Rating: | ★★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Religion & Spirituality |
Author: | Tere-Liye |
Iya deh.. saya ngaku. Saya itu orang yang paling cengeng sedunia. Membaca buku ini saja saya bersimbah air mata. Sedih.
Saya acungi 24 jempol saking semangatnya *jempol kedua tangan dan kaki saya plus kelima ekor kucing saya * Jempol untuk penulisnya. Kok bisa ya membuat sebuah tulisan yang bisa mengharu birukan hati seseorang? Tulisannya mengalir. Konflik dibangun di beberapa tempat. *dan tangisan muncul di setiap ada kesempatan * Dan endingnya tidak terlalu memaksakan.
Dan yang penting membuat saya berpikir ulang dan melihat kembali kepada diri sendiri. Betapa seringnya saya shalat dengan terburu-buru. Mepet ketika waktunya hampir usai. Betapa seringnya pikiran saya berkelana ketika bacaan itu saya lafalkan. Ah……..
Serpong 31 Maret 08 10:06
Masih ingat tsunami di Aceh akhir 2004 lalu?
Tokoh utama kisah ini bernama Alisa Delisa. bocah Lhok Nga berusia 6 tahun yang tinggal bersama ibunya –yg ia panggil Ummi- serta ketiga kakaknya, Cut Fatimah (15 tahun) dan si kembar Cut Aisyah dan Cut Zahra (12 tahun). Ayah mereka -Abi Usman- bekerja di Kapal Tanker dan pulang setiap 3 bulan sekali, Dalam bayangan saya, ia gadis cilik penggemar warna biru. Berambut keriting, bermata hijau, kulit putih kemerahan dan hobi main bola. Cerdas, lincah, banyak tanya dan menggemaskan orang-orang di sekitarnya.
Sulit benar menghafal bacaan shalatnya. “In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma….wa-ma….wa-ma….” Delisa kesulitan melanjutkan hafalan bacaan shalatnya. Matanya terpejam.Tangannya menjawil-jawil rambut keritingnya. “Wa-ma…Waaaa-, waaa, wa-ma…”
“Waaaaa ma-cet nih ye!” Aisyah yang sedang bermain gundu dengan Zahra tertawa kecil. Menyahut begitu saja.
Dan ketika pagi 26 Desember 2004 itu. Delisa sedang maju di muka kelas. Ujian hafalan shalat yang dinanti-nanti. Ummi menunggu di luar kelas. Tadi sebelum berangkat, ketiga kakaknya tersenyum-senyum mengantar kepergian adik dan Umminya.
Enam hari kemudian, Prajurit Smith dari Militer Amerika Serikat-lah yang menemukan Delisa tersangkut semak belukar berbunga putih empat kilometer dari sekolahnya. Dengan seluruh tubuh penuh luka, kaki koyak bernanah, kelaparan, kepanasan, kedinginan, Delisa setengah tidak sadarkan diri. Segera ia diterbangkan dengan helikopter super puma menuju Kapal Induk John F.Kennedy. Tak ada yang menemani. Hanya Delisa seorang.
Ia tak tahu bahwa ummi-nya hilang entah kemana. Kedua kakak kembarnya ditemukan mati berpelukan. Kakak tertuanya dikubur tiga hari setelah bencana. Rumahnya rata dengan tanah. Lapangan bola tempat ia biasa bermain rata. Sekolahnya hanya tinggal pondasi tiang bendera.
Yang saya kagum. Si penulis begitu detail menggambarkan Lhok Nga sebelum dan sesudah bencana tanpa timbul kesan mengurui dan membosankan. Serta tokoh-tokoh lain di sekitar Delisa. Ada Teuku Umam, teman sepak bola-nya, Tiur si anak yatim yang mengajarnya naik sepeda, Ustadz Rahman, guru mengajinya. Koh Acan, si penjual emas, Sahabat barunya , Suster Sophi, prajurit Smith dan boss-nya pak Ahmed yang ‘galak’ itu dan Kak Ubai, sukarelawan PMI.
Trus, gimana dong kelanjutannya?
Baca sendiri deeeeh….dijamin, paling tidak, mata kalian ikutan sembab seperti saya saat ini. Hiks!
tambahan : seandainya buku ini dibikin filmnya. aaaah.. *berkhayal tingkat tinggi*