Sunday, February 19, 2006

Betapa ‘benci’nya aku menjadi orang Indonesia



Sudah dari dulu aku benci sekaligus marah pada negara ini. Katanya Negara gemah ripah lohjinawi. Buktinya? Jelas-jelas ada di depan mata. Parahnya, pada saat yang bersamaan aku selalu merasa nggak berdaya karenanya.


Malem itu, aku dalam perjalanan kembali ke rumah. Menumpang kereta KRL Bogor-Jakarta seharga 2500 perak.  Aku duduk di gerbong paling akhir.


Kereta tidak terlalu penuh, barangkali karena sudah malam dan ini bukan hari kerja. Tapi, tetap saja ada satu hal yang sama dan tidak berubah. Suasana yang muram, tanpa perlu dipoles lagi. Pintu kereta yang tidak dapat ditutup, lantai yang sudah terkelupas lapisannya. Cat gerbong yang tidak ketahuan lagi apa aslinya. Jendela yang penuh dengan retakan kaca pecah dan kursi yang bolong disana sini.


Diantara penumpang yang tidur, pura-pura tidur, memaksakan diri untuk baca, sibuk ngobrol atau sibuk dengan pikirannya  masing-masing.


Terus bergantian lewat penjual buah, pengemis, penjual minuman, tukang sapu, pengamen *baik yang merdu suaranya, maupun yang ngepas J *, penjual buku yang dengan pedenya membagi-bagikan kepada setiap penumpang *teory probabilitas terpakai disini*, penjual jarum, penjual ikat rambut, penjual frame foto *bayangkan! menyeret2 box frame dari ujung gerbong ke ujung gerbong yang lain*, seorang buta, dan seorang cacat kakinya. Bergerak  hilir mudik. Dalam bayanganku, ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup.


Malam itu, aku melihat seorang ibu, yang menggendong anak bayinya, menyandang tape+speaker kecil karaoke di bahunya dan menuntun seorang anak perempuan umur 5 tahun-an yang sedang memegang mike.


Gadis kecil itu terseret-seret dari ujung gerbong. Berusaha menyanyi walau tidak ada suara lagi. Berusaha bergoyang ala inul walau kakinya terlihat mulai gemetar. Tapi anak itu lelah! Udah ngantuk! Suppose to be her bedtime right now. Hampir aja aku tampar tuh si Ibu dan mungkin selanjutnya malah nangis bareng-bareng. Menangisi nasib seperti ini.


Seharusnya, ia berhak mendapat rumah yang mungil, yang hangat, dimana ia bisa belajar dan bermain. Tugas cari duit? ya orang tuanya lah. Hei, berani punya anak, berani juga menanggung hidupnya.


Aku termasuk beruntung, masa kecil ku tidak seperti itu. Tapi, berapa banyak sih anak kecil yang mengalami masa seperti itu? Mungkin malah beribu-ribu anak di luar sana yang mengira bahwa mereka tidak layak untuk dapat ‘kemewahan’ seperti itu. Yang mengira, itu sudah suratan takdir, yang mengira, kesalahannyalah karena lahir ke bumi, dan menanggung beban sepanjang hidupnya untuk mencari nafkah.


Aku sedih, karena aku disini hanya sebagai pengamat. Hanya selembar duit ribuan yang mungkin dapat membantunya memperpanjang nafasnya hari itu.  Dan betapa semua gambaran itu tersaji 'life' di depan mata. Betapa setiap orang harus berjuang agar dia tetap hidup!


 


[kemayoran, 19 februari 2006; lagi sebel aja!]



6 comments:

mlaku mlaku ambar said...

prihatin....sama kejadian di Bali Ries. Suamiku bersikeras ngasih duit tapi saya tolak (walau hati ini berjuang melawan). Anak-anak itu dididik untuk mengemis bahkan meminta. Teganya orang tua...atau memang anak2 itu untuk dimanfaatkan. Hiks mencoba sabar...

Penjaga Makam said...

Dulu sekali seorang teman baik berkata begini "Tidak ada salahnya membagi sedikit kemurahan Tuhan yang diberikan pada kita dengan mencoba mengajak satu diantara mereka menjadi anak asuh kita" ... Puji syukur setelah 5 tahun berlalu sekarang anak asuh gue telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang telah duduk di bangku SMA dengan harapan-harapannya di masa depan .... Hmmm so, bagaimana dengan sahabatku Ariesnawaty,... berani terima tantangan ? :) .... bukan menggurui loh.... hihihihihi....

a riesnawaty said...

waaah.. terus terang, saya salut sama mas Bongkeng. Bener2 mengilhami saya. Makasih yaaa....

[sekarang udah nggak sebel lagi jadinya]

a riesnawaty said...

UU negara kita memble nih Mbar. Kenyataannya anak-anak & fakir miskin harus melindungi diri masing-masing. Huadhuuuh!

deni dotten said...

negara kita kan tidak memberikan "nilai", tapi memberikan "harga"

donrian prince said...





©i love indonesia

powered by klepoon® v.9.9.999

 
;