Friday, March 19, 2010

catper trip lawu via ceto episode : RINDU INGIN KEMBALI LAGI

previous story : segelas kopi di pos 4

Jam 8   malam, di  Café Mbok Yem, pos HARGO DALEM (3.167 mdpl)

Mbok Yem memang luar biasa, warungnya buka 24 jam sehari, 365 hari setahun. Tak sekalipun pernah absen. Warung kecil di ketinggian 3000 meter ini, ia lebarkan ke selatan.

Bedeng memanjang beralas tikar ia berikan bagi pendaki dan peziarah yang kemalaman, tak punya tenda dan kelapara
n tentunya. 

Melalui Suw
asti, Kris bilang akan menghabiskan logistiknya dan membangun tenda tak jauh dari café Mbok Yem.

Maka inilah kami : saya, Suwasti, Joan dan Emma. Memakai jaket hangat dan kupluk. Di bawah terang lampu neon, dengung suara genset, lengkingan Mbok Yem menyambut pendaki yang baru datang atau dengkuran pendaki yang tidur saking lelahnya.

Kami duduk melingkar saling merapatkan bahu. Di lantai beralas tikar, menghadap wadah plastik berisi kopi dan teh. 

Kami ngobrol dan tertawa penuh arti. Mengingat petualangan hari itu. Akhirnya kami sampai juga. Dan rasanya sudah rindu ingin kembali lagi. Tidak hanya menyapa pucuk-pucuk daun cemara dan rumput liarnya. Tapi juga atas kehangatan dan persaudaraan yang kami rasakan selama ini.

Lalu sambil menunggu pesanan nasi pecel kami tiba. Saya kembali teringat kejadian sore itu di pos 5.


Pukul 15.30 sore POS 5 Bulak Peperangan (2820 mdpl)

Sambil menoleh kebelakang, jauh diujung sana, saya lihat dua orang berjalan beriringan. 

“Oh.. itu mereka.” Ucap saya lega. 


Sambil memberi tanda pada Emma dan Joan untuk terus maju. Kami perlahan bergerak kembali. Setelah pos 5 ini, ada dua bukit kecil di kiri kami.

Dan begitu keluar dari tempat ini.. ah.. kami bertemu lagi dengan padang sabana yang jauh lebih luas dari padang sebelumnya.


Lalu jalan setapaknya mulai membelok ke tenggara.  Dan jauh di ufuk selatan, samar-samar kami lihat puncak bukit dan sebuah tower diatasnya.

“Hah? Ada tower disini?” kami semua sungguh penasaran. -Kemudian saya tahu, dari pemilik toko souvenir yang ada di pintu masuk Cemoro Sewu. Tower itu sudah tidak berfungsi lagi. Dia dibangun pada jaman pemerintahan presiden Soeharto. Entah milik siapa dan untuk apa.-

di tengah padang, jam 4 sore


“Gue pusing!” keluh Joan tak berkutik.

Hujan sudah berhenti. Tapi ia merasa kedinginan. Sedang saya merasa lapar  -hmm.. suatu kombinasi yang aneh- Emma mengangsurkan roti dari daypack yang dibawanya. Dan kemudian mulai sibuk menjepret sana sini dan buntutnya minta dipotret dengan payung merahnya. 

Halah!


Suwasti dan Kris menyusul tak lama kemudian. Kris menemukan sumber air. Ada cekungan resapan air hujan tak jauh dari situ. Ia kesana dan menyaring air dengan filter yang dibawanya.

Benar kata Emma. Seandainya tidak hujan disini, kami pasti akan berhenti lebih lama. Seandainya juga hari masih siang disini, kami juga pasti akan berlama-lama disini.

Sambil berdebat kesana kemari, saya dan Joan sibuk mengunyah roti . –iya, Joan juga ikutan makan roti- ia juga menelan obatnya. Saya juga sempat mengganti baju yang basah oleh keringat dan tempias hujan tadi. Kami istirahat sejenak disini. Diantara kabut yang mulai menutup bukit di ujung sana.


Pukul 16.30 sore

Emma kelihatan kecil sekali. Payung merahnya sesekali bergerak menyusuri jalan setapak yang membelah padang rumput yang luas ini. Dia sudah mulai kedinginan. Yang artinya, harus mulai berjalan lagi. Saya menyusul.  Joan mengikuti  tak lama kemudian. Kepalanya masih pusing. Tapi sudah lebih baik dibanding setengah jam lalu.

Suwasti menjemput Kris yang sedang menyaring air. Dan kemudian menyusul rombongan. Jarak kami masing-masing terpisah beberapa puluh langkah. Tapi masih bisa saling melihat.


Di ujung lapangan ini, ada sebuah bukit yang harus kami daki lagi. Cukup menguras tenaga. Apalagi ini sudah mulai memasuki ketinggian 3000 meter. Oksigen mulai tipis. Kami terengah-engah menghimpun oksigen masuk ke dalam paru-paru.

Pukul 17.00 sore


Dan begitu tiba di puncak bukit, kami melipir lagi dan mengitari beberapa punggungan bukit. Pohon cantigi di kanan-kiri kami.

Di sela-selanya terlihat juga batang pohon edelweis yang belum berbunga.  Tiba-tiba, saya melihat sesuatu yang saya rindukan selama ini. Aha!

“Emmaaak!!!” teriak saya. “Itu puncaknya!!!”


Sambil menunjuk jauh disana, saya melihat tugu dan dan sebuah bendera diatasnya. Sedang berkibar. Kecil sekali. Tapi saya sena
ng karena sebentar lagi kami akan tiba.

Dari jauh Emma mengangguk –saya yakin sebenarnya dia juga sedang tersenyum lebar -.

Ia kembali melangkah. Sesekali saya menoleh ke belakang, memastikan Joan masih ada.

Di kelokan tak jauh dari Joan, nampak Suwasti dan Kris. Oh.. syukurlah. Pasukan masih lengkap.

Hingga akhirnya saya melihat Emma duduk termangu di tumpukan batu.

“Kemana kita Mbak?” tanyanya.


Dia bingung karena jalurnya menghilang disini. Di sekitar kami penuh dengan bebatuan dan pohon cantigi. Sepertinya ini sih yang disebut dengan Pasar Dieng. 

Sayang saya lupa mencatat ketinggiannya. Tapi perkiraan saya, letak Pos Pasar Dieng ini tidak sampai 100 meter ada di bawah pos Hargo Dalem. Tempatnya mbok Yem yang terkenal itu lho.

“Hmmm…ke arah
kiri Mak!” sambil mengingat-ingat pesan David sebelumnya. Dia bilang, begitu di Pasar Dieng, orientasinya terus ke arah kiri. Kami harus hati-hati karena disini banyak percabangan jalur. Dan kalau tidak ada kabut, -ini katanya lagi- “Dari sini kita sudah bisa melihat Hargo Dalem. Letaknya ada di sebelah kiri atas.”

Maka pelan-pelan kami berjalan ke arah kiri. Tak lama kemudian, jalurnya ketemu lagi. Jelas sekali. Diantara batu-batuan dan pohon cantigi.

Kami masih melewati satu padang ilalang lagi. Dan kemudian….Kemudia
n nampak atap-atap bangunan di Hargo Dalem.

Sedikit ke atas lagi. Juga kelihatan puncak lawu hargo dumilah juga tugu serta bendera yang berkibar. Semua semakin jelas dilihat dari sini.

Ahhhh… akhirnya…!!!

-SELESAI-


CATATAN :  pos HARGO DALEM (3.167 mdpl)  disini terdapat tempat ritual dan pondok penziarah dan rumah botol. Sedangkan
PUNCAK LAWU/ HARGO DUMILAH ada di ketinggian 3.245 mdpl; 07° 37' 38" LS dan 111° 11' 39" BT)  Sebelum mencapai Hargo Dalem, sedikitnya ada sekitar 3 teras tanah lapang yang cukup luas berbentuk persegi panjang (mengarah timur-barat) yang di keempat sisinya dilingkungi oleh semak belukar.

Saya menduga, ini tempat untuk mendirikan tenda ketika musim pendakian cukup ramai. Kami datang dari sisi terpanjang tanah lapang ini. Terus membelah lapangan untuk kemudian naik lagi beberapa anak tangga yang terbuat dari batu ke teras berikutnya. Hingga tibalah kami di hargo dalem. Langsung berhadapan dengan petilasan makam. Di kanan kirinya ada bangunan berdinding seng yang digunakan orang untuk bersemedi. 

Lalu kami belok kiri dan bertemu p
apan arah menuju Cemoro Kandang, Cemoro Sewu, Sendang Drajat, Jogorogo, Ceto .. dan satu lagi tidak terbaca. Kami berjalan ke arah Cemoro Sewu.

Hanya beberapa langkah dari sana langsung kami temukan pondok Mbok Yem itu.

Dan disinilah kami akan menginap malam ini.

Thursday, March 18, 2010

catper trip lawu via ceto episode : SEGELAS KOPI DI POS 4

Kisah sebelumnya : episode WHAT HAPPEN IN  POS 3?

Jam 12.15 siang pos 4 Penggik (2520 mdpl)

Dan begitu kepala saya muncul di ujung tanjakan dan naik ke pelataran kecil itu. Ah.. Rupanya Joan dan Emma sedang bercakap-cakap dengan seorang bapak yang ada disana. Kami tiba di pos 4. Ada orang yang sudah lama kemping disini. Serombongan penduduk setempat yang akan turun lewat Ceto.

Katanya kami rombongan ke-enam yang naik lewat situ. Hah? Banyak juga. Salah dong kalau ada anggapan kalau ini jalur sepi. 

Ini hari ke 7 mereka disini. Dengan tenda seadanya, jemuran malang melintang di sekitar dan sebuah radio transistor yang dinyalakan. Tak terlalu keras, tapi cukup mengisi kekosongan benak orang yang ada saat itu. Dua orang sedang leyeh-leyeh tidur di dalam tenda. Nampak nyaman sekali. Salah seorang dari mereka sedang turun ke bawah. Yang lain sedang menimang-nimang bunga edelweis. Entah di dapat darimana. Mungkin kemarin dulu waktu mereka muncak.

Ada air?” tanya Kris.
“Ada mas.“ tapi lumayan juga kalau mau turun.
“Mata air? Sungai?” tanya saya lagi. Gembira. Hobi main air. 
“Dari pipa air”

Oooooo… mungkinkah pipa air yang kemarin kami lihat sepanjang jalur dari pos 1 itu berujung disini?

Kami dibuatkan kopi oleh salah satu bapak yang baik hati itu.  Berulang kali dia menatap kami dengan takjub.


“Perempuan semua?”maksudnya, ini yang naik perempuan semua-

"Hihihi.. ada pak, cowoknya satu. Tuh!”

Mungkin karena kasihan melihat kami yang belum pernah lewat sini. Mungkin juga karena pengalaman pribadi melewati super tanjakan yang alaihim itu. Sambil ngobrol, dengan cekatan ia meraut batang kayu untuk kami. Voila!! Lima batang trekking pole sudah jadi.

Aduh.. kami terharu!


di pos 4 ini ada dua teras bersusun. Jalur naik kami membelah kedua teras ini. Di sayap kiri teras pertama ada bangunan sederhana beratap seng tanpa dinding, mirip seperti shelter di pos 3 tadi. Yang sekarang jadi tempat persediaan kayu bakar mereka. 

Sedang di sayap kanannya ada pelataran tanah yang diatasnya dibangun tenda. Naik sedikit ke teras berikut, disanalah tempat kami menumpang masak dan istirahat. Tempatnya cukup luas. Cukuplah disini jika ingin dibangun sebuah tenda. 

Menu makan siang kami kali ini adalah mie rebus ditambah suwir-suwir ayam (sisa kemarin), tuna kaleng sumbangan Kris plus crackers keju. Kopi lagi. Teh lagi. Dan buah.

Selama perjalanan dari pos 3 ke pos 4 tadi jalurnya tidak begitu ekstrim, satu setengah jam pertama paling tidak sekitar 10-15 derajat kemiringannya. Tapi setengah jam selanjutnya barulah tanjakan 45-60 derajat yang membuat paha dan betis saya berdenyut-denyut.

“Aaaah… !!!” kopi- ini ada yang punya? Tanya saya lagi si penggemar kopi. Masih ada segelas kopi yang belum diminum.  Sambil menemani Joan dan Emma dengan sebatang rokoknya. Saya menyesap kopi dengan nikmatnya… ambooooy!!!

Wah.. tidak terasa sudah 2 jam disini. Mereka menolak snack dan cemilan yang kami beri. –ini tanda terimakasih kami karena sudah dibuatkan 5 gelas kopi- katanya, kami pasti lebih butuh karena akan naik. Duh.. baik banget ya mereka. Emma nyaris menangis karenanya “Sekarang udah jarang nemu orang yang kayak gini”

Mereka melepas kami dengan sebuah doa. Amin… semoga selamat di perjalanan.

Pukul 13.45 siang


Cuaca mulai gelap. Kami sudah memasuki hutan cemara yang pohonnya sangat rapat.

Mulai terasa dingin dan kabut pun sering turun menyambut kami. 

Kadang-kadang tebal hingga menutup pandang.



Kadang juga berupa siur angin yang mirip sekali suara aliran sungai. Atau bahkan turun tetes-tetes air akibat kabut terlalu tebal yang ia sendiri tak mampu lagi membendungnya.

Tinggal menunggu waktu saja. Sebentar lagi pasti turun hujan.

Dari sini jalan akan terus menanjak naik. Yah.. sekitar  45-60 derajat-lah. Empat puluh lima menit kemudian kami malah sudah menembus ketinggian 2715 mdpl. Ada pelataran datar. Dan dua pohon besar yang membingkainya.

Sepertinya sih ini puncak punggungan. Kami istirahat sebentar. Ada batang pohon rebah yang dapat kami gunakan sebagai sandaran. Emma, Joan dan Suwasti tergoda untuk menjepret jamur dan lumut yang ada di batang pohon itu. Cantik memang.

Tiba-tiba kabut pun terbuka. Lalu nampak puncak bukit di sebelah. Semua bertanya-tanya. Apakah nanti kami akan lewat situ?  Mengingat jalur yang kami ikuti sekarang mengarah kesana, terus ke kanan. Nah..nah… semakin menarik saja perjalanan kali ini. Hati saya mulai berdebar-debar.

Pukul 14.45 siang


Kami beranjak dari tempat ini. Lalu hujan pun turun. Kadang gerimis, kadang deras. Malas membuka raincoat, saya, Emma dan Joan membuka senjata andalan masing-masing. Payung!  lagipula jauh lebih aman karena melindungi tas kamera yang saya kalungkan di depan dada. 

Saya terus merapatkan barisan pada Emma dan Joan. Suwasti dan Kris agak tertinggal di belakang, Tadi mereka berhenti dulu untuk memakai raincoat. Dari sini jalurnya jelas sekali dan orientasinya selalu ke kanan. Sekarang jalurnya turun terus dan kemudian naik lagi melalui tanjakan yang ….. ampuuuun deh!


Lima belas menit kemudian, kami mencapai kaki punggungan tetangga. Tidak harus nanjak bukit sebelah yang tadi kami lihat. Tapi sedikit naik dan melipir di kakinya.  Kami mengikuti tanjakan tanah yang jalurnya yang berputar sedikit dan melewati hutan cemara yang nampaknya bekas terbakar di waktu lalu. Masih banyak batang-batang pohon yang menghitam. Walau kini semak belukar yang hijau mulai menghiasi diantaranya.

Rasanya tanjakan ini tak habis-habisnya. Emma dan Joan nampak tertelan kabut diantara pohon-pohon cemara hitam ini. Lalu tiba-tiba pandangan berubah.


Ah… hati saya bergemuruh.


Jadi inilah padang sabana itu. Seperti yang dijelaskan David waktu kami chat beberapa minggu lalu.

“Ada padang ilalang yang mirip seperti Cikasur, mbak”
–cikasur itu salah satu tempat di gunung Argopuro, Jawa Timur- dan karena ini pula yang membuat saya ingin lewat jalur ini.

Kami datang dari arah barat. Di sisi kanan kami hutan cemara be
kas terbakar itu, sedang disisi kiri kami ada hamparan padang ilalang yang luas. Rumputnya masih muda. Masih ABG.  belum setinggi rumput di Cikasur atau gunung Merbabu. Masih setinggi betis dan warnanya masih hijau daun pisang.

Padangnya indah sekali.

Andai waktu itu tidak hujan. Barangkali kami akan lebih lama bermain-main disini. 

Dan lautan rumput ini panjang sekali. Mungkin bandingannya sama seperti berjalan dari alun-alun timur menuju alun-alun barat surya kencana di gunung Gede.

Bedanya disini penuh rumput dan bukan pohon edelweis.


Bukan puncak gunung Gede dan Gumuruh di kanan kirinya, tapi siluet bukit dan hutan pinus di kanan kirinya.  


Saya, Emma dan Joan saling menjepret dengan kamera. Cukup lama juga kami disini. Tapi Suwasti dan Kris belum kelihatan. Lalu perlahan-lahan
kami berjalan menyusur padang ini. Beberapa kali pula kami berhenti menunggu mereka. Tapi belum kelihatan juga.Duh.. mereka ada dimana ya? Seharusnya mereka sudah  ada disini.

Pukul 15.30 sore POS 5 Bulak Peperangan (2820 mdpl)






Setelah lama mengarungi padang ilalang itu. Akhirnya saya temukan juga pos 5. Menurut info yang diberikan David sebelum kami kesini.

“Dulu di pos 5 ada shelternya, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. tandanya hanya berupa batu propinsi saja. “

Jadi ini rupanya batu propinsi itu. Tapi ….“Ah .. mana Suwasti ya?” saya khawatir sekali.



next : kemana ya ibu yang satu itu?

Monday, March 15, 2010

catper trip lawu via ceto episode : WHAT HAPPEN IN POS 3?

Kisah sebelumnya di: episode bus armada sayur

17.30 WIB Pos 1 Reco Kethek (1715 mdpl)

“Pos 1 !!!“ jerit Emma.

Entah kekuatan darimana, saya ngebut. Semakin mendekati pos, senyum saya semakin mengembang. Ini jauh lebih cepat dari perkiraan kami semula. Kami tidak berhenti lama disini hanya foto-foto sebentar –teteeeeeuppp!!! - lalu kami pun berlalu.

Shelternya ada disisi kiri jalur.
Bentuknya mirip tenda pramuka, tapi yang ini terbuat dari  kayu dan bambu. Lantainya dari tanah tanpa dinding. Atapnya terbuat dari anyaman bambu yang warnanya sudah menghitam karena hujan. Orang harus merunduk untuk masuk dan duduk di dalamnya.

Formasi barisan –dan ini berlaku hingga kami turun- Emma, Joan, saya, Suwasti dan Kris paling belakang. Saya perhatikan Joan dan Kris memang terlahir untuk jadi pendaki. Badan ceking, tinggi tapi tenaganya kuat. Kalau mau, mereka sudah melesat beberapa menit –ehm… maksud saya beberapa jam  - jauh di depan.

Sedang saya, Emma dan Suwasti adalah tipe orang yang harus berjuang keras berlatih untuk menjaga stamina. Badan kami (cenderung) lebar kesamping, tapi sekseh.. hahaha…

Tapi kondisi saya sore itu tidak begitu bagus. Berkali-kali saya berhenti untuk mengelap keringat, minum dan mengatur nafas. Suwasti dan Kris dengan sabar menanti tak jauh dibelakang saya. Perlahan namun pasti kami bergerak terus. Hari mulai gelap. Tanpa diperintah, diam-diam kami mengeluarkan headlamp.

19.00 WIB Pos 2  Brakseng (1915 mdpl)


Jam tujuh malam di pos 2. Hari sudah gelap. Pepohonan tinggi diantara kami terlihat muram dan hitam. Baju saya sudah basah kuyup karena keringat. Lembab sekali disini. Gerah pula. Rasanya saya ingin sekali menendang kerir celaka ini  menggelar tenda, mengganti pakaian, makan dan langsung merebahkan tubuh. Batas ketabahan saya habis sudah.

Jadi saya tanya mereka satu persatu.

“Mau terus sampe pos 3 atau kita berhenti dan nginap malam ini?”

Emma bilang dia masih kuat untuk terus ke pos 3 tapi  kalau mau ngecamp di sini juga nggak apa-apa. Dia nyengir sambil berharap kami ngecamp saja.  Begitu juga Suwasti. Joan apalagi. Hhh.. diplomatis sekali 


“Kris?”
“Sudah malem. Lebih baik kita ngecamp disini.”


Dan kini mereka semua memandang saya.


“Saya capek sekali.” Sahut saya sambil nyengir.
“Kita ngecamp aja ya?” memang itu cita-cita saya dari pos 1 tadi.

Lagipula saya nggak suka jalan di waktu malam hari. Bukankah lebih baik segera istirahat memulihkan tubuh. Besok sih lanjut lagi, masih sekitar 1000 meteran lagi kami naik. Wadau.. masih jauh !! 

Maka kami membongkar bawaan masing-masing. Shelternya serupa seperti pos 1. Hanya letaknya ada di sebelah kanan jalur. Di depan shelter ini ada tempat yang sudah dibuka pendaki sebelumnya. Walau tanahnya tidak begitu rata dan berkali-kali tangan saya tersengat jelatang waktu mendirikan tenda tapi tempatnya cukup untuk membangun 2 tenda. 

Malam itu terang bulan, tapi saya ingin segera tidur. Setelah makan nasi dan lauk yang tadi pagi kami beli, saya menyelusup masuk ke dalam sleeping bag hangat saya. Sayup-sayup masih terdengar Joan dan Emma ngobrol di depan pintu tenda. Tak lama kemudian mereka pun menyusul saya.

Sabtu 27 Februari 2010 jam 06.10 pagi


“Kalau tau begini. Gue nggak akan bawa banyak logistik” protes Joan.

Kami bertiga –saya, emma dan Joan- dengan lugu duduk memperhatikan Kris dan Suwasti yang sedang membongkar logistik mereka. Ada tuna kaleng, cumi-cumi kering, sop sachet, buah-buahan dan rupa-rupa makanan siap saji lainnya. Nampak kontras sekali dengan kami yang hanya memegang bungkus mie instan dan kopi sachet.  Manajemen logistik kami tidak sevariatif mereka.

Saya sih gengsi, lebih baik menyuap roti isi keju dan segelas kopi bekal kami. Tapi akhirnya mengikuti Emma juga menyerbu nasi goreng buatan Kris. Hahaha..
maksud hati sih pengen icip-icip aja. Tapi kok keterusan ya hingga licin tandas. Mungkin tadi Kris cuma basa-basi aja nawarin nasi gorengnya.   Pasti dia nyesel deh. Maaf ya Bro..!!

Jam 08.45 pagi masih di pos 2.

“Siap ya!!!”

Sebelum beranjak dari pos 2, kamera saya dan Emma sudah kami tumpangkan di punggung kerir yang sekarang jadi tripod dadakan. Self timer-nya kami atur untuk 10 detik.  Sambil membidik sasaran, kami saling berbagi, akan berdiri dimana nanti. Lalu kami berdoa semoga hari ini dimudahkan perjalannya. Dilancarkan dan selamat hingga tujuan.

Jalur dari pos 2 ke pos 3 jelas sekali. Sama sekali tidak ada per
cabangan. Hanya saja, jalurnya sudah mulai menanjak. Berganti-ganti sih. Dari landai hingga tanjakan.

Bukan tanjakan setinggi paha yang penuh akar pohon untuk berpegangan. Tapi tanjakan berikut lumutnya. Dan ilalang semak belukar dikanan kirinya. –kemudian juga baru saya sadari, saya tidak memakai baju lengan panjang. Begitu tiba di rumah, sudah baret-baret karena luka tergores ranting pohon, sigh!-

Tanjakannya mulai aduhai sekal
i. Tapi dibanding kemarin sore, pagi ini hati saya terasa ringan. Kami sudah mulai masuk hutan. Tidak begitu rapat dan masih banyak semak belukarnya. Dan langit terlihat biru diantara pucuk pepohonan.

Keren deh!

Jam 10.15 pagi pos 3 Cemoro Dowo (2215 mdpl)


Akhirnya kami tiba di pos 3. Kami mencatatkan sekitar 1,5 jam jarak tempuh dari pos 2 ke pos 3. Dan seingat saya, sepanjang perjalanan tadi ada dua tempat datar yang cukup luas seandainya kemalaman dan harus menggelar tenda.

Pos 3 ini berupa dataran. Pada sayap kiri dataran ini ada shelter sederhana dari kayu dan atap seng. Tanpa dinding. Tapi cukup jika pendaki ingin berteduh ketika hujan. Sedang di sayap kanannya berupa dataran yang dapat digunakan untuk istirahat atau membangun satu atau dua tenda.

Tidak begitu lama kami berhenti disini. Tidak sampai 15 menit. Yaaa.. cukuplah untuk melemaskan kaki, minum susu dan mengunyah buah *pemberian Suwasti*.

Kecepatan kami cukup imbang.  Tidak terlalu lama berhenti dan konstan. Setelah mengisi perut, kami teruskan kembali perjalanan.

Emma dan Joan sudah beberapa puluh langkah di depan. Samar-samar saya mendengar suara orang. Kenapa begitu ramai ya?

Bersambuuuuuung…

-kemaren sore saya terima sms dari Joan.


From: Joan <+62856xxxxxxx)
14.03.2010 ; 16:26


Temans, dapat info dr bang Hendry HC kalo asep, mabk dwi, dan ari, yg sedang naik lawu lewat ceto, menemukan mayat perempuan pake rok di pos 3. Sudah dievakuasi penduduk, dan skrg mrk sudah turun, ga lanjutin pendakian….


next : 

Friday, March 12, 2010

catper trip lawu via ceto episode : BUS ARMADA SAYUR

setengah sebelas siang.

Bus tujuan Tawangmangu yang kami tumpangi hari itu penuh sesak. Wajar karena ini satu-satunya moda transportasi murah meriah hingga Tawangmangu. Isinya kebanyakan sih penduduk lokal. Dan kadang turis lokal seperti kami. Kali ini Emma menjadi bendahara team. Sebelum berangkat tadi kami sudah urunan untuk pengeluaran selama disini. Tiap orang dikutip Rp 6,000 hingga terminal Karangpandan.

Kami duduk agak di belakang. Berhimpitan bersama penumpang lainnya. Ada yang membawa barang keranjang belanjaan dan sayur mayur yang disusun rapi bersama kelima kerir kami. Tapi yang menarik adalah sekarang bus trayek ini sudah dilengkapi dengan TV dan perangkat DVDnya. Siang itu diputar pertunjukan organ tunggal dari kampung terdekat. Cukuplah membuat seluruh penumpang bergoyang.

Satu jam kemudian kami diturunkan tepat di depan pintu masuk terminal Karangpandan. Dari informasi yang kami googling sebelum kami kesini, dari Terminal Karangpandan, kami harus naik angdes menuju pasar Kemuning. Pasar ini adalah pasar di desa Kemuning, desa yang letaknya tak jauh dari Candi Ceto. Sebelum mencapai pasar Kemuning, ada pangkalan ojek yang dapat mengantar hingga candi Ceto. Menurut info, tarifnya Rp 25,000/motor.

Tampang culun kami berlima menarik perhatian salah seorang sopir angdes –angkutan pedesaan- itu. Sopir angdes ini usul untuk langsung carter saja hingga candi Ceto, karena biasanya angkutan ini hanya beroperasi di pagi hari, mengantar orang untuk jual beli di pasar Kemuning.

Tawarannya tak kami tolak. Toh masih masuk budget. Daripada nyambung-, kami sih pilih carter aja. Ongkos Rp 60,000 sekali carter. Lagipula, saya nggak yakin deh bisa naik ojek dengan beban seberat ini mampu melewati tanjakan menuju Candi Ceto yang super aduhai itu.

“Tapi nggak narik penumpang lagi ya?” tawar Kris. Trauma dengan trip di masa lalu yang malah kelamaan di jalan karena si sopir masih menarik penumpang di tengah jalan.

“Iyaa”


“Dianter sampe pintu gerbang candi ya?” tambah saya. –lagi males jalan jauh -

“Iyaaaa…!!!” sopirnya ngambek. Hehehe…

Jam satu siang kendaraan yang kami sewa benar-benar menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang Candi. Hahaha… wong ujung jalannya adalah pintu gerbang candi.

Walau sepanjang jalan mata kami dimanjakan oleh hijaunya kebun teh yang ada di kanan kiri kami, tadi kami sempat juga deg-deg an karena mobil terus menerus menanjak dan berbelok melewati tikungan tajam. Untung sopirnya amat cekatan membawa kendaraannya. 

Dan hujan pun turun.

“Great! “ keluh saya dalam hati.

Sambil membuka payung masing-masing dan membayar tiket masuk ke kawasan Candi Rp 2,500 per orang (Rp 10,000 untuk wisata mancanegara) setelah itu kami masuk ke salah satu warung yang letaknya tak jauh dari pintu gerbang candi. Ada sate kelinci sebagai menu utamanya.


“Apa? Kelinci?” Emma ragu-ragu. Joan juga sangsi.

“Haruskah kami makan makluk berbulu halus dan berwajah cute itu? “ tampang mereka berdua mendadak seperti kelinci  Oh.. rasanya tidak tega. 


Tapi akhirnya kami santap juga. Hanya Joan yang memesan sate ayam. Kami makan di teras warung –yang sekaligus menjadi rumah tinggal si ibu- Warung ini bangunan terdekat yang ada di depan kompleks candi. Sebenarnya kami tidak perlu khawatir jika datang kemalaman di tempat ini. Disini banyak penginapan. Saya nggak sempat tanya berapa harga sewa permalamnya. Dan disini juga ada beberapa warung makan, tempat parkir mobil dan motor berikut 2 toilet sederhana yang airnya dingin sekali.

15.30 WIB Pos Candi Ceto (1480 mdpl)

“Sekarang sudah jam setengah empat sore” ucap saya sambil menutup doa. Sambil melirik jam tangan “dan kita sudah ada di ketinggian 1500-an” lanjut saya lagi. Sedikit mengeluh –dan melenguh - karena molor lebih dari tiga jam. Seandainya tidak ada yang terlambat tadi, seharusnya kami sudah naik sekitar jam 1 siang tadi.

Kami berdiri tepat di depan pintu gerbang Candi. Ada puluhan anak tangga yang terus naik menuju gapura pertama. Ada sembilan teras–dari sebelas- yang telah direnovasi yang memanjang dari arah barat (tempat kami berdiri) dan terus naik ke arah timur mengarah ke puncak Lawu.

Sore itu cukup cerah. Hujan baru saja berhenti. Dan tempat wisata ini tidak terlalu ramai walau hari itu adalah hari libu
r nasional. Saya menduga karena sesiang tadi tempat ini terus diguyur hujan.


Untuk naik ke gunung Lawu, dari depan kawasan Candi Ceto ini entry pointnya dimulai dari gang pertama di sebelah kiri pintu gerbang Candi.

Ada jalan lebar yang sudah diperkeras dengan semen. Di beberapa titik malah dibuat trap tangga.

Perlahan kami berjalan menyusuri sisi utara pagar tembok kawasan Candi. Sebenarnya ada pintu masuk lagi. Kalau kita masuk ke kawasan candi, di teras keempat, ada beberapa pendopo kayu. Di sisi kirinya ada pintu keluar menuju tempat pemujaan patung Saraswati. Sama saja. Akhirnya jalan setapaknya juga akan bertemu dengan jalur naik kami barusan. Begitu sudah ada sedikit diatas kawasan Candi, jalur semen akan berbelok ke kanan menuju tempat pemujaan patung Dewi Saraswati.

Tapi kami memilih untuk terus lurus. Ada papan penunjuk arah menuju Candi Kethek.  Dari sini jalannya berubah menjadi jalan tanah. Walaupun begitu jalurnya jelas sekali. Kami terus berjalan hingga lima belas menit kemudian kami sudah bertemu dengan sungai. Sungainya sendiri tidak terlalu dalam dan lebar, tipe sungai yang kering ketika musim kemarau tiba. Airnya saat itu (akhir februari 2010) hanya semata kaki tingginya namun jernih sekali. Jalurnya kemudian bersambung di seberang sungai dan terus menanjak ke arah kanan.

Jam 16.00 WIB Candi Kethek

Nah.. lima menit jauhnya dari seberang sungai ini. Kami jumpai sebuah candi. Candi Kethek namanya. Bentuknya menyerupai punden berundak raksasa. Disusun dari tumpukan batu yang ditata mengikuti bentuk kontur tanah. Ada tambahan mahkota raja yang bercat emas di puncak candi ini. Mungkin karena sudah sore dan perjalanan masih jauh saya jadi tidak tertarik menjelajah isi candi ini. Menyesal juga kalau dipikir-pikir. mungkin lain kali deh, khusus datang kesini untuk tour de candi. 

Kami lewat di depan candi ini mengikuti jalan setapak yang terus mengarah ke arah kanan. Kadang kami temui pipa air milik penduduk di sepanjang jalan yang kami lewati. Jalannya jelas sekali tapi licin karena lumut. Dengan beban berat kami memang harus ekstra keras bertahan agar tidak terpeleset dan jatuh. Apalagi jalur sering tertutup rimbun semak belukar di kanan kirinya. Kami harus menyibaknya untuk melihat jalur dengan jelas. Pasti jarang sekali orang lewat sini.

Kami berjalan dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa kali masih berjumpa dengan ladang penduduk. Dan ketika mulai masuk hutan pinus pun, pohonnya tidak begitu rapat. Masih ada pohon perdu di kanan kirinya.

Jujur, kali ini saya frustasi ketika melihat jalurnya. Seharusnya saya senang karena jalan setapak ini cukup landai. Tapi kapan sampainya? Hehehe… pos 3 target kami hari ini masih jauh. Tapi kalau dipikir-pikir sih, sebenarnya saya jauh lebih frustasi karena beban bawaan saya yang berat ini. Kerir yang saya pakai kali ini tidak nyaman di pundak saya. Saya menyesal menukarnya di detik terakhir ketika akan berangkat kemarin. Saya jadi tidak dapat menikmati perjalanan sore ini.

sedih deh..curhat lagi deh

Previous story : empat plus satu
 
;