Saturday, September 05, 2009

Brondong next door itu bernama Anggy Giriawan

Dan mata saya menangkapnya. Anak ABG kurus kering bermata sayu. Memakai sandal jepit dan jaket tipis dengan bordir Consina di dada kiri. Entah bagaimana, bagai tersihir, saya pasrahkan si hitam manis –nama kamera saya- padanya.

Sore itu matahari sedang bersiap untuk tenggelam. Sayang rasanya kami lewati. Sayang juga kalau moment itu tidak kami abadikan, dengan kami-kami ini sebagai latar depannya. Ah..ini penyakit narsis tingkat tinggi rupanya. 

Lalu Emma sibuk memberi pengarahan kepada si jangkung, dan Suwasti mematut-matut kameranya pada si gempal. Tapi Anggy nampak nyaman dengan si hitam manis saya. Saya tak perlu berkomentar lagi. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.

Sabtu 8 agustus 2009, 17.15
Alhamdulillah, kami tiba di puncak. Daerah terbuka dan semak belukar disana-sini. Dataran tak terlalu luas namun dengan kelegaan sejauh mata memandang. Dan bangunan mungil bekas tower diatasnya. Menaranya sudah hilang. Hanya bangunan tembok berbentuk kubus bercat putih penuh graffiti. Tanpa daun pintu. Menjadi tempat bernaung anak-anak ABG itu. Yang tawa dan candanya jauh terdengar puluhan meter sebelum kami menjejakkan kaki di puncak itu. Yang kemudian kami tahu adalah anak-anak ABG dari  Cikajang. Jalur yang muncul dari arah barat.

Syukurlah, tidak sepi-sepi amat. Minimal kami ada teman disini. Menurunkan kerir dan dengan sukacita kami menjelajah di sekitar puncak di ketinggian 2821 meter.  Mematut-matut diri dengan langit yang sudah kemerahan.

Anggy naik dari Cikajang. Dia memang tinggal disana. Dari pertanyaan yang saya ajukan padanya, ia dan teman-teman mainnya memang sengaja datang kesini. Sayang tak membawa kamera. Seperti halnya pemuda desa setempat. Hanya dengan modal peralatan seadanya. Sarung, selimut, plastik terpal untuk alas tidur, panci emak di rumah, beras sekantung besar, dan kayu bakar yang saya tak tahu mereka dapat darimana. Memilih Cikuray untuk dikunjungi. Minggu depan libur panjang 17-an. Mungkin mereka berpikiran sama seperti kami. Minggu depan pasti penuh sekali dengan pendaki.

Dan malam itu kami memasang tenda  sedikit dibawah puncak, terlindung oleh semak-semak. Berganti pakaian. Memakai jaket tebal. Menyesap kopi hangat dan mulai menyantap makan malam kami. Malam itu cerah sekali. Terang bulan dan bintang di sekitar. Tiga ratus enam puluh derajat. Indahnya.

Minggu 9 agustus 2009, 06.00
Sudah terlambat sebenarnya jika ingin menantikan fajar. Semalam tubuh ini lelah luar biasa. Namun dengan perut terisi dalam tenda yang hangat, terobati sudah. Pagi itu saya keluar tenda. Menyerukan nama Suwasti dan Emma. Menyuruh mereka bangun. Saya bergegas kembali keatas. Anak-anak ABG itu sudah bangun rupanya.

“Pagiiiiiii!”

“Pagiiii Teeeeh” (catatan : teteh; bahasa sunda artinya kakak perempuan)

“Gimana tidurnya semalem? Kayaknya subuh-subuh sudah pada bangun ya?”

“Nggak bisa tidur Teh. Kedinginan”

Saya melongok sebentar ke bangunan itu. Iya. Pastinya. Berlindung di tempat terbuka. Diatas lantai dingin hanya beralas plastik. Tapi saya percaya, tubuh-tubuh mereka sudah terbiasa. Saya melirik Anggy. Tak seperti ketujuh temannya yang tak henti-hentinya berbicara. Ia berbeda, Tak lama kemudian Suwasti dan Emma datang bergabung. Kami merayakan pagi disini. Diatas awan.

Satu jam kemudian
Kami kembali ke tenda. Sarapan dan bersiap untuk turun. Rencana turun bersama mereka melalui Cikajang kami amini untuk dicoba lain kali saja. Kami sudah terlanjur berjanji dengan tukang ojek yang akan menjemput kami di pemancar TV sore nanti. Kami turun di jalur yang sama dengan jalur naik kami kemarin.

Dan Anggy turun menghampiri tenda. Ia pamit. Perlahan dan tanpa ekspresi berkata pada saya,

“Kalau boleh, minta foto untuk dipasang di facebook.”

“Lho? Kamu punya facebook?” Emma takjub. Segera dicatat alamatnya.

Saya nyengir “Saya nggak punya facebook, Nggy.  tapi saya janji, saya akan kirim cd isi foto-foto kalian”

Dan saya mengiringi langkahnya kembali ke atas. Misi saya kali ini, saya ingin memotretnya di puncak gunung. Sebagai ucapan terimakasih atas bantuannya kemarin sore. Dan setelah itu, mereka turun melalui jalur Cikajang.

Sayang saya nggak sempat ngobrol banyak dengannya. Melihat hasil jepretannya, saya yakin ia pernah belajar fotografi. Punya kamera, atau dia memang punya bakat terpendam. Ini diskusi kami bertiga. Hasil jepretannya bagus sekali. Angle yang dia ambil juga tidak biasa.

Kemudian kami melanjutkan sarapan. Sebentar lagi kami akan packing dan mulai turun. Kembali ke peradaban. Ah... belum turun pun saya sudah terlanjur rindu ingin kembali lagi kesini.

Foto-foto selengkapnya : cikuray ... anthem of the broken hearted

Serpong 5 september 2009; 15:45
(ntar malem sahurber KKC di rumahnya wangsa)

12 comments:

Emma ɐɯɯǝ said...

mata k'ayis memang jeli sekali ;-)...hai anggi maniz hehe...

a riesnawaty said...

hati-hati Nggi.. ada Emak ..hihihi...
*udah jadi contactmu di FB Mak?*

Emma ɐɯɯǝ said...

belum, lupa alamat emailnya kehapus! :p...japriin dwong! heuheu :-D

tjee-pee - said...

Merinding ngbacanya mba...seperti ada "mistery" di balik si Anggy...
seperti membaca novel, yang menunggu akhir cerita sang tokoh...:-D

suwasti dewi said...

Anggi akhirnya naik tayang...hehehehe...

a riesnawaty said...

udah di PM ya buuu.. :D

a riesnawaty said...

seperti yang kita diskusikan sepanjang jalan Swas..

a riesnawaty said...

aih.. jadi maluuuuh...

Imam Arkananto said...

Hobby naik gunung plus narsis.....kombinasi yang cocok banget kayaknya...hihihihi

a riesnawaty said...

hahaha... akuuuur...!

novetra senja said...

minta alamat FB-nya anggy dunk mb...
kayaknya bole juga tuh dijadiin kecengan...wkkwkwkwkwkkkk...
*lg kangen dipoto mb aries:(

a riesnawaty said...

duh.. apa kabarmu?

 
;