali. Cuma bilang, kalo urusan kerjaan udah kelar minggu ini dan disarankan untuk jalan-jalan …hi..hi….. sayang … belum dapet exit permit dari markas besar! Bulan depan deh baru bisa jalan lagi!!!!

Bsd, 06.24; pagi... 24 Maret 2005

Friday, March 04, 2005

Wednesday, January 19, 2005

bukannya promo lho!!! cuma sekedar berbagi

dengan jargon ‘Now Everyone Can Fly’ rasanya bukan bohong bukannya sihir kalau maskapai penerbangan dari negara tetangga ini menjanjikan harga yang murah meriah…J

Sebenarnya tahun lalu, secara tidak sengaja saya pernah terbang ( terbang? #$%^* gubraaaakkk!! ) dari Kuala Terengganu menuju Kuala Lumpur dengan maskapai ini.

Long story deh …. demi menemani suami napak tilas ke Kuala Terengganu yang parahnya bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Kami naik bis dari Terminal Bis Puduraya di kota Kualalumpur. Bis yang melayani jalur menuju Terengganu penuh luarbiasa. Maklum..hari raya!! Semua mudik ..dik.. dik.. dik ..!!!

Bis yang rencananya berangkat pukul 8 malam molor hingga pukul 2 dinihari. Perjalanan melalui darat penuh berdesakan ala bis ekonomi sepanjang hampir 7 jam perjalanan membuat saya mengomel panjang pendek karena lelahnya…L

Itulah sebabnya, mengapa perjalanan kembali kami lakukan via udara.
Menghitung ringgit dengan seksama dan berharap ada tiket murah yang bisa kami gunakan. Go show di bandara … (aduh lupa namanya) berjumpalah kami dengan pesawat itu. Itulah perkenalan pertama saya dengan Air Asia.

Walaupun dulu sempat terkaget-kaget dengan pelayanan self service ala air asia ….. tidak menyurutkan rasa ingin tahu saya akan maskapai yang satu ini.

Saya terus berharap …. Kapaaaaan ya ada penerbangan murah ke luar negeri?
Begitu tahun ini mereka mulai merambah pasar Indonesia ..(saya sudah meloncat-loncat bak tarzan saking senangnya). Mulailah kami berdua (saya dan suami) mereka-reka perjalanan berdasarkan jalur pesawat terbang.
Jadi dibalik nih … tujuan dibuat berdasar jalur transportasinya!
he..he..

Hingga lebaran lalu, dengan memanfaatkan momen cuti massal Idul Fitri, kami berdua mencoba pergi dengan pesawat ini. Tiket sudah kami order via email berbulan-bulan sebelumnya. Kode booking sudah didapat dan transfer melalui bank juga sudah kami lakukan. Dan yang pasti, harganya fix!
nggak berubah. Kemudian kami hanya tinggal datang ke counter untuk dapet boarding pass. Perlihatkan paspor. Sudah muncul deh boarding pass-nya yang sebesar print out atm.

Tapi kalo urusan ngaret, nggak ada duanya deh. .. sama aja dengan tetangganya …CITILINK!!! (sambil mengerutkan kening …apa karena bertepatan dengan hari raya ya?) Pesawatnya molor sampai 1 jam. Baru deh bisa berangkat.

Ternyata pada boarding pass-nya ada nomor urut untuk antrian masuk ke pesawat. Saya kan nggak mau duduk misah sama misua (walau cuma di dalem pesawat ..he..he..) Akhirnya kami berdua bikin kesepakatan. Siapa yang bisa masuk duluan kedalem pesawat, silakan .. monggo nge-booking tempat.

Entah siapa provokatornya, tiba-tiba saja sudah ada satu dua orang yang berdiri di jalur antrian. (yang sudah dipastikan diikuti berpuluh-puluh penumpang lainnya) Padahal..sungguh mati…. Crew nya udah wanti-wanti …..
pintu belum dibuka… masih laammaaaa!!!

Hingga akhirnya barisan dipisah menjadi 2 bagian. Barisan orang tua dan anak-anak (plus pendamping anak tsb tentunya) dan barisan orang-orang usia produktif.

“orang tua dan anak-anak! Dipersilakan masuk terlebih dahulu” …. Ada satu orang yang coba-coba nyelip di barisan itu. Harapannya siiih… bisa masuk terlebih dahulu. Hasilnya saudara-saudara …. Sudah bisa ditebak.
Serta merta ditolak, diikuti huuuuuu… dari penumpang lain yang sedang ngantri.

Ada lagi sistem yang mereka buat biar orang nggak bisa nyatut tiket ala Indonesia. Kontrolnya jelas dari passport atau ID lainnya. Di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), mereka akan meminta paspor untuk dicocokkan.

Mulai dari counter boarding pass, sampe kita mau masuk ke pesawatnya pun akan diperiksa kembali. Pernah ada satu orang yang nggak cocok. Wassalam deh … tanpa ba bi bu…. kagak boleh masuk !! Ada lagi yang terpaksa ngebongkar briefcase-nya. Gara-gara crew memintanya untuk menunjukkan passport.

Yang tak kalah seru, mereka menerapkan sistem tidak ada nomor kursi.
Semua bebas memilih kursi mana yang disukai. Mau duduk deket gang, Monggo! atau di tengah dan lebih deket dengan jendela. Silakan! Mau di belakang atau di depan…. Bebaaaassss…

Penumpang tidak dimanjakan dengan adanya air atau snack selama perjalanan (alias ….kagak ada jatah makan bo’). Di tengah perjalanan cabin crew akan mengedarkan box makan plus box souvenir untuk dijual kepada penumpang dengan ‘harga yang cukup reasonable’ seperti yang mereka katakan kepada penumpang.
(Reasonable sih … reasonable… tapi kalo di kurs ringgit Malaysia dengan rupiah. masih aja bikin kepala pusing tujuh keliling. Setangkup roti tipis diisi tuna saja dihargai 7 RM atau sekitar Rp 15.500 an; segelas soft drink seharga 3 RM atau sekitar Rp 6.600)

Perilaku orang indo (aduh maaaap ya maaaaap kalo ada salah kata…!) kadang-kadang suka bikin malu. Nggak disiplin euy! (atau mungkin itu salah satu tehnik survival ya?) Kebawa budaya disini siiih …. Bikin peraturan, implementasinya nggak jelas. Bikin aturan, hanya untuk dilanggar …J

Saya jadi inget waktu perjalanan pulang kembali ke Jakarta. Geli sendiri waktu melihat ekspresi pramugara yang stress dan setengah pingsan melihat perilaku penumpangnya yang (sebagian besar) warga Negara Indonesia.

eS O Pe nya nih, karena faktor keamanan, seat belt nggak boleh dibuka, sampai pesawat benar-benar berhenti. HP nggak boleh dinyalain, sampai pesawat berhenti dan penumpang sudah masuk ke terminal building.

Pesawat baru landing aja, udah banyak yang bergegas membuka seat bealt dan berdiri membuka bagasi diatas tempat duduk mereka. Riuh rendah diantara HP yang berdering disana sini…. Alamak!!!

Lain ladang lain ilalang…. Lain lubuk … lain ikannya! Bener nggak ?
Ha..ha…ha..


Serpong, 6 Desember 2004

Bis kereeeeennn milik pak Haji


Ngomongin soal transportasi, pasti temen-temen BP' ERS nggak asing lagi ya dengan yang namanya bis. Murah meriah apalagi untuk jarak jauh, bisa jadi salah satu andalan tuh. Rupa-rupa bentuk dan fasilitas yang ditawarkan. Mau yang ekonomi, yang ber-AC hingga sekelas super eksekutif. Tinggal pilih dan sesuaikan dengan kocek masing-masing.

Yang tak kalah menarik, setiap daerah pasti memiliki ciri khas masing-masing. Ya bis nya … ya orang-orangnya … ya sopirnya … juga suasananya. Pedagang yang hilir mudik menawarkan dagangan. Mulai dari jeruk hingga pulpen, tissue hingga rokok. Anak yang menangis karena kepanasan. Asap rokok yang ngebul non stop sepanjang perjalanan hingga bau obat gosok sampe obat urut (*nggak boleh nyebut merk ya? ..*) akibat… ehem…. ada yang mabuk darat!!!

Awal Juni 2004 lalu, saya bersama kedua teman saya, Ika dan Jenny jalan-jalan ke gunung Tambora. Gunung ini terletak di ujung Barat pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Karena masalah waktu (dan jatah cuti yang terbatas… he..he..) kami menumpang pesawat hingga Bima. Bandar Udara Muhammad Salahuddin terletak di daerah Palibela, beberapa kilometer di sebelah selatan kota Bima.
Dari sini kami lanjutkan ke kota Dompu. Sesuai rencana, kami akan menginap terlebih dahulu di kota Dompu. Mengontak teman kami yang ada disana, mencari informasi dan membeli tambahan logistik.

Keesokan paginya, saya dan Ika 'membajak' satu angkot yang pasrah lewat di depan penginapan. (*hajar Bleh!!! *) Maklumlah, perbekalan kami cukup membengkak kali ini. Tiga carrier, dua daypack, dan tiga kardus berisi makanan dan air.

Tujuan kali ini adalah terminal Dompu. Dari sana perjalanan akan kami lanjutkan menuju Calabai/ Labuan Kananga (catatan : entry point menuju Ds. Pancasila, dusun terakhir sebelum melakukan pendakian ke gunung Tambora). Beruntunglah kami, bis ¾ (*bayangin metromini deh!!*) yang akan berangkat ternyata hanya 2 kali dalam sehari. Jam 8 pagi dan jam 1 siang.

Kursi belum begitu penuh … (*sambil nyengir*) … saya sudah melirik bangku kosong yang ada di depan, tepat di sebelah sopir. Bagi kami, ini tempat favorit, bisa melihat pemandangan dengan jelas.

" Maaf !! Kursinya sudah di booking " kata sang supir. Busyeeettt!!!

Sementara itu barang-barang kami yang segede gaban, sudah diletakkan di atas atap bis (*iya … ada di ATAP*) bersama hasil bumi yang dibawa penumpang lainnya. Kami membayar masing-masing 15 ribu rupiah serta tambahan 5 ribu rupiah untuk total tambahan bagasi.

Tepat pukul 8 pagi, bis kami berangkat. (*untuk yang satu ini salut deh sama bapak sopir!!*) Kami duduk dengan manisnya bersama Ibu-ibu, anak-anak, remaja putri.

Perjalanan diperkirakan akan memakan waktu sekitar 6 jam. Menyisir tepian pulau. Selain jarak yang cukup jauh, juga kondisi jalan (*ampuuuuuunnnn ...baru kemudian saya tahu*) yang hampir setengahnya rusak total.

Penumpang naik dan turun silih berganti. Penuh sesak. Kalo bisa, satu bangku diisi empat orang (*maklumlah ….. wong cuma 2 kali sehari je'*).
Belum termasuk yang berdiri di dalam bis. Hingga yang duduk di atas atap. LUAR BIASA.

Sebagai manusia yang rajin minum air 8 liter sehari, tidak seperti Ika dan Jenny …. Saya rajiiiiiiiiiiinnnnn sekali ke toilet. Satu hal yang mebuat saya khawatir adalah perjalanan selama enam jam, bayangin!
Syukurlah, di tengah perjalanan, in the middle of nowhere, bis kami berhenti. Rupanya dijadikan sebagai tempat rehat. Beberapa warung untuk sekedar makan dan minum kopi. Toilet alam berupa bedeng sederhana yang menghadap laut. (lumayaaaaan…. Sambil memenuhi panggilan alam sekaligus memandang keindahan laut lepas).

Ika sudah sedari tadi meminta penumpang di dalam bis untuk berpotret bersama. Sekaligus memberikan penjelasan singkat atas pertanyaan-pertanyaan penumpang yang keheranan memandang kami. (*mungkin mereka berpikir … ngapaiiiiin capek-capek naek gunung ..*)

Rehat sekitar 15 menit, bis bersiap kembali melanjutkan perjalanan.
Penumpang lain mulai masuk ke dalam bis. Jenny pun sudah menyusul.
Sementara sisanya (*bapak-bapak dan beberapa remaja ABG*) mulai memanjat tangga di belakang bis. Hendak naik kembali ke atas atap. Saya dan Ika berpandangan.

"why Not?" kata Ika.
"Masih ada tempatkah diatas?" tanyaku kepada orang-orang yang ada disana. Sambil berseru-seru mereka membantu kami naik. Menyediakan tempat yang paliiiiing aman buat kami. Kami duduk diantara barang-barang penumpang.

Right decision! Dengan begitu saya bisa mengambil foto sebanyak-banyaknya. Merekam gambar juga. Dan yang pasti ber-AC!!!….
(*Air Cendela!!! Hua..hua…. angin bo! please! Do not try this at home!
He..he… karena malamnya … kulit perih terbakar akibat lupa pakai
sunblock*)

Dan pemandangan selepas tempat rehat tadi, bertambah indah. Ilalang khas Pulau Sumbawa, daerah penggembalaan kuda dan sapi dimana-mana serta laut yang berwarna biru di sisi barat kami. Sesekali kami harus merunduk (atau bergaya ala pantai) akibat ranting pohon di kanan kiri jalan.
(*mau kesamber ranting pohon?*)

Obrolan dengan sesama penumpang dek juga tak kalah seru. Ada seorang Bapak yang tiap hari menengok peternakan kudanya. Ada yang menceritakan lahan ini milik gubernur anu, peternakan ini milik pejabat anu. Serta beberapa anak sekolah yang hendak berlibur. Hingga beberapa kali bis berhenti di daerah permukiman hanya untuk menurunkan barang kiriman.
(catatan : bis sekaligus ekspedisi pengiriman barang).

Yang lebih seru lagi, justru ketika 4 hari kemudian kami kembali lagi menuju kota Bima. Bis yang kami tumpangi berangkat pukul 2 siang dari Labuan Kananga. Ika dan Jenny duduk agak di belakang. Sedang saya, duduk bersama seorang Bapak, di depan disamping sopir bis. Ngobrol kesana-kemari. Pak sopir kami ini dipanggil dengan akrab oleh para penumpangnya dengan sebutan Pak Haji. Dengan bangga, ia ceritakan kecintaanya akan profesinya. Bercerita pula dia akan anaknya yang nanti akan kuliah di Surabaya. Serta suka-duka waktu ia naik haji tahun lalu.

Tiba-tiba dari belakang Ika mencolek bahu pak Haji :
"Pak … bisa berhenti sebentar? Temen saya mau memotret, sebentaaaaaaaaarrrrrrr ajaa.. "

Jenny sudah dalam posisi mode on di pintu bis. Kamera sudah siap di tangan. dengan kondisi jalan yang cukup rusak, saya yakin Jenny susah sekali mengambil foto. Tapi memang pemandangan di luar sana luar biasa.
Menjelang sore. Cahayanya sedang bagus-bagusnya. Siluet gunung Tambora nampak di kejauhan sana.

Bis berhenti. Diikuti oleh pandangan bertanya-tanya dari seisi penumpang bis. Jenny segera mengambil beberapa gambar. Sambil menoleh ke belakang Pak Haji berkata ; "dari Jakarta !!! dari Jakarta!!!"

Ohhhhh….. Ramai penumpang berkomentar.... tanda maklum. Tak lama kemudian bis kembali melanjutkan perjalanan. Diikuti cengiran lebar kami bertiga.

Perjalanan ke Bima cukup jauh. Kami baru tiba sekitar pukul 8 malam.
Tapi yang nggak akan saya lupakan, di tengah jalan tempat kami rehat kemarin… kami bertiga di traktir makan oleh pak Haji….. !!!! he insist !!!!

Apa boleh buat …. Rejeki nggak boleh ditolak kan?

(Serpong, 23 Nopember 2004)


Ngebackpack sendirian .Seru juga kok .. (Episode : Pak U sman Guide keraton Kasepuhan Cirebon)


“ Titip ya? Entar hari Senin.. tolong bawain ke kantor..” pesenku pada temen kantor yang pagi itu mau balik ke Jakarta. Hari itu hari Jum’at. Sebenernya tugas kantor udah selesai sejak pagi tadi. Mau balik lagi ke Jakarta .. nanggung ! Maka, sebagian barang aku pindahkan ke dalam tas temanku. Sedang sisanya masuk ke kerir yang bakal aku bawa nanti.

Hari itu, rencananya aku bakal lanjut ke Wonosobo. Bareng sebelas temen lainnya yang baru start entar malem dari Jakarta dengan kereta. Akhirnya kuputuskan untuk nongkrong disini sampai temen-temen dari Jakarta lewat. Kereta Sawunggalih trayek Sta. Senen – Kutoarjo bakal lewat dan berhenti sebentar di Sta. Cirebon sekitar pukul 10 malam nanti.

Terus terang, ini pengalaman pertama ngeback pack sendirian. Tapi dari pada bengong nggak jelas … mending jalan deh! So …. Segera check out dari hotel jatah kantor dan pindah ke hotel murmer sekitar stasiun kereta.

Kemaren, begitu datang di Cirebon (dan di sela-sela tugas kantor) aku sempet keliling sebentar untuk survey. Ada beberapa hotel murmer yang jaraknya hanya selemparan batu (saking deketnya!) dengan stasiun. Mulai yang harganya 20 rb s.d. 35rb permalam (standar single, fan, kamar mandi didalam/ luar) hingga yang harganya berkisar 95rb – 110 rb (AC, telp,
kulkas, kamar mandi didalam).

Sedang kendaraan umun di kota ini relatif mudah ditemui. Ada angkutan umum dan becak! Beberapa trayek kendaraan nomor D4, D6, GP (yang laennya lupa) yang melayani jalur seputar kota Cirebon. Mungkin setiap trayek dijatah ya… jadi, nggak terlalu banyak dan berebut penumpang. Perjalanan ke tiap lokasi nggak sampai 15 menit. Memang dasar ibu-ibu …. Pertama datang disini yang dicari pasti mal dulu! Biasaaaa… buat berorientasi! Kalo mau sight seeing keliling kota, gampang juga ..naek salah satu angkot. Ikuti mereka berputar satu keliling rute. He..he…

Setelah masuk kamar. Istirahat sebentar … langsung deh … bergerilya …Berikutnya … mau jalan kemana ya? Pertama yang harus dilakukan adalah cari info. Tanya resepsionis atau office boy. Dengan tulus mereka akan memberikan informasi kepada kita. Atau tanya sesama penumpang angkot. Bahkan spg di mal pun akan membantu. Beberapa interest place sudah kutandai. Ke keraton, kalo bisa lanjut ke sentra batik cirebon dan pasar Kanoman. Itu dulu deh.

“naek angkot aja. Lampu merah berhenti. Setelah itu nyambung dengan angkot lain. Di depan toko anu di perempatan berhenti. Dan lanjut pake becak.
“oh .. oke!” (kataku sambil mencatat di kertas) “Ongkosnya biasanya berapa ya?”
“angkot sih 1200 perak. Jauh deket sama aja. Becak. Tergantung jarak lah ya.. Tapi umumnya jarak deket sekitar 2500 – 3000 ribu “

Begitu sampai di jalan raya…. Keburu dicegat tukang becak. Setelah berhitung, sama aja bahkan lebih efisien naek becak. Jarak segitu dia mau dibayar 7000 perak. Pake ditungguin pula!

Jam sepuluh pagi. Panas sekali. Dan jarak ternyata cukup jauh juga. Becak yang kutumpangi berlenggak-lenggok melewati seluruh short cut yang bisa ia tembus. Melewati pasar, jalan raya hingga becak berdecit berhenti di sebuah jalan masuk.

Tidak jauh dari sana ada pos pembelian tiket masuk. Mirip kantor kecil sih. Beberapa set meja dan kursi, satu lemari berisi piagam dan file , satu set pesawat TV dan player, berikut rak berisi merchandise ala Keraton. Begitu aku membuka pintu dan melongok ke dalam segera disambut oleh seorang bapak tua yang menyodorkan buku tamu begitu tahu maksud kedatanganku.

Disudut sana, serombongan anak SMP baru selesai tour dengan diantar salah seorang guide. Sedang beberapa Bapak dengan pakaian beskap lengkap sudah nyegir begitu melihatku datang. (Kenapa nyengir ya? Bingung mode on …) Baru aku tahu kemudian. Mereka berbahagia karena ada pengunjung hari ini. Rupanya juga, mereka adalah beberapa guide resmi keraton yang sedang bertugas hari itu.

Tiket masuk seharga 2000 rupiah, ditambah 1000 rupiah untuk tambahan membawa kamera. Berbelanja buku dan CD mengenai Keraton Kesepuhan Cirebon.

Aku dikenalkan dengan salah seorang guide yang kini bertugas mengantarkanku berkeliling. Bapak ini tersenyum ramah menyambut jabat tangan yang kuulurkan kepadanya.

“Nama Bapak siapa?”
“Usman, …… mmmm ..Mbak-nya ini dari mana ya?”
“Oh … saya dari Jakarta Pak …, sori ya Pak .. kalo rada lama … habis ..sambil motret nih ..”
“Oh .. tidak apa-apa … santai aja .., lho kok sendirian? ”


“Oh ..banyak kok ” Sebagai jurus andalan bersilat lidah “ Tapi temen-temen saya baru
gabung entar malem”

Dengan tarif resmi guide yang hanya 10 ribu rupiah. Aku diajak Pak  Usman berkeliling. Kompleks Keraton Kesepuhan Cirebon yang dibangun abad 15 ini tidak seluruhnya utuh. Hanya istana yang masih di jaga sesuai aslinya. Beberapa bangunan pendukung sudah beralih fungsi menjadi museum. Di sisi timur bagian dalem agung bahkan hanya tinggal puing-puing. Lokasi bangunan keraton Kesepuhan membujur dari utara ke selatan. Seperti laiknya keraton lainnya di Jawa. Orientasi keraton ini menghadap ke utara sebagai perwujudannya menghadap magnet dunia.(cmiiw)

Di sekitar kompleks sudah mulai padat rumah penduduk. Umumnya masih kerabat keraton. Di sela-sela penjelasannya yang sangat mendetail mengenai sejarah, mitos dan fakta seputar keraton, kami ngobrol mengenai kegiatannya sebagai guide keraton. “Dulu saya kerjaannya bisnis Mbak.Keluar kota terus. Keluarga saya tinggal disini. Sepuluh tahun terakhir, saya putuskan untuk menetap saja dan mengabdi ke keraton”

Miris juga mendengar penuturan Pak Usman. Tanpa bermaksud meminta belas kasihan. Ia menjawab pertanyaanku mengenai honor yang ia terima dari Keraton. “Honor perbulan untuk guide 60 rb. Sedang tukang rumput disini hanya 50 rb saja perbulannya” begitu kami melewati depan istana. Halaman luas berikut pohon-pohon rimbun di sekitar. Seorang tua sedang menyapu halaman.

“kadang-kadang untuk memotong rumput saja, kami meminta bantuan pemda” mengingat luasnya lapangan ilalang. “mereka kan punya mesin potong rumput”
“guide nya sendiri pak?” tanyaku.
“disini ada 12 orang guide. Umumnya masih kerabat keraton” dan umumnya sudah sepuh sebagaimana Pak Usman.
“Lho? Yang muda-nya pada kemana Pak?”
“merantau Mbak!” Bagaimana mereka berusaha menghidupi segenap isi keraton dan keluarga. Mengharap subsidi dari pemerintah masih jauh diluar harapan.

“Tidak seperti yang di jogja Mbak” curhatnya. “mereka disana kayaknya kok lebih terjamin”
“yah ..Pak .. pelan-pelan … saya lihat disini sudah mulai ada usaha untuk mandiri kok.” Jawabku begitu aku diajak berkeliling melihat usaha pengrajin furniture antik di tempat mereka. “tanah keraton di depan, udah disewakan kepada pemda”
“sekolah tari ada disisi timur keraton. Sayang peminat nya berguguran setiap tahunnya” Begitu kami melewati satu bangunan sekolah. Ada 3 kelas dan satu ruangan umum. Sayang ya… usaha pelestarian budaya seharusnya justru tumbuh dari sini.

Kemudian kami melewati taman istana. Konon, disini ada sumur yang tak pernah kering airnya. Bahkan di musim kemarau sekalipun. Airnya tawar begitu aku dijamu untuk mencicipinya langsung dari sumur. “Suuueeegeerrrrr!!!” Padahal lokasi keraton ini hanya beberapa kilometer jaraknya dari laut.

Nggak terasa, udah lebih dari dua jam! Kini kami sudah berada kembali di pos tiket. Tips kuberikan untuk Pak Usman seiring salam perpisahan dari mereka yang ada di pos mengantarku kembali menuju becak carteran.

Menoleh sedikit ke belakang ..( he.. he… seperti dalam filem-filem tuh …diiringi theme song …. gending sunda mengiringi becakku meninggalkan keraton Kasepuhan) tercenung membayangkan masa kejayaannya dulu. Ketika orang dari negeri seberang datang membawa cendera mata. Ketika rakyat datang bertelanjang kaki memohon perlindungan gusti ratu Ayu
Pakungwati. Ketika langit memerah karena mesjid keraton habis dilalap api. Ketika …….

“kemana kita sekarang Neng?” tanya si tukang becak memecah lamunan.

(he..he..tersadar dari lamunan) “lanjut Maaaannngg!!!”



Serpong, 31 Desember 2004
(seperti janjiku kepada Aris kunlun : “ini spin off-nya pendakian Sindoro, Ris!”)


Suatu hari di Ayutthaya (episode wat Mahathat)



“Jadinya pilih yang mana? Ke Ayutthaya atau Pattaya?” tanya suamiku, memastikan lagi. Sebel. Udah sering dijawab masih aja ditanyain lagi “Ayutthaya!” jeritku. Barangkali, pikirnya, kok tumben nih anak pantai kagak mau diajak backpack ke pantai.

Dalam bayanganku, mampir kesana seolah menghadirkan kembali kejayaan masa lalu. Beberapa dinasti bergantian memerintah bumi Thai. Beribu-ribu orang datang dan membawa upeti. Ribuan kapal mampir melewat sungai-sungai kecil di seputar kota.

Waktu membuka peta Periplus sebelum kami mampir kesini, mataku sudah tertumbuk di ujung utara kota Bangkok. Melihat logo bintang berwarna merah lambang interest place. Suatu daerah yang tertata rapi penuh grid. Dilingkungi air disekelilingnya dengan sistem pertahanan seperti itu, pasti menarik sekali. Dibanding objek lainnya, tempat ini tak kalah menariknya.

Ke Pattaya yang notabene di pantai pesisir selatan, sama sekali tidak menarik perhatianku. Hanya satu pesisir berisi deretan hotel, hostel, wisma, restoran dan segelintir toko souvenir. Dalam bayanganku nih…(sori deh .. kok bayangan melulu ya?) suasana kayak di Kuta. Turis
meluluuu!!!!

“Jadiii????” sebuah suara memecah lamunanku. Hampir meradang karena kesal, tapi nggak jadi karena melihatnya tersenyum geli karena hanya ingin menggodaku saja.

Ayuttaha merupakan ibukota lama bagi Thailand, terletak sekitar 76 kilometer di utara kota Bangkok. Kota ini sendiri dilalui oleh 3 sungai besar, Lopburi di utara, Pasak di timur dan sungai Chao Phya di sisi barat dan selatan.

Dari Bangkok kami menumpang kereta api. Dari beberapa jalur, kami pilih yang Northeastern line. Hampir setiap 2 jam ada kereta yang berangkat menuju Ayutthaya. Paling pagi pukul 05.45 hingga pukul 23.40 tengah malam.

Waktu itu kami ambil kereta kelas 3 yang berangkat jam 11.45 siang. Jangan bayangin kelas 3 nya seperti kelas ‘super’ ekonomi di Indonesia ya …huuuu … jauh banget! Walau kelas tiga, kereta ini bersih sekali. Dengan harga 15 Baht (atau sekitar 3750 rupiah) perorang kami dapat
memilih gerbong dan bangku kayu yang kami suka. Jendela berukuran 1 x 0,8 meter terbuka lebar tanpa perlu khawatir di lempar batu atau tiba-tiba ada kepala nongol dan nyengir disana. Tidak ada yang merokok. Tidak ada pengemis yang berseliweran atau pengamen yang mondar-mandir tiada henti. Penjual asongan tetap relatif jarang disini. Kalaupun ada mereka diharuskan memakai vest resmi tanda penjaja asongan. (two thumbs up!)

Kereta tepat berangkat pukul 11.45. Hampir ketinggalan kereta karena aku lagi sibuk jeprat jepret di sana-sini. Berikut wajah panik sang suami yang nongol di pintu gerbong He..he…. aku salah duga.. dikira keretanya bakal ngaret !!!

Bangku jelas tidak bernomor. Yang artinya, setiap penumpang bebas memilih tempat. Waktu itu aku berjalan mencari tempat yang cukup strategis. Di gerbong tengah masih ada beberapa bangku kosong. Di seberangnya duduk seorang Bhiksu tua disamping seorang bhiksu muda yang masih berusia paling enggak 12 tahunan lah, dengan walkman dan earphone di telinganya wah… dia terlihat fungkeeeeehhh sekaliii!!!!. Dalam hati aku berguman “kereeeeen.” Object menarik nih buat di foto. Segera kulempar backpack dan duduk disana.


Sontak dari bangku seberang sang Bhiksu tua berkata kepadaku (kalo boleh dibilang begitu) dengan bahasa yang sunguh mati aku tak tahu. Tangannya bergerak-gerak menunjuk. Bergantian. Kearahku dan menunjuk ke atas. Busyeeetttt!!!! Mau khotbah kali yeeee…..

Sedang suamiku cuma terbengong-bengong dan bertanya kepadaku. “Ngomong apa dia?” emangnya tukang sulap! Sama nggak ngertinya. Akhirnya sih nebak-nebak buah manggis …. Mencoba berpikir jernih dan tidak panik Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata dia hanya menunjuk-nunjuk bangku yang aku duduki dan dua plang tulisan aksara Thai yang menggantung di plafon gerbong diantara kami duduk.


Emang bahasa tubuh bener-bener universal language deh. Dengan begitu aku baru ngerti kalo kami nggak boleh duduk disana. Beberapa bangku disana memang dikhususkan buat Bhiksu. Orang sipil kagak boleh lah yaaa…



Beberapa hari tinggal disini, aku dapat mengamati dengan jelas betapa orang-orang seukuran Bhiksu sangat dihormati. Seperti halnya keluarga kerajaan.

Perjalanan selama 2 jam tidak terasa lama. Pemandangan di luar sana silih berganti seperti halnya di Indonesia. Vegetasinya, ya..  lingkungan permukimannya. Sama sekali tidak jauh berbeda. Nggak ada tanda-tandanya. Juga nggak ada kondektur yang bakal teriak-teriak mengingatkan penumpang yang akan turun. Kalo kami nggak secara kebetulan melihat plang bertuliskan Ayutthaya. Mungkin udah lewat deh. Kami bergegas turun. Dan tak lama kemudian, kereta api melanjutkan perjalanannya.

Stasiun kereta Ayutthaya ini tidak begitu besar. Sama seperti Stasiun Jatinegara deh, atau Stasiun CIrebon atau Purwokerto. Waktu itu sudah hampir pukul 2 siang. Dalam imajinasiku nih, suasana di stasiun bergerak sangaaaaaaaattt lambat. .. semua bergerak slow motion.


Orang-orang duduk di bangku kayu di emplasemen. Seekor anjing yang dengan cueknya tidur di lantai dekat pintu masuk. Beberapa turis, duduk di pojok sambil membaca lonely planet. Tidak ada pengemis juga tidak ada calo yang kadang-kadang sedikit opportunis mencari wisatawan.

Sadar bahwa menjadi daerah tujuan wisata. Bahkan sejak dari Stasiun kereta pun kami sudah disuguhi informasi yang sangat jelas. Papan peta lokasi berikut tarif tuk-tuk (alat angkutan terutama untuk jarak dekat. Kalo di Jakarta padanannya sih Bajaj) untuk setiap tujuan. Tarif tuk-tuk untuk lokasi terjauh sekali jalan seharga 100 Baht (atau sekitar 25 ribu rupiah) atau kalau tidak mau repot, carter tuk tuk aja sebesar 200 Baht/jam (50 ribu) mereka akan mengantar kemana saja kita suka. 



Atau kalau masih kurang puas, disana juga ada pusat informasi turis. Mereka dengan senang hati akan membantu. Toilet umum 3 Baht (750 perak!) sekali masuk, uniknya si penjaga toilet juag sekaligus menjual tissue dan accessories lainnya.

Ayutthaya pernah menjadi pusat pemerintahan bumi Thai. Lebih dari 417 tahun (antara tahun 1350 – 1767) dengan 33 raja dari 5 dinasti yang menjalankan pemerintahan. Ada sekitar 13 object yang tersebar di segala penjuru kota berupa kompleks istana dan Wat (yang artinya kurang lebih kuil).


Untuk mengelilinginya dengan 'tenang', paling tidak dibutuhkan sehari dua hari disini. Aku lihat ada beberapa penginapan di depan stasiun berikut penyewaan sepeda. Sayang nggak sempet tanya harga.

Seorang wanita berusia antara 45 – 50 tahunan menghampiri kami. Dengan sopan dan dengan bahasa Inggris yang cukup fasih menawarkan jasa untuk mengantarkan kami ke lokasi-lokasi menarik di Ayutthaya. Baru kemudian aku sadar bahwa dia ternyata co drivernya tuk tuk.

Kami berjalan hingga pintu keluar stasin. Ada beberapa tuk tuk yang mangkal disana. Nggak ada tuh usaha untuk me-mark up harga. Jelas-jelas ia menunjuk papan harga di stasiun. Yang menarik, untuk membantu si turis memahami apa yang ia maksud, ia menunjukkan post card bergambar Wat dan istana yang dapat kami kunjungi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Tujuan kami adalah Wat Mahathat. Terletak benar-benar di jantung kota Ayutthaya. Terletak di antara wat lainnya. Cuaca terik sekali. Bayangin aja seperti jalan-jalan ke Tanjung Priok siang hari bolong. Panas banget! Gerah! Nyengir sendiri kalo mbayangin naek sepeda keliling-keliling kota. Hari gini? Pake sepeda? He..he…..

Sewa Tuk tuk sebesar 40 Baht (10 ribu rupiah) tepat berhenti di depan gardu tiket. Dengan tiket seharga 30 Baht (7500 rupiah) perorang dan barang belanjaan berupa buku seharga 20 Baht (5 ribu saja!). Kami  segera beranjak menuju pintu gerbang yang berada tidak jauh dari sana.

Untungnya nggak terlalu banyak turis yang datang. Untuk seukuran jam 2 siang sih … ha..ha... wajar-wajar saja. Kabar baik justru. Bisa motret sepuas hati. Kagak banyak figurannya!

Hanya ada 2 orang penjaga berseragam membawa pentungan dan peluit (buat apaan sih? mengatur lalulintas? … penasaran kan? Lihat deh di akhir cerita..) yang terkantuk-kantuk di kursi di depan.

Kompleks Wat Mahathat cukup luas. Ada beberapa bangunan utama yang bentuknya mirip candi di Indonesia. Bedanya, mereka terbuat dari batu  bata merah. Hebat juga ya arsiteknya. Jaman dulu sih mana ada teknologi beton. Numpuk batu candi kayak Borobudur aja susahnya setengah mati. Ini? Apalagi numpukin batu bata merah.


Yang paling menarik adalah patung kepala Budha yang ada di dalam batang pohon. Konon nggak ada bukti sejarah mengenai kepala Budha ini, tapi diperkirakan ketika Ayutthaya di serang oleh tentara Birma, kuil Mahathat terbakar dan musnah. Akibatnya sebagian besar runtuh dan kuil ini terabaikan lebih dari ratusan tahun. Banyak pepohonan tumbuh menyelubunginya. Versi lain menceritakan bahwa bahwa ada seorang pencuri mencoba untuk mencurinya, tetapi karena berat ia tidak dapat membawanya atau mungkin juga karena takut ketahuan orang, maka ia menyembunyikannya disana. HIngga tanpa disadari, akar pohon menyelimutinya seperti yang kita lihat saat ini.

Sedihnya, di beberapa tempat banyak patung Budha tanpa kepala akibat penjarahan. Sebagian candi sudah berlumut, penuh dengan kotoran kelelawar, miring akibat usia dan tinggal menunggu runtuhnya saja. 



Mungkin karena sudah lelah. Atau sedikit bosan menungguku menjepret object. Suamiku duduk di gundukan bata. Entah dari mana asalnya  mendadak muncul petugas dengan sempritannya yang melengking tinggi. Gengsi?



Sudah pasti.

Tapi untuk menyamarkannya suamiku hanya bertanya kepadaku. “maksudnya apa?” emangnya tukang sulap lagi. Baru ngeh setelah melihat ada tulisan (sori .. dalam aksara Thai) dan memandang gundukan bata tersebut yang ternyata masih merupakan situs bagian dari Wat Mahathat yang harus dilestarikan.

Sambil tersenyum simpul, kami berdua pelan-pelan berjalan menuju pintu gerbang. Bukan maksud melarikan diri tapi memang waktu udah bener-bener tidak memungkinkan.

Sayang, waktunya terbatas. Kami harus mengejar kereta jam 15.48 kembali ke Bangkok. Perjalanan dengan kereta tidak terasa. Suamiku malah sudah tertidur sejak tadi. Tapi suatu saat …. Suatu saat pasti balik lagi. Menuntaskan ke duabelas object lainnya …. Pastiii!!!! Teriakku.



(disambit omelan suami yang mendadak bangun dan pandangan aneh dari seluruh penumpang yang ada di sekitarku)

Serpong 5 Januari 2005 15:32
(ntar malem ada acara ngumpul di Mc D Sarinah Thamrin)

Friday, January 07, 2005

 
;