Tuesday, May 24, 2011

catatan perjalanan : kerintji episode cat kuning diatas batu (TAMAT)

Saya menyesal tidak membawa string line. Membawa bendera kecil. Atau pita scotchlite yang bisa saya ganjal dengan batu. Atau apapun yang bisa membantu kami turun.

Tidak heran banyak orang yang nyasar atau jatuh justru ketika mereka turun.

 “Mungkin Cecep mencoba kembali ke jalur kita naik tadi” saya mencoba menjelaskan.



Walau sebenarnya hanya sebentuk gumaman. Lebih tepat ditujukan  untuk diri saya sendiri.  Ingin rasanya mengambil alih dan berjalan di depan. Sungguh tidak sabar berjalan dalam pelan seperti ini. 

Tapi saya tahu, kami tidak boleh panik. –tepatnya…. Saya tidak boleh panik hehehe..-

Namun, disini saya belajar untuk percaya penuh pada leader. Kalau yakin benar tak ada salahnya dicoba.

Memang agak sulit dalam keadaan seperti ini. Pagi tadi  kami masih dapat berorientasi. Mulai naik dari pos 3 tadi, hingga Tugu yudha dan kemudian puncak.

Yang kami lakukan adalah merayap naik gigiran punggungan gunung yang tipis, yang lebarnya tak lebih dari dua meter. Karena di kanan kirinya sudah dinding miring menganga.


Tidak berupa satu garis lurus punggungan karena di ujungnya kami akan berpindah ke punggungan lain. 

Kadang mengarah ke utara. Kemudian pindah sedikit ke timur lalu kembali lagi ke utara. Demikian seterusnya, hingga mencapai puncak.

Di beberapa persimpangan punggungan, memang ada tugu batu penanda. 

–saya jadi ingat tugu yang sama di lautan pasir bromo, seperti ini lah kira-kira bentuknya-  

Tapi jarak satu sama lain sangatlah jauh. Bagaimana mungkin kami bisa melihatnya dalam kabut tebal seperti ini?

 

CAT KUNING DIATAS BATU

Target kami sekarang adalah Tugu Yudha. Kenapa? Karena Cecep meninggalkan keril+kompor disana. (walah? Kok ditinggal?)

Kami turun perlahan. Yang tidak begitu pede dengan sepatunya, memilih masuk ke dalam jalur air dan berjalan disana. 

Langkah kami kerap tersendat karena Cecep berulang kali berhenti untuk memastikan jalurnya.


Sementara itu guruh terdengar bersahutan. OMG…… please deh… jangan hujan dulu.

Tapi oh.. apa itu? Hanya beberapa detik, kabut tersibak dari pandangan kami. 

Sekarang saya bisa melihat Cecep dengan jelas. Juga batu-batu bersusun nama yang dibuat pendaki sebelumnya. Nun di bawah sana. 

–betul kan? Itulah sebabnya kenapa tadi di awal  sempat saya tulis bahwa saya bersyukur karena sempat memperhatikan batu-batu itu dari pos tugu Yudha-


Jelas sudah. Kami sedikit melambung ke kanan. Jadi.. pelan-pelan kami pindah punggungan. Ke arah kiri. Ke arah timur.  Menuju tugu Yudha.

Namun kabut kembali menutup pandangan. Bahkan lebih parah. Kini kami sama sekali tak dapat melihat dengan jelas. 

Jarak pandang hanya sekitar 2 meter ke depan. Hujan gerimis. Dan guruh terus bersahutan.

Lalu kami mendengar suara yang tak mungkin kami lupakan.

Semula, saya kira saya mendengar suara hujan. Suara hujan yang amat deras. Samar-samar terdengar. 

Uh.. pasti sebentar lagi hujannya tiba disini deh. –memandang sedih tas kamera yang jebol ritsluitingnya-. Tapi kenapa tak datang juga?

Lalu keenam pasang mata ini melihat pemandangan yang menakjubkan di punggungan sisi timur kami. 

Air tercurah dari beberapa jalur air. Mendengungkan suara gemuruh seperti air terjun kecil. Berkejaran satu sama lain. 

–mudah-mudahan hanya terjadi di jalur tetangga saja ya. Dan bukan di jalur air yang sedang kami lewati ini-

Dalam rintik hujan, kami duduk diam di jalur. Cecep sudah tak tahu harus kemana. 

Sudah pukul dua siang. Pada titik kelelahan yang amat sangat seperti ini. –dan pada titik amat sangat lapar seperti ini-  saya berharap bisa menghubungi shelter 2. Menghubungi Joko dan Pak John.

Minta dijempuuuuuut..!! huhuhuhuhu…!!!!  -manja mode on-

Yah.. bagaimanapun, saya hanyalah manusia biasa J -tersipu-sipu-

Lalu pada saat yang genting seperti itu. Tanpa banyak bicara, Wangsa maju menggantikan Cecep. Walau perlahan, nampaknya ia yakin sekali dengan jalur yang dipilihnya. Saya heran, bagaimana bisa Wangsa seyakin itu.

 Lalu baru saya sadari. Ada cat kuning di atas batu. Berbentuk tanda panah. Ah ya.. tadi waktu naik juga sempat saya lihat. Jadi ini yang dilihat Wangsa. Hati saya mulai lega. Kami sudah di jalur yang benar.

 

SHELTER 2.

Jam 17.02 wib

Shelter 2 sore ini meriah sekali. Hujan sudah berhenti. Kami semua sudah tiba sejak satu jam lalu. 

Di sekitar tenda kami, sudah berdiri tenda-tenda pendaki lain yang baru datang. Suara-suara ramai mengobrol.

Sementara para lelaki itu berkumpul di tenda-nya Pak John. 

Di tenda saya saat ini, ada Emma dan Lia. Kami bertiga sudah ganti pakaian. Sudah memakai jaket tebal. Sudah kenyang makan sayur asem dan tempe goreng buatan Joko.

Berlatar lagu-lagu alay dari playlist saya. sengaja bawa mini speaker dari Jakarta- Kami ngobrol ringan kesana-kemari dan tertawa bahagia –tidak jelas juga apa sebabnya J-, lalu kami menghirup teh manis dan mencicipi dodol kentang pemberian tetangga sebelah.

Ah.. syahdunya…

saat-saat seperti ini, pasti akan selalu saya rindukan.

 

-selesai-

(BTR, 21 mei 2011, 18.35 wib. Mpus2 sudah makan malam dan kemudian keluar pergi untuk main. Hanya si  Malih yang tidur di dekat sepeda, menemani)

Monday, May 23, 2011

catatan perjalanan : kerintji episode TERJEBAK !!!

 “Takut ketinggian?”

Ihiks!

Lia mengangguk sedih.

What should I do? Nggak ada di buku-buku panduan. J

Hanya naluri saya mengatakan bahwa kami harus berhenti sejenak.

 Saya biarkan dia duduk.

Senyap.

“Mbak…?”

“apa?”

“aku mau muntah”

“kwaks!”

 “Ya muntahkan saja.”

Mountain sickness nih. Ya.. muntahkan saja Lia. Jawab saya lagi, sambil memegang sepotong coklat dalam saku jaket. 

Setelah muntah, perutnya harus diisi lagi, ini rencana saya.  

Sayang saya nggak bawa termos air panas seperti biasanya –saya lupa- kalau bawa, pasti sangat membantu deh.

Mata saya berkeliling. Wajar bila Lia takut sedemikian rupa. Ini pendakian perdana-nya. Langsung ke 3805 meter pula.

Kami berdua begitu sendirian ditengah kemiringan lautan batu dan pasir. 

Tahu tangga bambu? Coba bayangkan deh kalau tangga itu sedang bersandar di tembok, untuk naik tentu harus dipanjat kan? Begitulah kira-kira ilustrasinya.

Nah, tadi kami merayap naik.

Kembali diam. Nampaknya Lia tidak jadi memuntahkan isi perutnya.

Nampaknya juga, ia sedang mengumpulkan keberaniannya.

Saya sengaja tidak memberikan komentar.


Saya biarkan dia berdamai dengan rasa takutnya.  Ini ‘pertempuran’yang harus dihadapinya sendiri.

Saya H2C –harap-harap cemas- jangan-jangan.. dia minta turun L

 “yuk!”

“hah?”

“ayo.. kita lanjut, mbak!”

Horeeeeee…!!!!! Sorak saya dalam hati –sayang kostum cheerleader saya ketinggalan di pos 2 J -

 

WAKTU ITU PUKUL DELAPAN LEWAT 17 MENIT

 

Sementara itu pada saat yang bersamaan, pak John telah menyentuh gigir kawah. Dia sudah tiba di puncak gunung. 

Alamak.. cepat sangaaaat !!!! 

Bahkan kami yang masih tersaruk-saruk di belakang, baru tiba di pos tugu Yudha –ini adalah nama pos sebelum ke puncak- sejam kemudian. 

And you know what? Pak John sudah turun dari puncak dan menunggu kami disana. 

 

Tepat rasanya disebut Pos tugu Yudha. 

Ada sebuah memoriam -Adi Permana, pendaki dari Jakarta yang wafat di gunung ini- Tepat di sebuah dataran yang luas.

Terasa begitu agung ketika berdiri disini. Sambil memandang puncak yang kabutnya datang dan pergi silih berganti.

Nun di dataran sisi barat sana, nampak batu-batu kecil bersusun membentuk nama. Ini pasti ulah pendaki.


–yang beberapa jam kemudian akan saya syukuri karena pernah melihat sebelumnya-

Tak jauh dari memoriam, Cecep dan Ivana merebus air. Saya diberi segelas kopi jahe –atau teh jahe ya? Sori, lupa-   

Uh.. hangaat! 

Sementara itu Lia merebahkan tubuhnya disamping Emma. 

Dan Wangsa .. ahay.. dia sudah mulai naik menuju Puncak.

Kami istirahat sejenak.



“Saya turun dulu ya, Ries!” pamit Pak John. 

“Kasihan Joko nggak ada temennya.”

Ihiks!

Saya tahu. Pak John memang tipe solo trekker –disamping tipe atlet itu tentunya, masih inget kan?-. 

Saya percaya Pak John mampu turun sendiri.

Tapi …… kita kan satu team, Pak John. L

Terlaluuuu.. *Rhoma Irama style*


Harapan saya sih, naik bareng …….turun juga bareng dong ya. Gimana kalau terjadi sesuatu di jalan?  

Kami kan bukan wanita perkasa  -tanpa bermaksud mengecilkan peran cecep dan wangsa lho ya- J wkwkwkwk….

Tapi ah.. sudahlah.

Saya lebih suka melihat awan yang beriring di depan mata. Keren sekali!



Setengah jam kemudian, kami naik menyusul Wangsa. Satu persatu merayap naik. 

Ivana, Cecep, Emma, Lia dan terakhir barulah saya menyusul.

Mungkin karena melihat kami tersendat-sendat di belakang. Cecep akhirnya mengambil posisi di belakang menemani Lia.




Rasanya waktu lama sekali. Kami terus merayap. Sesekali terendus bau belerang dari kawah. Menyengat. Mungkin terbawa angin.

Sementara itu langit berwarna biru dan matahari bersinar dengan hangatnya.

 

MENCAPAI PUNCAK

10.08 wib

 

Akhirnya saya mencapai bibir kawah. Saya sudah tiba.

Ah… inilah saat yang selalu saya rindukan. Saat-saat yang sekaligus membuat hati saya gentar -dan kaki gemetar tentunya J-

saat-saat dimana saya ingin menangis dan tertawa pada saat yang bersamaan –bingung kan?-

Kali ini saya tak tahu kata yang tepat untuk menggambarkannya. 


Hmmm… sepertinya kalian harus merasakan sendiri kali yaaaa…

Tak ingin kehilangan momen, saya keluarkan kamera dan merekam lukisan kawah gunung itu. 

–yang kemudian akan disesali Emma karena luput mengabadikannya. Karena beberapa menit sesudahnya, kawah tertutup kabut. Selamanya-

Di gigiran kawah sebelah barat nampak Wangsa, Emma dan Ivana.

Sepertinya ada tugu triangulasi disana.


Saya berjalan meniti tepian kawah mendekati mereka.  Ketika saya tiba, kami saling bersalaman dan berpelukan ala teletubbies.

Akhirnya …. Kami sampai juga ya. Syukurlah…!

 Namun pada saat yang bersamaan tanpa kami sadari, kawah benar-benar putih tertutup kabut. Ihiks!

Beberapa menit kemudian Lia datang sembari dituntun Cecep. 

Wajahnya pucat pasi. Tak sanggup berdiri, ia rebah di dekat kami. Masih takut akan ketinggian rupanya.


Tadi ketika tiba di gigir kawah, tanpa sengaja matanya tertumbuk pada air kawah hijau yang asapnya mengepul dan letaknya yang super dalam itu.

Oh.. betapa menakutkan.

Tapi itu hanya sebentar ya Lia? ;) 


Karena tak lama kemudian, dia sudah ramai berkicau mengimbangi kami 

–ibubil ..ibu-ibu labil ini- yang tak henti-hentinya berpose di sekitar tugu triangulasi. 


Mumpung sudah sampai disini, harus ditambah dokumentasinya dooooong…hahaha..

 

KABUT !!!!

11.15 wib

Kami lengah. Berlama-lama di puncak dan mengira kabut sebentar lagi akan tersibak. L

Ya .. kami benar-benar lengah. Saya lupa siapa yang mengajak, tapi akhirnya kami turun.

Dipimpin Cecep kami mengikuti dari belakang. Ivana, Saya, Emma, Lia dan terakhir Wangsa.



Ya Tuhan... kabutnya tebal sekali. Padahal Ivana hanya beberapa langkah di depan. Cecep malah lepas dari pandangan.

Lalu saya menoleh ke belakang. Emma dan Lia rapat tak jauh dari saya. 

Tapi Wangsa yang ada di belakang mereka.. hanya sebentuk figur yang redup oleh kabut.

Menyeramkan sekali.

“ke kiri Ceeeep! .. ke kiriiiiiii!” teriak Lia.

“Rasanya tadi kita nggak turun disini deh!” Emma menambahkan.

Hmm… 


whaduh.. gimana dong ya? mau tahu sambungannya? besok lagi yaaa... mau makan siyang duluuuu... 

*BTR, 23 mei 2011, 14.27 wib. sedang kipas2 kepanasan*


Thursday, May 19, 2011

catatan perjalanan : kerintji episode "mbak, saya takuuuuut....!"

Tuh kan. Betul saja. Pantesan perasaan kami tadi  tidak enak. 

Baru saja mulai trekking, di depan mata kami penuh dengan tanjakan panjang. Ibarat naik tangga. Dari lantai satu hingga lantai tiga terus menerus naik tanpa ada bordes.  

Panjang amaaaat!!! 

Memang sih kadang-kadang tangganya ada belokan –saya berharap ada pos disana ..ngarep!- 

Tapi rupanya ada tanjakan panjang lagi yang sama persis. 

Oh .. kadang-kadang ditambah bonus dengan jalur panjang nan sempit bekas aliran air yang harus kami lewati pula. 

Dan itu terus menerus kami lewati untuk 4,5 jam kedepan.

Hmmm.. tanjakan yang aneh… 

Saya frustasi. 

Sementara Cecep, pak John sudah jauh di depan.  Lalu -mungkin karena tak sabar-  Wangsa menyusul. 

Sedang Ivana dan Emma berselisih setengah jam di depan kami berdua –saya dan lia- 

dan Joko tertinggal jauh di belakang. 


AKHIRNYA NGECAMP JUGA

Pukul  16.50 pak John menjejakkan kakinya di shelter 2. Tak lama kemudian Wangsa dan Cecep datang menyusul. 

Dan duapuluh lima menit kemudian, tiga tenda sudah rapi didirikan diantara rangka besi bekas atap shelter yang sudah bisa dipastikan, atapnya sudah hilang entah kemana. 

Pos 2 terletak di sisi kiri jalur. Memang tidak ada patokannya sih. 

Tapi kalau sudah menemukan tempat terbuka dengan dataran cukup luas -cukup untuk mendirikan satu atau dua tenda- maka disisi kiri ada jalur yang turun kebawah. 

Ikuti saja. Karena tak jauh dari situ, ada dataran luas, dengan bangkai rangka shelter yang tempatnya cukup terlindung untuk mendirikan tenda.  Sekitar 5-6 tenda lah..

Setelah tenda rapi, Cecep menanti kami di persimpangan jalan. Mungkin dia khawatir pos 2 luput dari perhatian. 

Jadi begitu saya muncul –dengan rasa lega dan bahagia, saya lho..bukan Cecep ;) tapi mungkin cecep juga sih. entahlah- Cecep menyuruh saya untuk turun ke shelter.  

Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore kurang lima menit.Lima menit kemudian, Lia datang. Dan Joko datang 30 menit kemudian, nyaris dijemput karena hari hampir gelap. 

Tapi untunglah… Sekarang semua lengkap tiba dengan selamat.

Malam itu kami menghabiskan sisa nasi siang tadi. 

Wangsa memasak sup panas yang kental, dadar telur serta menghidangkan empal daging –sumbangan pak John-

Lalu ditutup dengan teh dan kopi hangat. 

Semua masuk ke tenda masing-masing dan tidur. Kami masih bersahutan dari balik tenda. 

“Aku kayaknya nggak ikut muncak deh” sahut Lia lirih diantara dengkuran Emma. 

Yang lain bergumam tak jelas. Mungkin karena sudah tidur. 

Tapi rasanya sayang saja, sudah sejauh ini tidak diteruskan, Lia.  Kita sudah di 3000 meter lho…

Tapi.. kita lihat besok saja lah ya. Mudah-mudahan, sudah kembali fit untuk melanjutkan perjalanan. 

KESIANGAN

Akibat dua butir antimo yang saya telan setelah makan malam semalam –thanks for the tips mas ei-  saya langsung tertidur pulas. Tapi sayup-sayup saya masih mendengar Joko mengingatkan pak John di tenda seberang. 

“Pak John.. jangan lupa jam dua subuh udah pada berangkat ya” kata Joko. 

“Iya! Pasang alarm” 

”Iya” 

Tapi tak seorang pun yang menyetel alarmnya 

 Hari ketiga 22 april 2011

Yang berangkat pagi ini hanya kami bertujuh. Kecuali Joko yang memang sejak awal bertekad hanya untuk sampai di shelter 2 saja. Toh dulu dia sudah pernah kesini. 

“Biar saya yang jaga tenda. Pokoknya ketika kalian turun, sudah tersedia sayur asem dan tempe goreng” janjinya. Manis.

Lia akhirnya ikut juga. Setelah kami semua bergegas. Jam setengah lima subuh barulah kami  benar-benar berangkat. 

Fiiiuuuuuh.. masih 800 meter lagi naik. Masih jauuuuh sangaaaat..!!!

JALUR AMPUN DJ !!!!

Ih… sumpah deh. Baru kali ini nemu jalur yang ampun DJ. 

Bayangkan.. kami mengikuti jalur air. Dalamnya sudah melewati kepala kami. 

Saya kok nggak melihat ada jalur lain, misalnya jalur setapak yang normal –hahaha.. ngarep lagi deh!- yang menembus pohon-pohon cantigi itu.

Jadi, mau tidak mau, kami berusaha berpegangan pada akar pohon. Meniti batang pohon ala pesenam dari rusia, bertumpu pada batu dan berusaha mengangkat tubuh agar bisa naik. 

Kadang kami tak tahu harus bagaimana lagi. Apalagi jika posisi dengkul sudah menyentuh dagu. Dan telapak kaki menggapai-gapai mencari pijakan. 

Kalau sudah begitu.. hanya lenguhan-lenguhan pendek ala sapi disana sini, yang menyesali diri kenapa pagi-pagi begini begitu gila untuk naik ke puncak. 

Pukul enam pagi, kami semua tiba di shelter 3. Matahari pagi sedang cantik-cantiknya. Cukuplah jadi pengobat rasa lelah kami. 

Shelter 3 ini tepat berada di batas vegetasi dengan pemandangan lepas ke arah pemukiman. 

Tempatnya cukup luas juga sih. Disini bisa didirikan 3 atau 4 tenda. 

Nah.. mulai dari sini ketabahan kami akan terus diuji. Begitu terang. Puncak dengan jelas terlihat. Tapi tidak sesederhana itu. Jaraknya masih jauuuuuuuh….

jalurnya berupa tanjakan terjal, jalur berbatu dan pasir vulkanik. 

Pasirnya tidak sehalus dan sedalam Rinjani atau Semeru. 

Disini pasirnya dangkal, kasar diantara batu-batu besar.  

Tidak setipis Slamet atau Raung tapi mungkin mirip seperti di gunung Merapi. 

Tapi yang membuat saya frustasi adalah ketika melihat pak John terus naik tanpa henti.

katanya sih mau mengejar puncak, lho? Memangnya puncak mau lari kemana?  

hingga saya hanya melihat sebuah titik berwarna merah saja –kebetulan dia mengenakan jaket merah- 

Lalu disusul dua titik berikutnya. –masih warna merah juga- itu adalah cecep dan Ivana.Dan kemudian Wangsa menyusul Lia dan Saya.

Semula, Emma masih menemani kami di belakang. Tapi akhirnya meninggalkan kami berdua. 

Ah.. lengkap sudah. 



Padahal saya berharap banyak jika ada salah seorang lelaki yang mau menjadi sweaper kami kali ini. 

Hiks! Bagaimana jika dua wanita mungil imut tak berdaya –maab kalau ilustrasi saya kali ini terlalu hiperbolik   ini tak mampu menuntaskan perjalanannya?

Saya masih mengiringi Lia. Wajahnya pucat pasi. –mungkin wajah saya juga pucat. Tapi berhubung make up saya cukup tebal,  jadi nggak kelihatan, hahaha.. lebay!- 

Beberapa kali ia berhenti. Saya tidak tahu apa yang ada di benaknya. 

Tapi saya diam saja. Mungkin dia sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. I dunno.. 

Saya siap kok –lahir batin-  berapapun waktu yang ditempuhnya untuk naik. Pasti saya jabanin. Walau perlahan, pasti kami akan tiba juga toh.

Lalu akhirnya saya tahu penyebabnya.

“saya takuuuuuuut, mbaaaaak”

“hah? Takut? Takut apa?”

Kepala saya menoleh ke kanan dan ke kiri. Apa ada penampakan di alam terbuka seperti ini?


ah... apakah kalian juga tahu apa penyebabnya? hmm... tunggu lanjutannya sadja yaaah..


(BTR, 12.07 wib, hari yang cerah.  mpus2 tidur disekitar. tetangga depan lagi pindahan rumah, dan tukang di sebelah rumah sedang bekerja)

ketika waktu berhenti di danau gunung tujuh




Apa kalian yang pernah mendengar Danau Gunung Tujuh? Ah.. hanya gara-gara melihat sebuah foto tentang danau ini. Saya jadi penasaran ingin melihat langsung. 

Danau ini berada di ketinggian 1950 meter diatas permukaan laut.  Danau yang masih berada dalam wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat itu merupakan danau tertinggi di Asia Tenggara.

Keindahannya bertambah lengkap dengan barisan tujuh gunung yang mengelilinginya. Ketujuh gunung itu meliputi Gunung Hulu Tebo (2.525 mdpl), Gunung Hulu Sangir (2.330 mdpl), Gunung Madura Besi (2.418 mdpl), Gunung Lumut (2.350 mdpl), Gunung Selasih (2.230 mdpl), Gunung Jar Panggang (2.469 mdpl) dan gunung Tujuh (2.735 mdpl)

Pagi itu, setelah semalaman turun hujan, bumi Kerinci diselimuti kabut. Untuk mencapai danau, kami mulai dari gerbang pos Taman Nasional Kerinci Seblat. Letaknya ada di Desa Pelompek. Desa ini ada di ketinggian 1600 mdpl. Dengan membayar tiket masuk Rp 2500 per orang. 

Kami mulai perjalanan hingga pintu rimba. Dari pintu rimba hingga puncak gunung –sekitar 2000 mdpl- jalurnya terus naik tanpa bonus.  Kurang lebih sekitar 2 jam perjalanan hingga puncak dan setengah jam lagi untuk turun hingga tepi danau. 

Dan ternyata benar. Danau persis seperti foto yang saya lihat waktu itu. 

Nah… bagaimana? Apakah kalian mau menyusul kami kesana?


Danau Gunung tujuh, 24 April 2011


untuk kisah perjalanan, silakan mampir kesini : catatan perjalanan
sedang foto-fotonya .. ada disini  a road to kerintji

Wednesday, May 18, 2011

catatan perjalanan : kerintji episode : PLEASE DEH….SAYA BUKAN ATLET !

Setelah bertahun-tahun jalan bareng dengan rupa-rupa pendaki. Saya akhirnya bisa mengkatagorikan mereka kedalam dua golongan utama.  

Tipe pertama adalah tipe atlet. 

Nah.. jangan bayangkan mereka seperti atlet binaraga atau atlet tinju yang berbadan besar dan kuat. 

Orang yang bertipe ini umumnya bertubuh kecil –nyaris ceking- tapi otot-ototnya liat dan rasanya kalau dipanggang pasti 
alot sekali. 

-belum pernah nyoba sih. Tapi sepertinya sih begitu haha..- 

Kata seorang teman, mereka ini memang sudah dianugerahi sistem tubuh dengan metabolisme yang baik. Melihat tampilan fisiknya, sekilas orang-orang dengan tipe ini rasanya tak mungkin bisa nanjak secepat dan sekilat itu. 

Tapi itulah ajaibnya ciptaan Tuhan. Dengan tubuh seperti itu, mereka bisa naik dengan cepat tanpa henti, memanggul keril hingga 100 liter.  

Bahkan kalau dibiarkan trekking tanpa beban. Saya yakin mereka sanggup tek tok sampai puncak dan turun hari itu juga. 

Nah.. tipe kedua adalah tipe manusia biasa. 

Tipe kedua ini adalah tipe pendaki yang pasrah menerima kenyataan bahwa dirinya adalah manusia biasa dan harus bekerja keras untuk menyamakan kekuatan. 

Secara fisik, memang jauh berbeda dari tipe pertama. Mungkin karena terlalu banyak duduk di belakang meja. Alhasil tubuh bulat tak berbentuk akibat badan penuh lemak. 

Untuk bisa sekedar mendekati tipe atlet –mendekati lho ya.. bukan menyamai-  Berbulan-bulan sebelum pendakian mereka harus rela berkorban untuk berlatih untuk meningkatkan ketahanan fisik. 

Harus ditambah dengan manajemen kalori yang baik dan gizi yang cukup. Orang dengan tipe seperti ini biasanya berjalan perlahan dengan ritme teratur dan sering berhenti dengan ritme yang teratur pula -hehe.. maab.. kalo itu saya- dan selalu berharap pos terdekat sudah tiba. 

Keril tidak terlalu besar. Hanya barang-barang pribadi saja. Selisihnya bisa 3 atau 4 jam perjalanan di belakang sang atlet. 

Dan saya termasuk tipe kedua. 

Sebenarnya banyak lagi tipe lainnya. Pengembangan dari kedua tipe diatas. Lain kali lah. Kalau ada waktu akan saya bahas. Nah.. kalo gitu, bagaimana jika kita lanjutkan saja kisahnya. 

Begitu mulai, pak John langsung melejit mendahului yang lain. Joko mengekor di belakang. Disambung Emma, Ivana, Lia, Saya, Wangsa dan terakhir barulah Cecep menyusul.

Namun memang pada akhirnya formasi akan berubah sesuai dengan kecepatan dan ketabahan masing-masing 

Jarak dari pintu gerbang ke pos 1 tidaklah terlalu jauh. Bahkan dari pintu gerbang sudah terlihat ada pos 1. 

Jaraknya hanya beberapa puluh langkah saja. Disini ada semacam bagunan kecil – mungkin toilet- dan bangku panjang dari batu kali yang berbentuk huruf U. Cepat juga. 

Hanya sesaat kami disini. Mumpung masih pagi dan masih semangat. 

Kami langsung bergerak menuju pos 2. Kini kami sudah masuk menembus hutan tropis yang rimbun.Pukul delapan kurang sepuluh menit, Cecep dan Pak John sudah mencapai pos 2. 

Lima menit kemudian satu persatu dari kami mulai berdatangan. Jalur dari pos 1 ke pos 2 juga masih relatif datar. 

Terus naik sih tapi tidak terlalu ekstrim. Disinipun kami hanya istirahat sejenak. Ada bangunan beratap fiber dengan rangka besi tapi tanpa dinding. 

Ada bangku dari adukan semen dan batu di dekatnya. Tempatnya cukup lapang. Bisa dipakai untuk berteduh di kala hujan. 

Jarak dari  pos 2 ke pos 3 tidaklah terlalu jauh. Walau jalurnya mulai bervariasi tapi masih bisa kami atasi. 

Disini jalannya kombinasi dari yang sedikit landai hingga mulai menanjak. Tapi tanjakannya.. masih manusiawi kok 

Kami masih berada di dalam hutan sekunder dan mulai banyak lumut.  

Pukul 09.04 pagi Cecep sudah duduk manis di pos 3. Pak John baru datang. 

Sementara kami, masih tercecer di belakang. Ivana berjalan bersama Emma. 

Jauh di belakang mereka, menyusul saya dan lia. Baru kemudian terakhir di belakang, ada Wangsa dan Joko.  Masing-masing rombongan kami terpisah sekitar 15  menit jaraknya. 

Ya.. tentu saja sebagai akibatnya kami baru full team sekitar pukul sepuluh pagi.

Pos 3 ini bentuknya mirip sekali dengan pos 2. 

Beratap fiber dan kombinasi rangka kayu+besi, berlantai tanah dan dilengkapi dengan bangku batu panjang berbentuk huruf U. 

PERJALANAN BARU SAJA DIMULAI

ah.. agar tidak bingung, ada baiknya saya jelaskan disini. Tidak seperti di gunung lain, di tempat ini urut-urutannya adalah : 

pos 1 – pos 2 – pos 3 – shelter 1 – shelter 2 – shelter 3 – tugu yuda - puncak

Maka… setelah pos 3, kami teruskan lagi perjalanan menuju shelter 1. Tahukah kalian apa yang terjadi? Cecep dan Pak John sudah nongkrong di shelter ini sejak jam 11 pagi. 

Dan saya.. baru tiba.. satu setengah jam kemudian.. hahahaha…maaf ya. Kalian jadi lama menunggu.

Ini semata-mata dikarenakan tanjakan-tanjakan itu tak ada habisnya ditambah dengan dengkul dan nafas kami yang sepertinya harus di-upgrade lagi deh.

Cecep sudah menyalakan kompor dan membuat minuman. Aduh, nikmatnya..!!! 

Maka, bekal nasi kami buka. Ini memang waktunya makan siang. Dengan lauk rendang yang sengaja Pak John bawa dari Jakarta. Lengkap sudah makan siang kami saat itu. 

Shelter 1 ini cukup luas lho. Bisa didirikan tenda disini. Namun sayang, bangunan shelternya sudah binasa. 

Hanya ada onggokan rangka besi bekas atap shelter yang rebah di tanah. 

Disini kami bertemu dengan satu rombongan pendaki yang baru naik, namun mereka akan menginap di tempat ini.

Pukul 13.30

Dengan berat hati –karena rasanya ingin buka tenda saja di shelter 1 ini - pendakian kami lanjutkan lagi. 

“Mbak, lihat deh” tunjuk Lia pada papan penunjuk shelter. Ada papan tambahan yang bertuliskan : 

PERJALANAN BARU DIMULAI, JAGA SIKAP DAN PERBUATAN


Kami saling berpandangan. 



Perasaan kami mulai tidak enak. 
 
;