Thursday, May 19, 2011

catatan perjalanan : kerintji episode "mbak, saya takuuuuut....!"

Tuh kan. Betul saja. Pantesan perasaan kami tadi  tidak enak. 

Baru saja mulai trekking, di depan mata kami penuh dengan tanjakan panjang. Ibarat naik tangga. Dari lantai satu hingga lantai tiga terus menerus naik tanpa ada bordes.  

Panjang amaaaat!!! 

Memang sih kadang-kadang tangganya ada belokan –saya berharap ada pos disana ..ngarep!- 

Tapi rupanya ada tanjakan panjang lagi yang sama persis. 

Oh .. kadang-kadang ditambah bonus dengan jalur panjang nan sempit bekas aliran air yang harus kami lewati pula. 

Dan itu terus menerus kami lewati untuk 4,5 jam kedepan.

Hmmm.. tanjakan yang aneh… 

Saya frustasi. 

Sementara Cecep, pak John sudah jauh di depan.  Lalu -mungkin karena tak sabar-  Wangsa menyusul. 

Sedang Ivana dan Emma berselisih setengah jam di depan kami berdua –saya dan lia- 

dan Joko tertinggal jauh di belakang. 


AKHIRNYA NGECAMP JUGA

Pukul  16.50 pak John menjejakkan kakinya di shelter 2. Tak lama kemudian Wangsa dan Cecep datang menyusul. 

Dan duapuluh lima menit kemudian, tiga tenda sudah rapi didirikan diantara rangka besi bekas atap shelter yang sudah bisa dipastikan, atapnya sudah hilang entah kemana. 

Pos 2 terletak di sisi kiri jalur. Memang tidak ada patokannya sih. 

Tapi kalau sudah menemukan tempat terbuka dengan dataran cukup luas -cukup untuk mendirikan satu atau dua tenda- maka disisi kiri ada jalur yang turun kebawah. 

Ikuti saja. Karena tak jauh dari situ, ada dataran luas, dengan bangkai rangka shelter yang tempatnya cukup terlindung untuk mendirikan tenda.  Sekitar 5-6 tenda lah..

Setelah tenda rapi, Cecep menanti kami di persimpangan jalan. Mungkin dia khawatir pos 2 luput dari perhatian. 

Jadi begitu saya muncul –dengan rasa lega dan bahagia, saya lho..bukan Cecep ;) tapi mungkin cecep juga sih. entahlah- Cecep menyuruh saya untuk turun ke shelter.  

Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore kurang lima menit.Lima menit kemudian, Lia datang. Dan Joko datang 30 menit kemudian, nyaris dijemput karena hari hampir gelap. 

Tapi untunglah… Sekarang semua lengkap tiba dengan selamat.

Malam itu kami menghabiskan sisa nasi siang tadi. 

Wangsa memasak sup panas yang kental, dadar telur serta menghidangkan empal daging –sumbangan pak John-

Lalu ditutup dengan teh dan kopi hangat. 

Semua masuk ke tenda masing-masing dan tidur. Kami masih bersahutan dari balik tenda. 

“Aku kayaknya nggak ikut muncak deh” sahut Lia lirih diantara dengkuran Emma. 

Yang lain bergumam tak jelas. Mungkin karena sudah tidur. 

Tapi rasanya sayang saja, sudah sejauh ini tidak diteruskan, Lia.  Kita sudah di 3000 meter lho…

Tapi.. kita lihat besok saja lah ya. Mudah-mudahan, sudah kembali fit untuk melanjutkan perjalanan. 

KESIANGAN

Akibat dua butir antimo yang saya telan setelah makan malam semalam –thanks for the tips mas ei-  saya langsung tertidur pulas. Tapi sayup-sayup saya masih mendengar Joko mengingatkan pak John di tenda seberang. 

“Pak John.. jangan lupa jam dua subuh udah pada berangkat ya” kata Joko. 

“Iya! Pasang alarm” 

”Iya” 

Tapi tak seorang pun yang menyetel alarmnya 

 Hari ketiga 22 april 2011

Yang berangkat pagi ini hanya kami bertujuh. Kecuali Joko yang memang sejak awal bertekad hanya untuk sampai di shelter 2 saja. Toh dulu dia sudah pernah kesini. 

“Biar saya yang jaga tenda. Pokoknya ketika kalian turun, sudah tersedia sayur asem dan tempe goreng” janjinya. Manis.

Lia akhirnya ikut juga. Setelah kami semua bergegas. Jam setengah lima subuh barulah kami  benar-benar berangkat. 

Fiiiuuuuuh.. masih 800 meter lagi naik. Masih jauuuuh sangaaaat..!!!

JALUR AMPUN DJ !!!!

Ih… sumpah deh. Baru kali ini nemu jalur yang ampun DJ. 

Bayangkan.. kami mengikuti jalur air. Dalamnya sudah melewati kepala kami. 

Saya kok nggak melihat ada jalur lain, misalnya jalur setapak yang normal –hahaha.. ngarep lagi deh!- yang menembus pohon-pohon cantigi itu.

Jadi, mau tidak mau, kami berusaha berpegangan pada akar pohon. Meniti batang pohon ala pesenam dari rusia, bertumpu pada batu dan berusaha mengangkat tubuh agar bisa naik. 

Kadang kami tak tahu harus bagaimana lagi. Apalagi jika posisi dengkul sudah menyentuh dagu. Dan telapak kaki menggapai-gapai mencari pijakan. 

Kalau sudah begitu.. hanya lenguhan-lenguhan pendek ala sapi disana sini, yang menyesali diri kenapa pagi-pagi begini begitu gila untuk naik ke puncak. 

Pukul enam pagi, kami semua tiba di shelter 3. Matahari pagi sedang cantik-cantiknya. Cukuplah jadi pengobat rasa lelah kami. 

Shelter 3 ini tepat berada di batas vegetasi dengan pemandangan lepas ke arah pemukiman. 

Tempatnya cukup luas juga sih. Disini bisa didirikan 3 atau 4 tenda. 

Nah.. mulai dari sini ketabahan kami akan terus diuji. Begitu terang. Puncak dengan jelas terlihat. Tapi tidak sesederhana itu. Jaraknya masih jauuuuuuuh….

jalurnya berupa tanjakan terjal, jalur berbatu dan pasir vulkanik. 

Pasirnya tidak sehalus dan sedalam Rinjani atau Semeru. 

Disini pasirnya dangkal, kasar diantara batu-batu besar.  

Tidak setipis Slamet atau Raung tapi mungkin mirip seperti di gunung Merapi. 

Tapi yang membuat saya frustasi adalah ketika melihat pak John terus naik tanpa henti.

katanya sih mau mengejar puncak, lho? Memangnya puncak mau lari kemana?  

hingga saya hanya melihat sebuah titik berwarna merah saja –kebetulan dia mengenakan jaket merah- 

Lalu disusul dua titik berikutnya. –masih warna merah juga- itu adalah cecep dan Ivana.Dan kemudian Wangsa menyusul Lia dan Saya.

Semula, Emma masih menemani kami di belakang. Tapi akhirnya meninggalkan kami berdua. 

Ah.. lengkap sudah. 



Padahal saya berharap banyak jika ada salah seorang lelaki yang mau menjadi sweaper kami kali ini. 

Hiks! Bagaimana jika dua wanita mungil imut tak berdaya –maab kalau ilustrasi saya kali ini terlalu hiperbolik   ini tak mampu menuntaskan perjalanannya?

Saya masih mengiringi Lia. Wajahnya pucat pasi. –mungkin wajah saya juga pucat. Tapi berhubung make up saya cukup tebal,  jadi nggak kelihatan, hahaha.. lebay!- 

Beberapa kali ia berhenti. Saya tidak tahu apa yang ada di benaknya. 

Tapi saya diam saja. Mungkin dia sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. I dunno.. 

Saya siap kok –lahir batin-  berapapun waktu yang ditempuhnya untuk naik. Pasti saya jabanin. Walau perlahan, pasti kami akan tiba juga toh.

Lalu akhirnya saya tahu penyebabnya.

“saya takuuuuuuut, mbaaaaak”

“hah? Takut? Takut apa?”

Kepala saya menoleh ke kanan dan ke kiri. Apa ada penampakan di alam terbuka seperti ini?


ah... apakah kalian juga tahu apa penyebabnya? hmm... tunggu lanjutannya sadja yaaah..


(BTR, 12.07 wib, hari yang cerah.  mpus2 tidur disekitar. tetangga depan lagi pindahan rumah, dan tukang di sebelah rumah sedang bekerja)

8 comments:

sysilia tanhati said...

takut tinggi?:D aku kalo udah mjelang puncak dan kiri kanan jurang walo jalannya lebar, pasti mulut dah komat kamit ga brenti :))
keren mba catpernya!

a riesnawaty said...

ada sih Syl, beberapa temenku yang sering naek gunung tapi masih takut ketinggian. Padahal di hutan rapat gitu lho. Susah juga ya kalo sudah phobia. Mudah2an kamu selalu bisa mengatasinya ...

Lia Bloomy said...

hahaaa... ini harusnya cerita edisi: "Lia menjerit-jerit ketakutan dalam perjalanan ke puncak" :D :D
Love you mbaaak. thx for accompanying me through the journey :)

a riesnawaty said...

haha..sama-sama..!

sysilia tanhati said...

:)) thanks, Mba

Kalo pas di hutan sih masih mending :) tp teteup, masih bisa dikalahin sama niat jalan :D

May Hendrawati said...

kebayang jalurnya ya Ries..menyusul ah pengen ke kerinci :)

M.G. AQUINO said...

i enjoyed looking at all of these fotos.
reminds me of my military days.thnx 4 sharing...@-@

a riesnawaty said...

iya may.. ajak cici juga

 
;