Tuesday, December 07, 2010
pangrango edisi mengantar susan
Tuesday, November 23, 2010
Wednesday, October 13, 2010
suratnya tak pernah sampai (bag. 3)
[TENTANG MAKANAN]
Sudah jam enam pagi. Mudah-mudahan kamu juga sudah sahur ya?
Bicara mengenai makanan, tentu tak pernah lepas dengan rumah makan Padang. Mungkin sudah suratan takdir kami. Sepanjang jalan menuju Padang. Selalu rumah makan padang yang kami temui. Ketika sahur maupun berbuka puasa.
Sejak sabtu pagi berangkat dari Bandung (kami naik bus ALS) baru jam setengah sebelas malam, kami benar-benar turun dari bus dan makan di rumah makan, di Muara Enim, Sumatera Selatan. Dan lagi-lagi rumah makan Padang.
Terus begitu hingga kami kembali lagi ke Bandung dengan bus yang sama. Yang parah sih waktu perjalanan kembali ke Bandung. Pukul satu malam kami di Purwakarta. Dibangunkan sopir. Kami harus sahur disana. Di rumah makan padang pula. Hiks!
Awalnya sih aku cukup tabah dengan makanan pedas seperti itu. Tapi lama-kelamaan, nggak tahan juga. Aku beli kecap botol yang kini selalu ada di dalam tasku. Kalau yang lain menenteng satu set sikat gigi dan teman-temannya. Aku sih cukup puas dengan hanya membawa satu botol kecap setiap kali kami masuk rumah makan.
[AKHIRNYA]
Pada hari surat ini dibuat. Aku sudah ada di Bandung. Data-data mentah yang kemarin kami ambil, tentu harus diolah dulu. Deadlinenya tanggal 15 Maret bulan depan. Rencananya, laporan ini nanti akan digunakan oleh pemerintah daerah Sumatera Barat. Tentunya untuk menentukan kebijakan daerah disana. Tugasku juga tidak hanya sampai disitu. Kontrakku diperpanjang. Tentunya membantu membuat laporan. Ah.. boleh juga nih. Bisa dibuat untuk tugas KP2. Lumayan…
Sekarang, aku ‘ngantor’ dari jam delapan hingga 4 sore. Setiap hari. Tentu diluar waktu kuliah. Tapi.. kalo males.. ya bolos aja. Hehehe..
Nah.. hari ini. Rencananya kami semua mau bolos ngantor. Nggak hanya mahasiswa magang-nya yang mau bolos. Pegawainya juga pada mau bolos.
Tapi rupanya rencana ‘suci’ kami sudah bocor terlebih dahulu dan diketahui pak Dosen biro ini. Hahaha… maka.. keluarlah ultimatumnya.
“Hari ini ada pembagian THR lebaran…!” kalau nggak masuk kantor. Hmmm.. resiko tanggung sendiri ya Hahahaha…!!! Batal deh bolosnya.
Bekasi, 13 Oktober 2010, 19.19 malam. Suratnya memang tidak pernah sampai kepadamu. Mungkin suatu saat nanti akan kuberitahu alasannya. Aku sekarang tinggal disini. Berhenti kerja dan (hanya sesekali menerima panggilan), Mengurus suami dan kelima ekor kucing kami. Masih suka jalan-jalan…. Dan ada satu yang nggak berubah.. (dan kamu pasti tahu itu) aku masih suka jajan sembarangan. (kayak anak es de deh)
suratnya tak pernah sampai (bag. 2)
[TENTANG GUEST HOUSE]
Kamu masih disitu kan? Aku teruskan ya.
Guest house kami di Alahan Panjang bentuknya rumah kayu. Walau kecil dan mungil. Tapi daya tampungnya besar lho. Kamu pasti bisa mengambarkannya. Kamu selalu pintar membuat sketsa.
Beberapa kamar ditempati dosen dan satu kamar mungil yang ada di belakang, aku tempati bersama teman perempuanku. Sisanya, tidur beralas tikar di ruang tengah. Yang sehari-hari disulap jadi tempat berkumpul kami. Kadang hanya untuk duduk lesehan sembari mengobrol, atau tempat merapikan data setelah seharian berkeliling.
Tapi ruang tamu yang ada di sebelah selalu penuh dengan asap. Kalau sudah waktunya berbuka, para perokok akan berkumpul disana. Apalagi yang dikerjakannya jika bukan mengisap rokok sambil berbalas pantun… hehehe.. sumpah!
Kamar mandinya ada dua. Dan airnya sedingin es. Jadi sudah rahasia umum disini. Kami mandi hanya satu kali sehari. Hahaha..
dan untuk makanan. Kamu nggak perlu khawatir. Si ndut ini terjamin sekali kesejahteraannya. Ikan sungai yang di goreng kering, sayur segar yang ditumis penuh selera dan rupa-rupa penganan lainnya untuk sahur dan buka kami selalu disediakan tepat waktu oleh si induk semang pemilik guest house. Rumahnya ada di sebelah kami.
[RUTINITAS]
Ya..ya… ya… kamu pasti akan mengomeliku kalau melihat lingkaran hitam dimata akibat kurang tidur. Tapi aku suka sekali. Tahukah kamu, setiap hari aku berangkat jam delapan pagi dan baru kembali ke basecamp menjelang senja. Persis menjelang waktu buka. Hanya istirahat sebentar karena tepat pukul sembilan malam kami berkumpul lagi untuk merapikan data. Kadang pertukaran informasi berlangsung begitu serunya hingga tengah malam. Kerap kami tertidur saking lelahnya. Lalu tiba-tiba sudah pukul 4 subuh. Waktunya sahur.
Tetapi walaupun begitu. Aku senaaaaaaang sekali. Nggak peduli apakah dia dosen atau mahasiswa. Kami sudah seperti saudara saja. Berebut piring (dan makanan tentunya), terbahak-bahak hingga perut sakit. Ada satu dosen nih, yang kalau tidur disebelah bantalnya pasti udah disiapkan kompas, jam dan alat pengukur ketinggian. Jadi kalau dia bangun. Yang pertama ia lakukan adalah membaca kompas… untuk orientasi dan mengukur ketinggian” ahahaha…
[SHARING INFO]
Well. Banyak yang bisa kudapat kali itu. Kamu tahu? Sekarang, aku bisa membedakan mana bunga jantan dan mana bunga betina. Aku jadi tahu, mengapa tanahnya menjadi tidak subur. Aku tahu beberapa nama latin pohon disana. Aku tahu darimana bahan kerajinan tikar itu berasal. Dari teman-teman UBH, aku juga belajar banyak mengenai rumah adat disana dan sedikit-sedikit juga belajar bahasa mereka.
Kadang-kadang, pengambilan data tidak hanya dilakukan ketika keluar masuk kampung. Sering kami harus menumpang truk. Naik perahu, memetik markisa dan membeli bawang putih (hahaha.. kalau yang ini sih belanja)
Ada yang menarik disana. Dulu di danau ini pernah dibangun fasilitas pariwisata. Tapi entah mengapa kemudian ditinggal begitu saja oleh pemiliknya. Konon, tempat itu tidak disetujui warga. Pengaruh agama yang mereka anut masih kuat. Menurut mereka. Dengan adanya tempat wisata itu hanya akan membawa pengaruh negatif. Mereka tak sudi tanah tempat mereka lahir dan hidup ini akan seperti tempat wisata di Bali misalnya.
suratnya tak pernah sampai (bag. 1)
Sabtu 17 februari 1996; 3.40 pagi; Subuh. Setelah sahur.
[CURHAT DULU]
Terimakasih ya. Kamu sudah mau bicara lagi denganku. Kamu tak tahu saja. Betapa leganya hatiku. Kisah ini bagai tak berawal dan tak berujung. Maafkan aku ya … kalau aku selalu menjadi orang yang peragu di dunia ini. Ah… sudahlah. Ada yang ingin aku ceritakan kepada kamu. Kisahku selama kamu tak mau bicara padaku.
[bandung-padang- alahan panjang-padang-bandung; 3-10 februari 1996]
Kamu tahu, libur lebaran di kampus tahun ini hanya dua minggu (12 s.d. 24 februari) tapi karena aku pergi ke Padang seminggu sebelumnya, maka jadilah tiga minggu penuh hari liburku. Tentu akan dicatat seminggu bolos kuliah.
[AWALNYA]
Nggak disangka juga kalau dipikir-pikir. Aku ditawari untuk pergi ke tempat ini, hanya tiga hari sebelum kami berangkat. Lalu hari minggu malam kami tiba di kota Padang. Disini panas sekali. Untunglah hanya semalam kami menginap.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan kendaran sewaan, kami bergerak menuju kota Alahan Panjang. Tak seperti Padang. Tempat ini sejuk sekali. Baju hangat yang kubawa rasanya tidak kuat menahan dingin dan kencangnya angin. Berkali-kali aku mengingatkat diri. Disini tidak sama dengan Bandung., Neng!
[THE CREW]
Ada dua belas orang yang berangkat dari Bandung. Beragam latar belakangnya : arsitektur, biologi, geologi dan teknik lingkungan. Selain mahasiswa ada pula dosen senior yang bergabung didalamnya. Formasi pun bertambah lengkap dengan tambahan beberapa teman mahasiswa arsitektur UBH (universitas Bung Hatta) dari Padang dan beberapa orang dari Pemda setempat.
Dari total duapuluh orang itu, hanya aku dan Litta peserta perempuannya. Jadilah kami kesayangan semua. Lucu juga kalau diingat bagaimana awal perkenalan kami dengan teman-teman UBH itu. Semula masih malu-malu. Tapi akhirnya malah malu-maluin. Hahaha.. !
Team satgas pun dibentuk. Kami dibagi menjadi dua kelompok. Sementara para dosen yang sepuh itu lebih suka jalan sendiri. Mereka bilang hari terakhir saja akan bergabung. Maka pergilah kami, tiga hari penuh menjelajah di sekitar danau diatas dan danau dibawah. Mana sedang puasa pula. Ihiks…! Andai kamu ada disini. Kamu pasti sudah mengikutiku sambil membawa segelas air dan menyuruhku buka puasa. Hehehe…
Tuesday, October 12, 2010
pasar seni : institut terkenal banget hehehe...
"Pasar seni ITB ke 10, pada 10-10-10, di ITB jalan Ganesha No. 10 dan hanya berlangsung 10 jam saja. Datang tahun ini atau silahkan tunggu 4, 5,bahkan 6 tahun lagi," hmmm....
Bandung, 10.10.10 (Pasar Seni ITB. Masih tetep rame. Masih tetep macet. Masih tetep susyah cari parkir. Selengkapnya ada disini : http://www.itb.ac.id/news/2978.xhtml atau disini http://pasarseni2010.tumblr.com/ dan disini http://www.pasarseniitb2010.com/)
Friday, September 24, 2010
sehari saja
Friday, June 25, 2010
Friday, June 11, 2010
tour de Palembang, 27-30 mei 2010 : EPISODE KETEMU MBAK KUNTI
dalam kisah sebelumnya (EPISODE ADA BOX TERBANG) diceritakan mengenai kisah duka yang menimpa black cupu –ini nama motornya Hendraz- yang dalam semalam, arm relaynya jebol dua kali. Tidak hanya itu ada pula tambahan bonus : di tengah perjalanan box motornya terbang dan nyaris nyemplung ke dalam sungai. Sebagian foto-foto juga ada disini 1236 km
Minggu 30 Mei 2009, Jam 3 subuh, somewhere around hutan karet di Mesuji, Sumatera Selatan
Dan di dalam gelap, sosok berwarna putih itu bergerak cepat maju mundur diantara rimbun pepohonan tak jauh dari tempatnya berdiri.
Maka meledaklah tangis Fanny –ini boncengernya Thomas- Thomas tak mampu berbuat apa-apa. (semoga sedang membaca doa). Tak jauh dari sana saya lihat Reza hanya mampu terpaku sambil tersenyum kecut (saya : mungkin ada mbak Kunti yang sedang berdiri disamping Reza dan bilang “Tolong dibantu yaaaaaaa….” Hahaha….)
Sayang kejadian itu luput dari perhatian kami semua. Kami terlalu sibuk dengan si ceper yang kini ada di tengah jalan. Tanpa diperintah, sebagian dari kami mengambil posisi di kedua ujung jalan. Kami akan memberlakukan sistem buka tutup. Truk-truk besar dengan kecepatan tinggi tentu akan melintas disini. Di ujung jalan ada Thomas dan Fanny –ini boncengernya Thomas- Reza dan beberapa orang lagi. Begitu juga di ujung lainnya. Nah… sisanya bergerombol di sekitar TKP dan memandang Hendraz dengan gemas.
Hendraz berkeras untuk tinggal disini. Dia ingin menemani black cupu kesayangannya.
Walaupun ingin J nggak mungkinlah meninggalkan mereka disini. Setengah iba, setengah jengkel, setengah ingin melempar motornya dan menjualnya pada orang madura J. Akhirnya kami putuskan untuk mencegat truk kosong yang lewat.
Beberapa kali terjadi miskomunikasi dengan pick up dan truk yang lewat. Ketika Adnan hentikan, mereka malah ngibrit lari tunggang langgang. Mungkin kami dikira perampok kali ya… atau tampang kami semua terlalu keren di pagi buta seperti itu. Hihihi…
Hingga akhirnya ada juga satu truk kosong yang dengan sukarela berhenti di dekat kami. Mereka dalam perjalanan menuju Lampung.
Sekarang, motor sekaligus bikernya langsung kami ‘kirim’ ke Lampung. Agak sulit juga memindahkan si ceper yang berat itu naik ke atas truk. Sementara tiga orang naik ke atas truk, sisanya melepas box belakang. Tangki bensin menyusul kemudian. Lalu beramai-ramai mengangkat si cupu. Dua box givi milik Fanny Sombah pun tak luput dari incaran kami. Sejak dua hari lalu, motornya pun bermasalah. Shock-nya jebol. Kami tak mau ambil resiko ia akan menyusul si cupu karena beban dan medan yang berat.
Ah.. ngomongin soal shock jebol ini saya jadi ingat kejadian dua hari lalu.
Jum’at 28 Mei 2010; 15:20 sore (masih di tengah jalan di daerah Mesuji)
Sore itu, Eko Probo memberi isyarat pada kami. Ia perlambat laju pio-nya lalu berhenti di tepi jalan.
Setengah tak rela Zico, Bismo, Hendraz, Sontry, AndyBrod, Gojali, Hendry Tobing, Mulyadi, Adit dan eMJe -suami saya tentunya- merapat. Jalan yang kami lalui sekarang amatlah mulus tanpa lubang. Setelah didera jalan penuh lubang hampir seharian tadi, gatal rasanya ingin memacu kendaraan sekencang-kencangnya.
“ Rombongan di depan tak terkejar ya” ucapnya tak percaya “Padahal udah gaspol abeees” nyengir.
Rasanya selepas mengisi bensin di Menggala tadi barisan cukup rapi. Dengan dikumendani oleh Adnan selaku vorrijder, kami semua tak ragu menarik gas dalam-dalam. Tapi mungkin karena kombinasi jalan aspal yang mulai mulus, barisan yang terlalu panjang dan akibat terhambat truk di beberapa titik. Maka pasukan pun terpisah dengan suksesnya. Terutama kami yang (mengangkut beruang-beruang itu) ada di barisan paling belakang.
Jadi inilah kami, sebelas motor yang kebingungan di tengah jalan.
“Coba hubungi mereka” saya lupa siapa yang memberi perintah. Tapi saya ingat Adit mengeluarkan HP-nya dan menghubungi mereka. Tak lama kemudian ia menutup telponnya. Kami sungguh mati penasaran.
“Mereka… nyasar!!!!”
“Dan sekarang masih ada di belakang kita.”
Sedetik dua detik senyap. Lalu…..
“Buhuahahahahaha…!!!!” tawa kami pun pecah. Jadi selama ini kami mengejar siapa?
Kenapa bisa begitu? Hmmm.. alkisah di tengah perjalanan. Saking asyiknya pak kumendan di depan, ia tak memperhatikan rambu jalan. Di salah satu kelokan mereka malah menikung kembali menuju bakaheuni, Lampung. Aw..aw..aw…
SPBU pematang panggang, 16.20 sore
Akhirnya kami bertemu lagi ketika melihat rombongan Adnan datang merapat. Mereka datang tanpa Tommy, Qosyim, Micky dan Rina –boncengernya Micky- Mereka masih tertinggal di belakang. Ada masalah pada motor-nya Micky. Entah apa yang terjadi pada mereka. Tapi saya yakin saat itu Tommy yang penasaran masih sibuk membongkar motor.
Sementara disini, Adnan juga masih berkutat dengan motor Fanny Sombah. Kali ini shockbreaker-nya bocor. Semua menuding beban motornya yang terlalu berat. Selain membawa boncenger, motornya pun mengangkut tiga (yup! TIGA BUAH) box givi yang dipasang di tengah dan di samping kanan kirinya.
“Berat tiga box itu hampir sama dengan satu motor bebek lho!” bisik Hendraz pada saya.
“ooooo…” saya menatap takjub.
Sementara hari semakin senja. Target mencapai Palembang pukul enam sore kini hanya angan-angan saja. Apa yang terjadi dengan motornya Micky ya?
NEXT : motornya Micky kena ‘santet’
Thursday, June 10, 2010
catper tour de palembang 27-30 mei 2010 : EPISODE ADA BOX TERBANG
Minggu 30 Mei 2009, Jam 3 subuh, somewhere around hutan karet di Mesuji,
Sumatera Selatan
Ini penggalan kisah ketika saya membonceng suami tercinta yang ikut touring de Palembang 27-30 mei 201o lalu bersama MiLYS ; foto-foto ada disini 1236km
Si malih –ini nama motor suami saya- terbirit-birit menyusul barisan di depan.
Tadi di jembatan, rombongan sempat terpecah dua. Ada yang terlanjur belok ke kiri dan melewati aspal rusak di jembatan lama.
Tapi ada juga yang cukup pintar menumpang jembatan baru yang letaknya ada di sebelah jembatan lama. Sambil memandang iri pada beberapa motor yang ada disana, saya sempat berpikir.
Kenapa barisan depan masih ada disini ya?
BOX TERBANG
Kemudian baru saya tahu dari Adit. Hahaha…tadi ada box terbang !
“Box siapa?”
“Hendraz” ucapnya dengan sebal. “Untung nggak jatuh di sungai. Bayangin kalo iya, bakal gue suruh dia nyemplung juga ke sungai” hahaha.. dongkol banget kayaknya J
Setelah itu barisan rapi kembali. Walau hanya 2 jam sempat terlelap di salah satu SPBU dan setelah semalamam melewati jalanan rusak nan penuh lubang itu. Angin pagi ini cukup membuat kami semua bersemangat. Kini kami bergegas memacu kendaraan. Jalanan lumayan mulus walau kadang berpasir di sisi kanan kirinya.
Gelap sekali. Kami harus waspada tingkat tinggi nih. Seringkali truk besar tiba-tiba muncul dari kelokan jalan. Namun kami dapat berkelit dengan lincahnya. Tidak hanya itu, kalau tidak hati-hati kadang-kadang mata ini kurang awas ketika berhadapan dengan lubang besar yang menganga persis di kelokan jalan.
Sudah beberapa kali motor-motor ini menghantam jebakan batman itu.
Ini sudah belokan yang kesekian. Adit sudah berteriak-teriak mengingatkan Hendraz. Nggak usah pake gaya riding sambil berdiri gitu deh. Nggak usah ngebut juga. Lalu kami melihat cahaya yang terang benderang.
Rupanya barisan di depan terhenti di tepi jalan dengan posisi yang aneh sekali. Kami pun mendekat. Beberapa menepikan motornya. “Apalagi sekarang?” cetus saya dalam hati dan turun dari boncengan.
Hendraz nampak sedih. Di malam yang sama, ini untuk kedua kalinya si black cupu –ini nama motornya- berubah ceper seperti ini. Arm relay-nya patah lagi. “Tadi sudah gua bilang. Nggak usah banyak gaya deeeeeh. Ini jalan banyak jebakannya” omel Adit sambil berjalan mondar-mandir.
Dan ketika barisan belakang datang menyusul. Adnan yang muncul pertama kali, tak dapat menahan kekesalannya.
“Hendraz lagi???!!!” matanya membelalak ingin menelannya bulat-bulat. (saya : hmmm.. kayaknya sulit Bro. Beratnya udah lewat 100K lhooo…J ) ada rumor yang berkembang jika Hendraz baru men-service motornya hanya ketika akan touring saja. (saya lagi : sori ya Ndraz.... kalau yang ini belum teruji kebenarannya)
Dengan semua mata tertuju padanya, Hendraz mulai panik dan emosi. Mungkin kesal. Mungkin juga tidak enak hati karena sudah merepotkan banyak orang. Lalu dengan nada pelan ia berkata :
”Gue ditinggal disini aja Bro. Kalo ada warung, biar gua nunggu disitu. Nunggu anak timur aja” Memang sih, masih ada kloter terakhir. Rombongan Milys chapter Timur, saat itu masih ada di Palembang. Yang saya dengar, mereka baru akan berangkat hari minggu pagi. Jadi idenya adalah mengontak anak timur –minta dicarikan cadangan arm relay- lalu menunggu rombongan itu lewat.
Ah.. saya jadi ingat kejadian semalam. Bonus kami bisa tidur di SPBU itu juga akibat si Black Cupu juga. Sekitar 20 km menjelang SPBU tempat kami rehat semalam, Black cupu -milik Hendraz-, si blekih –ini nama motor Sontry- dan si Sexybomber-motornya AndyBrod- berturut-turut menghantam lubang dalam. Bergantian masuk ke dalam jebakan batman itu tanpa sempat menghindar. Tidak hanya sekali tapi tiga kali.
Untunglah semua aman terkendali. Masih beruntung Hendraz tidak terjerembab jatuh. Tapi si cupu mendadak ceper, arm relaynya patah.
Maka saya dapat memahami kejengkelan Adnan yang berjam-jam mencoba mengganti arm relay-nya si Cupu. (catatan : AR cadangan yang dibawa Hendraz, tidak pas dengan dudukannya. Duuuuh.. ada-ada aja. Lalu solusi terakhirpun diambil : tukar pasang AR dengan thompelica-nya Tommy)
Ngomongin soal jalan yang luar biasa buruk ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jalannya hanya mulus jika akan musim lebaran tiba. (proyek telah tiba style) Malah ada yang berseloroh kalau kami ini bak bermain congklak di jalan lintas timur ini. Lubang semuaaaa…..hohohoho!!!
Saya memandang berkeliling. Hanya pepohonan di kejauhan dan bekas galian pasir. Gelap sekali. Warung terdekat jauhnya berkilo-kilo meter dari sini. Itupun SPBU yang sudah tutup tempat kami menumpang tidur tadi. Hmmm….
Next : ADA MBAK KUNTI…HIIIIY!
Wednesday, June 09, 2010
1236 KM
Thursday, June 03, 2010
jangan panggil aku wanita perkasa lagi!
Monday, May 10, 2010
reuni @ kandang badak
Dan salah satu hal yang membuat saya bahagia ketika jalan-jalan adalah ketemu lagi dengan temen-temen lama. Masih lanjutan kisah akhir bulan lalu Semua foto dijepret dengan kameranya Emma. Permios ya Maaaak.. :D minjem futuna. Ada jenny, Nita, Joan, Emma, dwi dan Ucup Sayang jeng Suwaztih batal ngikut, padahal bisa reuni-an dan foto-foto ala fesbuk nih.
10 mei 2010, 14.11 BTR yang mendung.. hmm.. tumben
Saturday, May 01, 2010
pangrango, I love u but it’s not so easy*
Ketika itu sepanjang jalur naik dan turun nggak seramai biasanya, mungkin karena musim pendakian baru dibuka. Sepanjang jalur dan pos yang kami lewati, bersih nyaris tanpa sampah. Hmmm…mudah-mudahan akan selalu begitu. Tapi dari semua itu yang paling menyenangkan buat saya adalah disana ketemu teman-teman lama yang kebetulan ngecamp bareng di Kandang Badak. Ah.. jadi reunian deh.. Dan ini sebagian rekamannya. Thanks ya… Mudah-mudahan besok bisa jalan bareng lagi.…
Kisah yang lalu juga ada disini dan disini Siapa tahu ada yang pengen lihat juga.. ;) *yang sepenggal liriknya saya kutip untuk judul album ini, dan yang isinya memenuhi benak saya sepanjang jalan. when you love someone
Wednesday, April 21, 2010
antara es campur , Samuel Mulia dan golden ways-nya Mario Teguh
Padahal harganya sama. Barang yang dijualnya juga sama.
Padahal lokasinya strategis, harganya sama persis, bumbunya sama dan cara penyajiannya juga tidak jauh beda.
Waktu pertama kali pindah ke BSD, saya belanja dari tukang sayur pertama yang lewat di depan rumah. Ketika harga sudah ditotal. Saya minta pengurangan harga 500 rupiah (saat tulisan ini dibuat, uang sebesar itu setara dengan 3 buah permen atau sebuah gorengan).
Apa yang terjadi? Si abang sayur ngotot nggak mau menurunkan harga. Ya nggak apa-apa sih. Tapi saya males belanja dengan abang sayur itu lagi. Hingga akhirnya saya punya langganan tetap pedagang sayur. Namanya Bang Pa’ Ul asal Bogor. Orangnya luwes dan sabar meladeni pertanyaan dan permintaan diskon dari ibu-ibu komplek yang cukup kritis ini. Harga sayurnya masih bisa digoyang sedikit. Mungkin dia nggak ngambil untung terlalu banyak.
Kalau pun kemudian hari harganya sedikit naik, saya sih cukup pengertian. Namanya juga loyal customer . Buat saya dia masih memberikan pelayanan yang terbaik diantara tukang sayur lainnya.
Pernah juga suatu hari saya ngotot ala preman kepada penjual sayur yang ada di pasar.
Dan tukang ikan langganan saya sudah kehabisan stok. Jadi saya pindah ke tempatnya. Mungkin dia pikir saya nggak tahu harga pasaran ikan cue. Huh! Saya ngotot karena harganya dia mark up gila-gilaan. Apa dia pikir saya ibu-ibu kemarin sore apa?
Ada juga kejadian ketika saya beli nasi Bali yang ada di salah satu kios di tengah pasar Modern BSD. Ada sih langganan saya yang kiosnya ada di dekat pintu masuk. Biasanya saya pesan dan bayar lalu saya ambil ketika akan pulang.
Waktu itu, saya pengen jajal kios yang lain. Maka saya beli deh. Karena saya suka makanan pedas, saya minta ekstra sambal hijaunya. Mau tahu apa jawabannya ?
“Cabenya tinggal sedikit. “ jawabnya dengan ketus. Ih.. padahal dia pemilik kios itu lho. “Tadi nggak bikin banyak. Nanti kalau ada orang yang beli, nggak ada sambelnya lagi”
Whaaat?
Wah.. dia sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Memang sih, nggak ada yang salah dengan kalimatnya.
Tapi ini kan bukan pelajaran matematika yang satu ditambah satu sama dengan dua. Ini ada kaitannya dengan bagaimana memperlakukan pembeli bak seorang raja.
Saat itu saya merasa diabaikan olehnya.
Detik itu juga saya berjanji dalam hati. Saya nggak akan beli ke tempat ini lagi.
Dua minggu lalu, sambil lalu tanpa sengaja saya nonton acara Golden Ways-nya Mario Teguh di Metro TV. Ada satu kalimat yang langsung nyangkut di hati. Begini kurang lebih :
“Bilang iya dulu. Walaupun anda tidak bisa.”
Hmmmm.. maksudnya?
Begini contohnya: misalnya anda tidak dapat memenuhi ajakan seseorang untuk makan malam pukul tujuh malam. Anda bisa menjawab ya terlebih dahulu. Tapi kemudian baru bilang “Tapi maaf, pukul tujuh itu saya sudah ada janji. Bagaimana jika pukul Sembilan?”
Jadi maksudnya adalah bagaimana cara kita menyenangkan orang lain. Memberikan hal yang positif dengan berkata iya.
Bercermin dari ucapannya itu, maka kenapa tidak si tukang nasi bali bilang : “Oh.. boleh bu. Sambalnya saya tambah ya. Tapi maaf, tidak bisa banyak-banyak. Hari ini saya tidak membuat sambal lebih banyak. Saya khawatir pembeli yang lain tidak kebagian”
Dia senang, saya senang. Dan yang pasti saya nggak perlu membuat sumpah untuk tidak akan datang ke tempatnya lagi.
Melayani adalah pekerjaan seorang yang merendahkan hati. Ini tulisannya Samuel Mulia, penulis kolom parody di Kompas minggu lalu.
Melayani itu sebuah pekerjaan mulia yang jauh dari hina. Kepuasan pelanggan adalah masalah mau melayani atau tidak. Agar mereka puas semuanya bermula dari manusia yang melayani. Hmm…
Saya jadi ingat, kenapa orang sering bilang pelayanan pramugari dan pramugara Singapore Airlines sangat bagus. Tapi memang bener sih. Pengalaman saya dulu menumpang SQ dari LA menuju Changi, di Singapura. Tak sedetikpun kami para penumpangnya diabaikan. Kami merasa bak raja dan ratu. Bentuk pelayanan mereka persis seperti –ini salah satu iklan deodorant- Setia setiap saat.
Tak sedetikpun kami dibiarkan tanpa bantuan. Mereka selalu datang untuk memastikan apakah kami sudah minum., apakah kami membutuhkan bantuan, apakah kami butuh bacaan.
Dan entah mengapa walaupun saya tahu, senyum yang mereka tampilkan memang harus profesional. Tapi saya rasa itu tulus sekali. Uh.. saya jadi pengen kenalan dengan orang yang memberikan training untuk para pramugari dan pramugara ini.
Membicarakan pelayanan pramugari SQ ini saya jadi ingat dengan pramugari pesawat Qatar Airlines yang saya temui beberapa tahun lalu dalam perjalanan saya dari Dubai menuju Tehran.
Saya terkaget-kaget dengan pramugarinya yang –maaf- sudah tua dan tampangnya judes banget. Saya jadinya enggan. Padahal saya hanya mau minta segelas air putih.
Kasus yang sama juga terjadi dengan pramugari Trans Amerika yang pernah saya lihat dalam penerbangan dari Kennedy, NY menuju Chicago. Wah… rata-rata sudah berumur 40 tahun-an. Make up-nya tebal. Yang kerjanya hanya mondar-mandir tanpa senyum –dan tanpa kerjaan saya rasa - Dan .. uh.. yang paling tidak bisa saya lupakan sih cat kukunya. Waktu memberikan segelas jus jeruk pada saya. Merah merona. Hehehe…. Saya nggak tahu pada kemana para gadis remaja di Amerika saat itu.
Dan terakhir adalah ini. Tragedi es campur yang membuat saya bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di tempat itu lagi.
Minggu malam lalu saya merengek pada suami, ingin diantar beli es campur.
Saya kangen menyuap semangkuk es serut yang disiram sirup berwarna merah dan diberi susu kental manis.
Dan didalamnya berisi kelapa muda, potongan buah alpukat dan teman-temannya. Sluuuuurp! Nggak apa-apa deh kalo isinya sedikit tapi yang penting es serutnya yang banyaaaaak….Duh.. nikmatnya!
Maka keesokan harinya, kami berdua mampir di warung bakso Ojolali (cabang pondok Kopi) yang ada di depan komplek perumahan kami. Karena saya tahu, selain menjual bakso mereka juga menyediakan rupa-rupa minuman segar. Dan es campur salah satunya.
Setelah memesan dua mangkuk bakso, saya pun beranjak menuju gerobak minuman untuk memesan es. Sementara suami saya sedang nongkrong di toko HP di sebelah. Lagi lihat-lihat HP.
“isinya (es campur) apa aja, Mas?”tanya saya.
“ager-ager, mutiara, alpukat sama blewah”
“Oke. Kalo gitu, saya pesen dua ya. Tapi yang satu, nggak pake ager-ager dan mutiara” pesan saya. Saya hanya suka es serut dan buah-buahannya saja. Ingat kan?
“nggak bisa. Harus lengkap”
“whaaaat?” saya mulai merasa tidak nyaman. “biasanya boleh.”
“tapi disini biasanya nggak boleh. Nggak kayak tempat lain. Disini isinya harus lengkap. Nggak boleh pilih-pilih.”
“lho? Gimana dong? Soalnya saya nggak suka agar-agar dan mutiara.“ penting banget nggak sih harus dijelaskan. Saya nyaris menangis. Masalahnya udah dari semalem pengen makan es campur.
“Serius nih?” tanya saya lagi. Masih tak percaya.
“iya.”
“Saya nggak jadi pesen” ingin rasanya saya membalik gerobak esnya. Dan menimpuknya dengan toples.
Saya langsung keluar, sementara pelayan yang sedang meracik bakso, memandang saya penuh dengan tanya.
“saya nggak jadi pesen bakso.” Saya pelototin si tukang bakso yang tak bersalah itu. Biarin. Biar dia tahu kalau rekan kerjanya nggak becus melayani pembeli.
“Saya juga nggak jadi pesen es campur. “ suara saya bergetar menahan amarah.
dan puncaknya .....
“saya nggak akan beli di tempat ini lagi.” suara saya bergema. Sepasang kekasih yang sedang menyuap bakso di pojokan sampai menoleh karena ingin tahu.
Saya buru-buru menuju parkiran motor. Suami saya menyusul dari toko sebelah. Heran. Tapi akhirnya dia ikuti juga saya.
Di rumah, sambil menangis sesegukan di bahu suami, saya bersumpah. Saya nggak akan menginjakkan kaki di warung itu lagi.
Dan mudah-mudahan pada saat yang bersamaan si pelayan warung bakso itu sedang manyun di pojokan dengan kaki diangkat satu dan kedua tangan menjewer kupingnya sendiri, karena sedang diceramahin oleh om Samuel Mulia dan om Mario Teguh yang entah bagaimana kisahnya kok tiba-tiba sedang memesan semangkuk es campur di warung bakso tadi.
Hmm… senyum saya mulai mengembang. Saya puas sekali.
BTR, 21 april 2010; 10.23 pagi. Pippy sedang bergelung di sebelah.
Friday, April 16, 2010
Kemalingan!
Pagi tadi saya jalan pagi. Rute-nya sih rute express. Dari blok rumah kami ke blok 10 yang ada di ujung terjauh komplek ini. Tentu ditemani sepasukan kecil kucing-kucing peliharaan saya.
Nah.. .. dari jauh saya melihat orang ramai berkumpul. Tumben! Kali kedua saya lewat lagi. Luwoooh! Kok ada satpam komplek disana?Wah..wah…Karena penasaran akhirnya saya hampiri mereka.
“Ada apa bu?”
“Maling!”
“Lho? Rumah siapa?”
“Rumah sayaaaaa…!!! Huhuhuhu”
Tadi subuh ketika ibu itu bangun. Betapa kagetnya dia melihat jendela sudah tak berteralis lagi. Dan teriakannya pula yang membangunkan orang-orang di blok itu. Memang benar. Teralis jendelanya sudah dilepas pencuri. Ujung kaca jendelanya pecah. Dan pintu terbuka lebar. Hmmm.. cerdik sekali si pencurinya.
Tapi rupanya si pencuri tak berhasil meneruskan aksinya. Setiap malam si empu rumah punya ritual untuk mengunci setiap pintu kamar. Si pencuri hanya berhasil kerja bakti membuka teralis jendela depan tanpa sempat membawa kabur TV atau barang berharga lainnya. Sedang rumah lainnya, sempat disapu bersih oleh pencuri. Dompet, HP dan PlayStation pun disabetnya.
Duh.. sungguh tak aman tempat ini. Kami lengah karena tinggal di komplek yang bentuknya cluster –komplek dengan satu pintu, jadi orang yang keluar dan masuk kawasan ini dapat diawasi dengan ketat-Kami lalai karena membebankan keamanan komplek ini hanya kepada satpam .
Maka para komentator itu–asli deh, belum pada mandi dan masih pakai piyama- mulai menganalisa. Mereka bergerombol di depan rumah ibu yang malang itu. Saya-si orang asing dari RT sebelah ikut-ikutan ada diantara mereka-
“Disirep kali. Jam dua subuh gitu lho” *Saya membatin, kok bisa tahu kejadiannya jam 2 subuh?*
“Mungkin tukang bangunan. Dulu waktu bangun tempat ini, tukang-tukangnya nggak di seleksi siiih” *Saya tersenyum dalam hati, diaudisi aja kali buuuuu*
“Pasti penduduk kampung belakang. Pagar tembok komplek ini kan gampang di lompati” *hmmm.. kening saya berkerut. Memang gampang sih cari kambing hitam*
“Konspirasi. Mungkin pembantu pulang hari –pembantu pulang hari itu istilah untuk pembantu yang kerjanya dari pagi dan pulang sore. Yang dikerjakan kerjaan domestik. Biasanya mereka orang yang rumahnya tidak jauh dari rumah majikan- yang jadi mata-mata” *senyum saya makin lebar, ini pasti sering nonton film*
“Pedagang yang sering masuk komplek ini, pasti!” *saya mulai berkhayal. Pedagang berkeliling sambil membawa radio telekomunikasi dan GPS dan kamera digital dalam gerobak sayurnya. Hmmm.. keren deh!*
Tapi bayangan saya buyar ketika sayup-sayup saya dengar suara Koko yang miau-miau mencari saya. Hihihi… saya lupa dengan pasukan kecil saya. Maka saya pamit sambil menggiring pasukan saya kembali pulang ke rumah.
Suami yang saya ceritakan dengan penuh semangat hanya berdehem tanpa ekspresi. Tumben. Dia kan orangnya gaul dan selalu ingin tahu.
Sambil menyiapkan sarapan, saya berpikir lagi. Harus ditingkatkan nih keamanan rumah ini. Eh.. tapi siapa tuh yang ngomong sendirian di depan? Sambil mengintip melalui jendela, saya melihat suami saya sedang membriefing para kucing:
“Joni.. kamu menjadi kepala satpam di rumah ini ya”
“Miauuuu!” jawab Joni yang memang sudah dari lahir berbulu hitam ala seragam satpam.
“Pippy.. kalau ada yang berani masuk rumah. Cakar saja mereka”
“Miauuuuu!” sahut Pippy yang memang terkenal paling galak di rumah ini. Sama kucing lain saja galak. Apalagi sama manusia.
“Malih!.. tugas kamu menjadi lucu saja “ “miiiiuuuu” jawab Malih yang memang kucing terlucu di rumah ini.
Hahaha… dia mulai kehabisan ide.
BTR 16 April 2010, 13.48 WIB mendung, dan angin kencang. Atap seng di balik tembok sana, nyaris lepas di tiup angin.
Friday, March 19, 2010
catper trip lawu via ceto episode : RINDU INGIN KEMBALI LAGI
Mbok Yem memang luar biasa, warungnya buka 24 jam sehari, 365 hari setahun. Tak sekalipun pernah absen. Warung kecil di ketinggian 3000 meter ini, ia lebarkan ke selatan.
Bedeng memanjang beralas tikar ia berikan bagi pendaki dan peziarah yang kemalaman, tak punya tenda dan kelaparan tentunya.
Melalui Suwasti, Kris bilang akan menghabiskan logistiknya dan membangun tenda tak jauh dari café Mbok Yem.
Maka inilah kami : saya, Suwasti, Joan dan Emma. Memakai jaket hangat dan kupluk. Di bawah terang lampu neon, dengung suara genset, lengkingan Mbok Yem menyambut pendaki yang baru datang atau dengkuran pendaki yang tidur saking lelahnya.
Kami duduk melingkar saling merapatkan bahu. Di lantai beralas tikar, menghadap wadah plastik berisi kopi dan teh.
Kami ngobrol dan tertawa penuh arti. Mengingat petualangan hari itu. Akhirnya kami sampai juga. Dan rasanya sudah rindu ingin kembali lagi. Tidak hanya menyapa pucuk-pucuk daun cemara dan rumput liarnya. Tapi juga atas kehangatan dan persaudaraan yang kami rasakan selama ini.
Lalu sambil menunggu pesanan nasi pecel kami tiba. Saya kembali teringat kejadian sore itu di pos 5.
Pukul 15.30 sore POS 5 Bulak Peperangan (2820 mdpl)
Sambil menoleh kebelakang, jauh diujung sana, saya lihat dua orang berjalan beriringan.
“Oh.. itu mereka.” Ucap saya lega.
Sambil memberi tanda pada Emma dan Joan untuk terus maju. Kami perlahan bergerak kembali. Setelah pos 5 ini, ada dua bukit kecil di kiri kami.
Dan begitu keluar dari tempat ini.. ah.. kami bertemu lagi dengan padang sabana yang jauh lebih luas dari padang sebelumnya.
Lalu jalan setapaknya mulai membelok ke tenggara. Dan jauh di ufuk selatan, samar-samar kami lihat puncak bukit dan sebuah tower diatasnya.
“Hah? Ada tower disini?” kami semua sungguh penasaran. -Kemudian saya tahu, dari pemilik toko souvenir yang ada di pintu masuk Cemoro Sewu. Tower itu sudah tidak berfungsi lagi. Dia dibangun pada jaman pemerintahan presiden Soeharto. Entah milik siapa dan untuk apa.-
di tengah padang, jam 4 sore
“Gue pusing!” keluh Joan tak berkutik.
Hujan sudah berhenti. Tapi ia merasa kedinginan. Sedang saya merasa lapar -hmm.. suatu kombinasi yang aneh- Emma mengangsurkan roti dari daypack yang dibawanya. Dan kemudian mulai sibuk menjepret sana sini dan buntutnya minta dipotret dengan payung merahnya.
Halah!
Suwasti dan Kris menyusul tak lama kemudian. Kris menemukan sumber air. Ada cekungan resapan air hujan tak jauh dari situ. Ia kesana dan menyaring air dengan filter yang dibawanya.
Benar kata Emma. Seandainya tidak hujan disini, kami pasti akan berhenti lebih lama. Seandainya juga hari masih siang disini, kami juga pasti akan berlama-lama disini.
Sambil berdebat kesana kemari, saya dan Joan sibuk mengunyah roti . –iya, Joan juga ikutan makan roti- ia juga menelan obatnya. Saya juga sempat mengganti baju yang basah oleh keringat dan tempias hujan tadi. Kami istirahat sejenak disini. Diantara kabut yang mulai menutup bukit di ujung sana.
Pukul 16.30 sore
Emma kelihatan kecil sekali. Payung merahnya sesekali bergerak menyusuri jalan setapak yang membelah padang rumput yang luas ini. Dia sudah mulai kedinginan. Yang artinya, harus mulai berjalan lagi. Saya menyusul. Joan mengikuti tak lama kemudian. Kepalanya masih pusing. Tapi sudah lebih baik dibanding setengah jam lalu.
Suwasti menjemput Kris yang sedang menyaring air. Dan kemudian menyusul rombongan. Jarak kami masing-masing terpisah beberapa puluh langkah. Tapi masih bisa saling melihat.
Di ujung lapangan ini, ada sebuah bukit yang harus kami daki lagi. Cukup menguras tenaga. Apalagi ini sudah mulai memasuki ketinggian 3000 meter. Oksigen mulai tipis. Kami terengah-engah menghimpun oksigen masuk ke dalam paru-paru.
Pukul 17.00 sore
Dan begitu tiba di puncak bukit, kami melipir lagi dan mengitari beberapa punggungan bukit. Pohon cantigi di kanan-kiri kami.
Di sela-selanya terlihat juga batang pohon edelweis yang belum berbunga. Tiba-tiba, saya melihat sesuatu yang saya rindukan selama ini. Aha!
“Emmaaak!!!” teriak saya. “Itu puncaknya!!!”
Sambil menunjuk jauh disana, saya melihat tugu dan dan sebuah bendera diatasnya. Sedang berkibar. Kecil sekali. Tapi saya senang karena sebentar lagi kami akan tiba.
Dari jauh Emma mengangguk –saya yakin sebenarnya dia juga sedang tersenyum lebar -.
Ia kembali melangkah. Sesekali saya menoleh ke belakang, memastikan Joan masih ada.
Di kelokan tak jauh dari Joan, nampak Suwasti dan Kris. Oh.. syukurlah. Pasukan masih lengkap.
Hingga akhirnya saya melihat Emma duduk termangu di tumpukan batu.
“Kemana kita Mbak?” tanyanya.
Dia bingung karena jalurnya menghilang disini. Di sekitar kami penuh dengan bebatuan dan pohon cantigi. Sepertinya ini sih yang disebut dengan Pasar Dieng.
Sayang saya lupa mencatat ketinggiannya. Tapi perkiraan saya, letak Pos Pasar Dieng ini tidak sampai 100 meter ada di bawah pos Hargo Dalem. Tempatnya mbok Yem yang terkenal itu lho.
“Hmmm…ke arah kiri Mak!” sambil mengingat-ingat pesan David sebelumnya. Dia bilang, begitu di Pasar Dieng, orientasinya terus ke arah kiri. Kami harus hati-hati karena disini banyak percabangan jalur. Dan kalau tidak ada kabut, -ini katanya lagi- “Dari sini kita sudah bisa melihat Hargo Dalem. Letaknya ada di sebelah kiri atas.”
Maka pelan-pelan kami berjalan ke arah kiri. Tak lama kemudian, jalurnya ketemu lagi. Jelas sekali. Diantara batu-batuan dan pohon cantigi.
Kami masih melewati satu padang ilalang lagi. Dan kemudian….Kemudian nampak atap-atap bangunan di Hargo Dalem.
Sedikit ke atas lagi. Juga kelihatan puncak lawu hargo dumilah juga tugu serta bendera yang berkibar. Semua semakin jelas dilihat dari sini.
Ahhhh… akhirnya…!!!
-SELESAI-
CATATAN : pos HARGO DALEM (3.167 mdpl) disini terdapat tempat ritual dan pondok penziarah dan rumah botol. Sedangkan PUNCAK LAWU/ HARGO DUMILAH ada di ketinggian 3.245 mdpl; 07° 37' 38" LS dan 111° 11' 39" BT) Sebelum mencapai Hargo Dalem, sedikitnya ada sekitar 3 teras tanah lapang yang cukup luas berbentuk persegi panjang (mengarah timur-barat) yang di keempat sisinya dilingkungi oleh semak belukar.
Saya menduga, ini tempat untuk mendirikan tenda ketika musim pendakian cukup ramai. Kami datang dari sisi terpanjang tanah lapang ini. Terus membelah lapangan untuk kemudian naik lagi beberapa anak tangga yang terbuat dari batu ke teras berikutnya. Hingga tibalah kami di hargo dalem. Langsung berhadapan dengan petilasan makam. Di kanan kirinya ada bangunan berdinding seng yang digunakan orang untuk bersemedi.
Lalu kami belok kiri dan bertemu papan arah menuju Cemoro Kandang, Cemoro Sewu, Sendang Drajat, Jogorogo, Ceto .. dan satu lagi tidak terbaca. Kami berjalan ke arah Cemoro Sewu.
Hanya beberapa langkah dari sana langsung kami temukan pondok Mbok Yem itu.
Dan disinilah kami akan menginap malam ini.