Saturday, February 25, 2006

”Bukan saya Tanteeeee!”



 


Bukan saya Tanteeeee!”


 


Idiiiih, kok tante sih? Ada dua alasan kenapa saya protes sedemikian kerasnya. Pertama, saya kok ngerasa tiba-tiba menjadi amat sangat tua pada saat itu [hehehe..biasaaaa….syndrome after 30 goin’ to 17 J] dan kedua, mengingat hubungan kekerabatan, rasanya saya bukan tantenya deh. [Mungkin itu panggilan sayang  ya ? Aaaahh! Menerawang jauh mode : on]


 


Sebenernya bukan itu sih masalahnya.


 


Yang menarik perhatian saya saat itu adalah, kalimat reflek yang ia ucapkan, bukan saya tante.. . …bukan saya.. ..


 


B U K A N  S A Y A ……


 


Lah? So what gitu loh?


 


Sebelum kalian pusing dan bingung hendak dibawa kemana pembicaraan kali ini, ada baiknya saya jelaskan situasi pada sore itu. Saya baru pulang kantor. Rumah mungil saya tepat berhadapan dengan taman kompleks yang mungil juga.


 


Kalau sore, tempat itu ramai sekali.


 


Ramai dengan anak-anak yang sedang bermain sepeda, anak-anak yang sedang belajar berjalan diatas rumput, balita yang sedang disuap makan oleh pengasuhnya *atau sedang dikejar-kejar pengasuhnya..hihihihi…* anak-anak yang sedang mengejar kucing *astagaa!* dan ibu-ibu yang sedang menyamakan level of information.


 


Saat itu, saya sudah keluar dari mobil kesayangan, si Biru [huuuu..nggak kreatif banget yah kasih nama?] dan membuka gerbang rumah. Ekor mata saya sih masih bisa ngeliat, ternyata beberapa anak laki-laki [dan beberapa sepeda…J] sedang beramai-ramai berdiri di belakang si Biru.


 


Tampang mereka, serius banget.


 


Gerbang sudah dibuka, sambil berbalik kembali ke arah mobil,  saya menyapa mereka :


 


“Pasti lagi ngeliat titik pada huruf J itu ya?”, sapa saya *dengan cengiran selebar mungkin tentunya*


 


[Nah kan, pasti kalian sekarang pada pasang mata, dan selalu perhatikan kalo ngeliat mobil jenis ini lewat di hadapan, apakah ‘titik’ nya juga hilang? Hehehehe… ]


 


dan yup! Jawaban itu yang muncul.


 


 “Bukan saya tanteee!”


 


Oh? Buru-buru saya jelaskan.


 


It’s not your fault!”


 


Titik itu memang sudah lama hilang lageeee! Yang ingin saya bagi dengan anak-anak itu adalah, bahwa saya juga mengamati hal yang sama. Membagi rasa penasaran yang sama. “ Kenapa pada semua mobil jenis itu, hilang ‘titik’ nya “


 


Apa karena disainnya yang buruk, apa karena lemnya nggak kuat dan copot atau karena ada orang yang cukup ‘iseng’ dan gila untuk ngutil dan menjadikannya barang koleksi ?


 


Urusan sih selesai, untuk saat itu. Rombongan anak-anak itu bubar dengan sendirinya begitu saya kembali masuk ke dalam mobil, menutup gerbang dan masuk ke dalam rumah.


 


Tapi, kata-kata itu masih terngiang terus di telinga.


 


Nge-buzz terus!


 


Ada yang nggak beres nih. Saya jadi mikir, apa ada pola asuh yang salah disini? Apa anak itu sering dituduh atas perbuatan yang belum tentu dilakukan, sehingga dengan cepat membuat pembelaan sedemikian rupa? Apa anak itu memang benar-benar dicap ‘nakal’ oleh orang tuanya? Oleh orang-orang di lingkungan terdekatnya?


 


 Saya bener-bener nggak habis pikir.


 


 


 


[Serpong, 24 Februari 2006, 14.31 ; rasa simpati ini saya tujukan juga buat Raju, bocah berusia 8 tahun, yang harus berhadapan dengan meja hijau bak laiknya seorang dewasa]


 

5 comments:

XXXX YYYY said...

a good point to ponder ries.. what kind of legacy we want to leave to our children ya?

Penjaga Makam said...

(Ariesnawaty)... Ada yang nggak beres nih. Saya jadi mikir, apa ada pola asuh yang salah disini? Apa anak itu sering dituduh atas perbuatan yang belum tentu dilakukan, sehingga dengan cepat membuat pembelaan sedemikian rupa? Apa anak itu memang benar-benar dicap ‘nakal’ oleh orang tuanya? Oleh orang-orang di lingkungan terdekatnya?

>>> Yap.. saya sering juga memikirkan hal seperti ini, mengapa mereka bisa bersikap seperti itu bahkan hal ini juga terjadi oleh banyak orang dewasa. BIsa jadi lingkungan kita berdiri memang kurang sehat dalam memberi arti dan makna terhadap apa yang dilihat oleh mata dan sesuatu yang dipikirkan. Yang jelas saya pun belum menemukan jawabannya... mungkin nanti bisa mendengar dari Aries langsung... let's hope :)

a riesnawaty said...

Suz... Mas Bongkeng....

Saya percaya kalo semua itu bisa dilakukan. Dan itu bisa dimulai dari diri sendiri.

*namanya juga titipan Tuhan* Orang bilang seperti menanam benih, nggak cuma ditanam tapi kemudian dibiarkan begitu saja. Mereka juga perlu dipupuk, disiram dan diberi keteduhan. Hingga saatnya mereka survive dan bisa bertahan dan meneruskan siklusnya.

aku pengen jadi 'pendamping' yang baik buat mereka. Yang berjalan bersisian. Yang merangkul bahunya ketika mereka merasa lelah. Yang memberi kata penghiburan ketika mereka ketakutan. Yang memberi pujian ketika mereka berprestasi. Yang memberi teguran ketika mereka sedikit berbelok, hingga mereka cukup mampu bertahan diatas kedua belah kakinya. Memandang mereka as a human being, manusia yang unik, dan berbeda dengan manusia lainnya. dan itu nggak mudah...


Mas Bongkeng, salam buat 'pacar kecil'nya yang lucu itu. :)

Toto ' said...

walaupun dengan sedikit kesulitan, namun tak ada yg tak mungkin selama hidup disisi kita.

Setuju deh.............

XXXX YYYY said...

absolutely agree wif you ries... aku "dititipin" satuuuuu aja, namanya Claudio dan dah 11 tahun! (hehehe dah ampir my size!) ... dan I know how difficult it is ditengah situasi yang ada sekarang.. :D

 
;