Hari keenam Minggu, 3 Januari 2010; insiden di Pamanukan
“Lho? Kok nasi gorengnya nggak dihabiskan?” tanyanya.
Ini sudah pertanyaan kedua. Beberapa menit berselang, istrinya juga menanyakan hal yang sama. Kami senyam-senyum dan saling lirik. Nah lho. Hasim dimarahin bapak dan ibu pen
jual nasi di warung sebelah bengkel. Hasim salah tingkah.
“Nggak enak ya?” tanyanya lagi sambil mengangkat piring Hasim
.
“Enak paaaak” jawabnya patuh.
“Dia nggak biasa sarapan pagi. Perutnya begah” jelas Vera –
Vera ini istrinya Hasim- pada kami semua.
“Ooooooo….”Warung ini ternyata sering dikunjungi. Masakannya juga enak. Kalau malam minggu, mereka memasok rupa-rupa nasi dan lauk-pauk untuk para biker yang non
gkrong di Jalan Pemuda.
Pssst.. alm.
Sophan Sophian juga pelanggan tetapnya. Jadi kalau semp
at, mampirlah disini. Tempat singgah mak
an Buso
noriz “Zahra” menunya yang terkenal :
gulai kambing, cumi cabe ijo, Rica belu
t, rica cabe Ijo. Bahan-bahannya fresh dari TPA terd
ekat. Tidak dibekukan, tapi langsung dimasak.
024-7623694Kenapa tiba-tiba kami terdampar di t
epi pantai.. eh… di warung s
ebel
ah be
n
gkel ini sih?
Nah.. begini ceritanya.Tadi pagi,
setelah m
enjemur raincoat, memanaskan si Malih n the gank, minum kopi dan teh yang disediakan sambil memandang gunung Merbabu di hadapan.
Jam setengah delapan, kami teruskan perjalanan. Jarak sejauh 30 km melalui Salatiga-Bawen-Ungaran-Semarang kami tempuh
dalam
waktu sejam, Cirebon lebih jauh lagi. Jaraknya sekitar 251 km lagi dari sini. Apal
agi Jakarta, masih harus kami jalani sejauh lebih dari 523 km.
Setelah menembus kota Semarang ka
mi terus mengarah ke
jalur utara. Lalu kami berhenti di bengkel pertama yang kami lihat. Di Jalan Raya Jrakah yang saya baru sadari mobil, bus, motor yang bolak-balik di depannya, gemar sekali menyalakan klaksonnya. Berisik!
Saat i
tu p
osisi Hanz dan Hendrix ada di Sr
a
gen. J
am 3 subuh mereka berhenti dan me
nginap disana.
“Nggak kuat Bro!” Jadi sambil menunggu mereka, kami juga memperbaiki pio-nya Fajar. Begitu juga dengan ban belakangnya Scozzy
–motornya Hasim- yang dirasa tidak stabil, juga di betulkan posisinya.
Pukul sepuluh pagi. Ahirnya full team juga. Hendrix dan Hanz.
(Lulu sempat tanya, yang namanya Hanz yang mana Sis?”) keduanya sama-sama bertubuh besar, memakai kaos lengan panjang, mengenakan bandana merah dan memakai jaket Milys. Biker banget daaaah!
Masih ngantuk dan dekil. Tapi wajah mereka menyiratkan rasa syukur karena berhasil menyusul kami. Motor Hanz –oiya, pio-nya Hanz belum punya nama tuh. Kalau ada usul silakan lho- segera m
asuk kamar operas
i. CR-nya ditukar dengan CR si Malih. Cukup lama juga kami menunggu. Karena ada sparepart yang harus dicari dulu.
Jam dua belas kurang limabelas menit, enam motor+8 orang perlahan-lahan meninggalkan Semarang. Si Malih masih di depan, diikuti Hasim+Vera, Lulu, Fajar, Hendrix dan Hanz.
Kami belok ke jalur alternatif dan tiba-tiba sudah ada Cepiring. Yang paling saya ingat dari tempat ini adalah Pabrik Gula Cepiring, persis ada
di tepi jalan.
Jangan ditanya cuaca hari itu. Panas terik. Dua kali barisan sempat berhenti. Pertama wak
tu Hanz menyusul dan bilang.
“Gua nggak bisa ngikutin flow loe, Jeh” “Apa kamu mau di depan?” tanya suami saya.
“Nggak ah..! Gue tarik ulur aja. Kalo ngantuk jalan pelan-pelan. Kalo udah seger, gua gaspol nyusul barisan.” Maka, sejak saat itu, hingga malam nanti ketika insiden Pamanukan itu terjadi, Hanz akan selalu dalam posisi buncit dan
tarik ulur. Jam satu siang, sedang Jakarta masih 350 km lagi.
Dan kedua ketika pukul seten
gah tiga sore, Hendri
x juga menyusul ke depan, Dengan bahasa isyarat (seperti sedang menyuap makanan
) itu tandanya dia lapar dan tanya
“Kapan berhentinya bro?” Maka akhirnya kami berhenti di salah satu warung sate dan ton
gseng di daerah Brebes. Dan kemudi
an istirahat panjang di SPBU tak jauh dari situ. Pukul 5 sore kami bera
ngkat lagi. Langit terllihat berat dan gelap.
Wah.. kami bakal kejar-kejaran dengan hujan nih.
Saya lupa tepatnya jam berapa tapi setelah itu kami masih sempat mengisi bensin, melewatkan magrib di jalan dn sejam kemudian berhenti lagi di tengah jalan. Somewhere in pantura. Box belakang si Scozzy jatuh.
Untunglah masih ada bengkel las yang buka malam itu. Sambil menunggu bracketnya di las kembali, kami nongkrong lagi di salah satu warung tak jauh dari situ. Gembira menemukan sakelar listrik, Hendrix langsung membuka notebooknya. Hanz yang tidak bisa diam, mondar-mandir dengan pio-nya di sepanjang jalan.
–Hmmmm… hari yang aneh - Tragedi di Pamanukan dan Rit Celurit Sampeyan!Dalam gelap, tahu-tahu saya sudah tergeletak di tengah jalan.
Di sebelah, suami saya terguling meringis menahan sakit. Si Malih –
ini nama motor kami- juga terbalik di hadapan.
Kami sudah berbalik arah, duduk dan menatap sorot lampu truk tronton yang berdecit t
ak jauh di depan hidung ka
mi.
Untunglah motor yang dikemudikan Ha
sim, Hendrix, Lulu dan Fajar cepat bermanuver menghindari kami. Dan kemudian merapat di sekeliling dan bergerak cepat memblokir jalan melindungi kami.
Kami bertiga bagai penyanyi yang sedang disorot dengan lampu ribuan watt. Lalulintas terhenti saat itu juga.
Bagai ribuan slide foto yang bergantian di pelupuk mata saya. Bergan
ti-ganti seperti di film-film itu lho.
Selasa lalu di Pamanukan, hujan-hujanan mencari penginapan. Kamis tertawa riang foto-foto di jembatan Suramadu.
Berlompatan di pantai Lombang. Keluar masuk pabrik kerupuk di Magetan.
Terkantuk-kantuk menuju kamar diantara ABG Salatiga yang sedang tipsi.
Jangan-jangan ini akhir dari hidup saya….hiks!
Mata saya menyipit melihat silaunya lampu truk dan motor mereka. Saya beruntung pada saat itu tidak panik. Kalo dipikir kok bisa ya? Saya ingat betul, waktu itu saya sempat memeriksa diri saya dulu. Apa ada ya
ng luka atau patah. Dan menoleh pada belahan jiwa saya, menanyakan hal yang sama. Dia bilang kaki kirinya sakit.
“Oke… masih bisa jalan kan?” saat itu dalam pikiran saya adalah segera pindah ke bahu jalan. Ke tempat yang lebih aman.
Bergandengan kami menyingkir ke tepi jalan. Ada warung yang sudah tutup. Suami saya duduk di bale bambu. Saya berselonjor di teras tanah di dekatnya. Kami berdua masih shock. Ada yang datang
(lupa, Hasim atau Hendrix ya?) “(Saya) minta minum Hany!” pintanya. Wajahnya pucat.
“Air.. air.. minta air!” seru saya. Kini saya mulai panik. Aduuuuuh… saya nggak mau lagi naik motor..hiks! hiks!
Lalu kami diajak Hendrix
(atau Hasim ya?) kami pindah ke tempat yang lebih terang, Ada rumah tanpa pagar, yang terasnya kami pakai untuk duduk. Saya masih sempat melihat si Malih digotong oleh Fajar dan Lulu.
–sedih saya melihatnya tak berdaya- Motor-motor yang lain rupanya sudah diparkir di halaman rumah ini.
Dan jalan pantura di depan kami kembali normal seperti biasa.
Saya melirik jam tangan. Jam sepuluh malam saat itu. Suami saya rebah di teras. Dan dengan keras kepala tidak mau saya lihat kakinya.
–huh!- Sambil mengeluarkan tas mungil obat-obatan, saya periksa kakinya. Sejauh ini sih tidak ada yang patah hanya tulang keringnya memar, lututnya juga.
Hanya dia mendadak rewel saja karena saya tahu perasaannya tidak enak hati karena merepotkan orang banyak.
Hasim datang lagi dengan wajah cemas.
“Nggak apa-apa Jeh?” *which is means.. are you OK?*“ta’ rit clurit sampeyaaaaan”“Hahahaha…” my hubby is baaaaack!
Fajar dengan cekatan mengganti CR si Malih. Yup! Betul. CR abal-abal (
hasil tukar guling dengan CR-nya Hanz waktu di Semarang tadi) patah dengan suksesnya. Kemudian baru saya tahu kalau itu CR cadangan yang didapat dari Hasim. Dan sehari kemudian baru kami sadari, body lampu depan si Malih pecah, berikut windshieldnya.
Tapi yang menyelamatkan kami berdua adalah
(ini analisa kami) side bag yang isinya penuh dengan pakaian itu yang berperan sebagai
buffer. Sehingga kaki kami tidak terjepit si Malih dan kami tidak langsung jatuh menghantam aspal.
Dan lubang di jalanlah penyebabnya, juga kesalahan mengambil keputusan di sepersekian detik terakhir.
Sambil mengelap tangan dan wajah penuh peluh Fajar menjelaskan pada saya. Mungkin karena posisinya agak jauh di belakang, jadi bisa melihat rekaman kejadiannya dengan jelas. Ini juga yang masih saya ingat.
Jalur pan
tura itu gelap sekali. Tidak ada lampu jalannya
(mungkin lampunya mati?) Ada dua jalur yang mengarah ke Jakarta, dua jalur pula yang menuju Surabaya dan sebuah median jalan di tengahnya. Jalur ini umum digunakan untuk jalur distribusi. Dan malam hari adalah waktu terbaik bagi truk-truk besar pengangkut itu mondar-mandir diatasnya.
Barisan kami cukup rapi malam itu. Ada lima motor yang beriringan -
seperti yang sudah diceritakan di awal kisah ini, Hanz memang sedang jauh di belakang- Kelima motor itu meliuk-liuk menyusup dan melewati truk-truk itu.
Nah…ketika si Malih hendak menyalip ke jalur kanan, suami saya tidak mengira akan menemui lubang. Dan keputusan harus segera diambil, apa lubang itu dihajar terus atau dengan reflek membuang kearah kanan? Yang bisa jadi membahayakan pengemudi lain.
Dilema juga sih. Maka inilah keputusan sepersekian detik itu. lubang itupun dilibasnya.
Mendadak saya merasa pendek.
–ini akibat CR yang patah. Body belakang pio langsung amblas dan rata dengan ban- Suami saya masih berusaha keras memperlambat si malih, dia memegang stang motor yang mendadak tidak terkendali ke kanan dan ke kiri. Lalu kami menghantam lubang lagi. Dan menghantam lubang lainnya.
Lalu kami jatuh.
-TAMAT-(BTR, selesai ditulis 28 januari 2010 jam 10 pagi. Selamat ulang tahun Milys.!!)Terimakasih pada Allah SWT, teman-teman seperjalanan kami, Lulu, Hasim+Vera, Fajar, Hendrix dan Hanz; mbak Eri yang bertugas memberi makan kucing-kucing kami selama kami pergi ; Bro Amir, mas Eko Probo yang terus memantau pergerakan team, Gondrong dan keluarga besar SADIS di Semarang untuk hahahihi dan jamuannya selama di Semarang; kenalan baru kami dari teman-teman TSC –Tegal Scorpio Club-; David dan Adit yang mengantar hingga Madura; Toni, Umam, Wawan, Teguh dan keluarga besar BSR –Bangkalan Scorpio Rider- yang dengan tulus menyambut, menemani dan menghibur kami selama di Madura; mas Anto dan keluarga besarnya, teman-teman dari Mascord –Madiun Scorpio Rider- untuk tempat persinggahannya yang luar biasa; Boyke dan Eddy –dari ASOKA- yang barengan menuju Semarang, juga teman-teman ASOKA yang subuh naas itu merapat, membantu dan mengawal kami hingga Karawang- teman-teman dari SAB bandung, Andy Brod, Tommy, Melly, Mario Ovan, Rahboy, bro Purwanto, dan semua yang waktu itu memantau kejadian via BBM; terimakasih. Kami tak kuasa membalasnya, semoga Allah melimpahkan balasan yang sebesar-besarnya untuk kalian semua. Dan sisa hari itu terasa panjang sekali. Kami tiba di rumah jam setengah enam pagi. Lulu memisahkan diri menuju Pondok Gede, sisanya terus ke selatan ke arah Cibubur untuk kemudian menembus Parung. Beberapa harus segera mandi dan berkemas. Hari itu sudah waktunya masuk kerja.Suami saya nggak ngantor hari itu –ya iya laaaaah- pupus sudah resolusi tahun 2010 yang tidak mau absen satu hari pun- saya nggak tahu gimana dengan yang lain tapi Lulu sempat ditegur si bos karena tertidur di meja kantor.
thanks anyway Lu, untuk menjadi wingman kami dan selalu ceria selama di perjalanan.