Tuesday, March 31, 2009

Steril itu pilihan

Steril itu pilihan. Itu kata saya lho. Ah… mungkin saya sedang cari pembenaran  Tapi, sungguh. Ketika jumlah kucing peliharaanmu mulai bertambah dari waktu ke waktu, dan kamu mulai  kerepotan, mulai kehilangan waktu untuk memperhatikan mereka satu persatu. Hmmm… menurut saya sih, sudah waktunya.


Buat saya, untuk ambil langkah itu, diperlukan kemauan untuk membuka pikiran. Open mind. Berani mencoba menerima perubahan. Masih ingat program pemerintah era Soeharto? Program KB itu lho. Dulu untuk menghimbau orang untuk ber-KB rasanya susahnya luar biasa. Betul nggak? Tapi lihat sekarang.

Atauuuuuu….. yang baru-baru ini deh. Program pemerintah untuk beralih dari minyak tanah ke gas? Whaduuuuh.. kok ya rasanya susah mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru. Padahal itu membuat hidup jauh lebih mudah. Memang butuh waktu sih.


Ngomongin hidup lebih mudah, saya jadi ingat ibu saya. Dulu ia nggak mau pakai mesin cuci.”Cucian nggak bersih!” katanya. Mendingan cara tradisional. Rendam, sikat dan bilas. Tapi saya, si manusia keren era millennium ini , keturunan satu generasi dibawahnya, lebih suka pakai mesin cuci.

Alasannya sederhana, karena cepat dan praktis.  Walau pada kenyataannya, sekarang ibu saya masih menggunakan kombinasi keduanya. Mesin cuci dan cuci ala tradisional itu. Saya mau bilang apa. Namanya juga pilihan. Ya nggak? Terserah masing-masing deh.


Kembali ke persoalan steril. Teman saya nggak setuju waktu saya cerita akan mensteril semua kucing peliharaan saya. Katanya, saya menentang mother nature. Mengebiri hak asasi binatang untuk bereproduksi. Tidak berperikekucingan. Dan semua kata-kata mutiara lainnya. Semua saya telan dengan cengiran.

Argumen saya, dianggap tak masuk akal. Ingin menekan populasi kucing? “Huh.. mulia sekali anda.  katanya. Padahal, apa dia mau pelihara tiga ekor anak kucing sekaligus? Apa dia mau pelihara delapan kucing sekaligus?  Atau dia mau mengadopsi setiap anak kucing yang berkeliaran di jalan?

Yang menyedihkan sih, komentar ayah saya. Alkisah, bulan lalu saya pulang ke rumah. Waktu itu saya pamer foto-foto kucing saya di rumah. Begitu ia melihat  foto si mpus pasca operasi steril, mendadak ia kehilangan gairah untuk meneruskannya. Dan bilang “pantes aja. Barangkali kamu kena karma. Belum bisa punya anak karena kucing-kucingmu disteril semua”

“Wuuuuuihhhh… deeeeeeepp!” sahut saya dalam hati. Tapi lagi-lagi si anak bengal ini penasaran. Suara hati harus disampaikan toh. Maka, kembalilah teori-teori mengenai kucing yang terus bertambah.

Tidak berhasil.

Maka, “apa setiap anak kucing yang lahir harus dibuang?”
“ya.. pilih kucing cowok dong”
“dan yang cewek dibuang?”
“eeee……”
ayolah Paaa…. Open mind sedikit deh. *hihihi.. ni anak sotoy banget ya*
“ya enggak… “
“terus?”

Ayah saya diam. Dan kalau dia sudah diam. That’s it. End of conversation. Tapi saya diam aja. Mungkin dia sedang mikir. Sekali lagi. Memang butuh waktu. Sama seperti ibu saya dan mesin cucinya.  Tapi saya nggak tahu dengan teman saya yang satu ini. Padahal, dia juga pelihara seekor kucing lho.

 “Ya dibuang aja, Ries!”
“Lah? Apa dasarnya?”
“Toh ada teori survival. Siapa yang bertahan, dia yang akan terus hidup.”
“Dengan membuang kucing di pasar?”
“Iya”
“aku nggak tega”

Bukannya sama aja. Terori survival yang saya maksud adalah dengan menekan populasinya. Populasi yang cukup laaaah. Supaya jumlah orang yang mau pelihara kucing dan jumlah makanan yang tersedia bagi  mereka tetap seimbang. *ceileeeee… tingkat tinggi nih*

Dengan mensteril kucingku, aku nggak perlu repot mencari orang untuk adopsi kucing, atau repot-repot harus membuang kucing ke pasar kan? Atau gini aja deh. Sebagai manusia yang berakal, aku mewakili kucingku untuk mengambil keputusan untuk mereka. Demi kesejahteraan mereka *analogi yang rada maksa sih sebenernya*

“pokoknya kamu orang yang kejam, Ries”
“maksud lo?”
“tidak berperikekucingan”

Ah.. sutra lah… buat saya, steril itu pilihan. Mana tega saya membuang anak kucing yang baru lahir. Lebih baik saya steril saja induknya. Populasi kucing di rumah tetap tidak bertambah. Dan konsentrasi saya tentu bisa full untuk kucing-kucing tersayang.

Saya harap, orang juga mulai berpikir begitu. Kasihan kan ngeliat anak kucing yang dibuang di pasar, atau di jalan yang meong-meong kelaparan? Kasihan juga kan ngeliat banyak kucing tua yang sakit di tepi jalan karena nggak mampu mencari makan. Atau kucing yang mati karena ditabrak mobil di tengah jalan?


Apa kamu tega?


Serpong 30 maret 2009; 14.16 (sebenernya topic tentang steril kucing ini udah mengendap sejak setahun lalu. Baru bisa ditulis hari ini deh)

Wednesday, March 25, 2009

antara suami, ulang tahun dan tabung gas

“Hany”

“Ya?”

“Sudah saya putuskan.”

“Apa?”

“Uang beli gas tadi. Nanti saya ganti. Jadinya, hany tetep bisa ngerayain ulang tahun”

“Hiks!”

“Emang kamu punya uang?”

“Yaaah.. ada-lah.”

“Bukan dari ngutang kan?”

“Ya bukan lah. Ini uang jajan saya. (uang beli makan dan bensin).”

“Hiks! Makasih ya. Aku kira, nggak jadi ngerayain ulang tahun.”

“dadaaah..”

“daaah”

Klik! .. tuuuuuut….tuuuuuut…


Serpong 24 maret 09 13.31

(tadi beli gas untuk masak di dapur. Satu tabung Rp 78,000, pake uang terakhir yang ada di dompet. Makluuum.. akhir bulan *nyengir mode on*)




Monday, March 16, 2009

tau aja kalau namanya malih!

Namanya Malih. Intonasi pengucapan namanya seperti nama orang betawi asli. Maliiiiiiiiih!  kira-kira umurnya sih baru sebulan. Bulunya halus dan panjang. Warnanya seperti mpus Pippy, kombinasi hitam putih. Matanya abu-abu dan hidungnya sedikit pesek.

Persis seminggu yang lalu, ketika kami baru tiba di rumah. Tepat ketika saya sedang membuka pintu pagar, ia ada di depan rumah. Walau ekor mata saya masih sempat menangkap Anggi dan Billa -anak tetangga sebelah- yang tiba-tiba berhenti main di taman depan dan masuk kedalam rumahnya. Saat itu konsentrasi saya penuh pada kucing malang ini. Tampak lemas dan tak berdaya.

“Mana emakmu Mpuuuus?”

Kasihan sekaligus  kesal karena lagi-lagi, pasti ada orang yang membuang anak kucing di depan rumah. Tega sekali. Dan ia pasti tahu, mana tega saya biarkan kucing kecil ini sendirian.

Tanpa saya sempat meminta persetujuannya, suami saya bilang,

 “ yah sudah, ambil aja Hany, anggap aja pengganti si kunyit”

hiks! Terharu. Mungkin suami saya melihat mata saya dan mata si malih yang melihatnya dengan pandangan ala mpus in the boots seperti di film shrek itu lho. Hihihihi…..Uh, I really luv my hubby… ai lop yu loooooh…..  Maka, nama Malih pun kami berikan padanya.

Hari itu juga, kami mandikan kucing kecil ini. Takjub aja. Udah lama kami nggak punya kucing kecil. Rasanya, ritualnya punya mpus kecil terulang kembali deh. Mengajari makan dan minum sendiri, mengajarinya pup dan pis di luar rumah, pengawasan ketat kekita dia mulai main
keluar rumah, mengajarinya lompat naik dan turun dari jendela depan, selalu periksa kolong mobil kalau kami akan keluarkan si biru, termasuk merescue-nya kalau dia naek atap rumah dan nggak bisa turun lagi



Duh, setelah dimandikan baru ketahuan kalau badannya kuruuuuuuuuuus sekali. Dan kutunya, yaolooooo… ada satu kampung kaleeeeee. Banyak banget. Dan operasi pemusnahan kutu-pun digelar saat itu juga. Gemes deh. Dan setelah bulunya kering dan disisir rapi, si Mali pun mulai belajar makan dan minum susu dari mangkuk merah (pinjamam) milik mpus Kiki.

Hari pertama, si mali masih susah minum susu. Untuk makanannya, sengaja saya belikan whiskas for kitten, masih harus disuapin. Dan seharian hanya ngumpet di bawah meja printer. Pup-nya masih di pojokan kulkas. Masih dimusuhin sama mpus-mpus yang lain.

Hari kedua, mulai tahu kalau pagi hari saya buka pintu belakang, dia akan lari kesana dan pup atau pis dengan leganya. Hihihi..mulai bisa makan sendiri di mangkuk birunya. Sekarang mau nongkrong di sofa ruang tamu. Walau masih ngumpet di balik bantal sofa. Masih belum mau diajak main. *umpan kertas yang saya ikat di lidi, terus digoyang-goyang gitu lho* mpus Ucup sudah mulai ‘memandang penuh minat’ –maksudnya udah ngeh.. “ih.. ada kucing kecil ini toh.- Dan saya udah tau, dimana aja tempat persembunyiannya. Di kolong meja printer, di balik bantal sofa, di dekat mesin cuci, atau di rak lemari buku.

Hari ketiga, si malih secara mengejutkan, ikutan ngumpul ke ruang belakang. Ketika waktu makan mpus-mpus tiba. Walau mangkuknya kadang-kadang di dorong Ucup, hidungnya ditampol  Pippy. atau badannya disergap  Joni. Dia memang tabah. Pup dan pis tetap di halaman belakang. Dia udah tauuuu… masih susah minum nih. Saya udah siapin dot –dari bekas tempat tetes mata- harus dipaksa minum. “ntar dehidrasi lho mpuuuuus”

Hari keempat, mulai berani ke halaman depan. Ngumpet di belakang pot bunga. Dan buru-buru masuk ke dalam rumah. Keluar rumah lagi. Dan masuk lagi ke dalam. Di kejar Ucup. Dan ngumpet lagi masuk ke balik bantal sofa. Juga udah mau main pancingan kertas yang saya buat dua hari sebelumnya.Kasian juga. Nggak punya temen seumuran. Sama seperti Ucup dulu ketika melewati masa kecilnya. Sendiriaaaaan…

Si Malih ini juga suka miau-miau –yah.. miau-miau skala kucing kecil laaaah- saat waktunya makan tiba. Oiya, sebagai catatan ya. Dari delapan ekor kucing yang tinggal di rumah ini. Hanya Ucup seorang. Eh.. seekor. Yang suaranya super cempreng dan nyaring. Yang lain mah, diem-diem aja. Tenang-tenang aja. Makan dengan tenang. Berbaris dengan tenang. Tapi kalau ucup. Hah! Kalah deh, penyanyi tenor sekalipun.

Hari kelima, udah tau kalau namanya Malih. Nih, kalau saya panggil. Pasti deh.. sekonyong-konyong dia muncul. Ngikutin terus kemana saya pergi. *nah loh.. calon centeng baru nih* ngejar-ngejar sapu atau lap pel setiap saya bersihkan rumah di pagi hari. Badannya mulai berisi. Kalau dipegang, tulang belakangnya sudah tidak terasa tajam lagi. Mungkin dia sudah mulai mengumpulkan lemak di balik mantel bulunya itu kali ya. Perutnya bunciiiiiit deeeh. Tergila-gila dengan makan siangnya. Sedikit demi sedikit, menu makannya sudah saya samakan dengan kucing lainnya. Ikan cue dan sedikit nasi. *atau kalau lagi akhir bulan, ikan cue dan banyak nasi.. hihihihi..maap ya puuuus..uang belanjanya tinggal sedikiiiit*

Hari keenam, dia udah bisa asah cakar miau di spot-spot tertentu. Yah.. tempat mpus Pippy n Joni biasa mengasah kukunya. Posisi tidurnya sudah mulai free style. *terlentang, terbalik, meringkuk, dan sumpah.. kadang-kadang saya melihat senyumnya tersungging di bibirnya. Halah!  Dan ini yang saya seneng. Udah mau minum sendiri dari mangkuk minum bersama yang ada di dekat mesin cuci. Good.. good…!

Lho? Mana si Malih?
Maliiiiiih…! Maliiiiiiiiiiiih…!
Ih.. nongol dia.
Tau aja kalo namanya Malih..

Serpong, 16 maret 2009; 16.06 (kemaren ada badai. Ada tiang listrik n pohon tumbang di jalan ciater)
 
;