“Jadinya pilih yang mana? Ke Ayutthaya atau Pattaya?” tanya suamiku, memastikan lagi. Sebel. Udah sering dijawab masih aja ditanyain lagi “Ayutthaya!” jeritku. Barangkali, pikirnya, kok tumben nih anak pantai kagak mau diajak backpack ke pantai.
Dalam bayanganku, mampir kesana seolah menghadirkan kembali kejayaan masa lalu. Beberapa dinasti bergantian memerintah bumi Thai. Beribu-ribu orang datang dan membawa upeti. Ribuan kapal mampir melewat sungai-sungai kecil di seputar kota.
Waktu membuka peta Periplus sebelum kami mampir kesini, mataku sudah tertumbuk di ujung utara kota Bangkok. Melihat logo bintang berwarna merah lambang interest place. Suatu daerah yang tertata rapi penuh grid. Dilingkungi air disekelilingnya dengan sistem pertahanan seperti itu, pasti menarik sekali. Dibanding objek lainnya, tempat ini tak kalah menariknya.
Ke Pattaya yang notabene di pantai pesisir selatan, sama sekali tidak menarik perhatianku. Hanya satu pesisir berisi deretan hotel, hostel, wisma, restoran dan segelintir toko souvenir. Dalam bayanganku nih…(sori deh .. kok bayangan melulu ya?) suasana kayak di Kuta. Turis
meluluuu!!!!
“Jadiii????” sebuah suara memecah lamunanku. Hampir meradang karena kesal, tapi nggak jadi karena melihatnya tersenyum geli karena hanya ingin menggodaku saja.
Ayuttaha merupakan ibukota lama bagi Thailand, terletak sekitar 76 kilometer di utara kota Bangkok. Kota ini sendiri dilalui oleh 3 sungai besar, Lopburi di utara, Pasak di timur dan sungai Chao Phya di sisi barat dan selatan.
Dari Bangkok kami menumpang kereta api. Dari beberapa jalur, kami pilih yang Northeastern line. Hampir setiap 2 jam ada kereta yang berangkat menuju Ayutthaya. Paling pagi pukul 05.45 hingga pukul 23.40 tengah malam.
Waktu itu kami ambil kereta kelas 3 yang berangkat jam 11.45 siang. Jangan bayangin kelas 3 nya seperti kelas ‘super’ ekonomi di Indonesia ya …huuuu … jauh banget! Walau kelas tiga, kereta ini bersih sekali. Dengan harga 15 Baht (atau sekitar 3750 rupiah) perorang kami dapat
memilih gerbong dan bangku kayu yang kami suka. Jendela berukuran 1 x 0,8 meter terbuka lebar tanpa perlu khawatir di lempar batu atau tiba-tiba ada kepala nongol dan nyengir disana. Tidak ada yang merokok. Tidak ada pengemis yang berseliweran atau pengamen yang mondar-mandir tiada henti. Penjual asongan tetap relatif jarang disini. Kalaupun ada mereka diharuskan memakai vest resmi tanda penjaja asongan. (two thumbs up!)
Kereta tepat berangkat pukul 11.45. Hampir ketinggalan kereta karena aku lagi sibuk jeprat jepret di sana-sini. Berikut wajah panik sang suami yang nongol di pintu gerbong He..he…. aku salah duga.. dikira keretanya bakal ngaret !!!
Bangku jelas tidak bernomor. Yang artinya, setiap penumpang bebas memilih tempat. Waktu itu aku berjalan mencari tempat yang cukup strategis. Di gerbong tengah masih ada beberapa bangku kosong. Di seberangnya duduk seorang Bhiksu tua disamping seorang bhiksu muda yang masih berusia paling enggak 12 tahunan lah, dengan walkman dan earphone di telinganya wah… dia terlihat fungkeeeeehhh sekaliii!!!!. Dalam hati aku berguman “kereeeeen.” Object menarik nih buat di foto. Segera kulempar backpack dan duduk disana.
Sontak dari bangku seberang sang Bhiksu tua berkata kepadaku (kalo boleh dibilang begitu) dengan bahasa yang sunguh mati aku tak tahu. Tangannya bergerak-gerak menunjuk. Bergantian. Kearahku dan menunjuk ke atas. Busyeeetttt!!!! Mau khotbah kali yeeee…..
Sedang suamiku cuma terbengong-bengong dan bertanya kepadaku. “Ngomong apa dia?” emangnya tukang sulap! Sama nggak ngertinya. Akhirnya sih nebak-nebak buah manggis …. Mencoba berpikir jernih dan tidak panik Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata dia hanya menunjuk-nunjuk bangku yang aku duduki dan dua plang tulisan aksara Thai yang menggantung di plafon gerbong diantara kami duduk.
Emang bahasa tubuh bener-bener universal language deh. Dengan begitu aku baru ngerti kalo kami nggak boleh duduk disana. Beberapa bangku disana memang dikhususkan buat Bhiksu. Orang sipil kagak boleh lah yaaa…
Beberapa hari tinggal disini, aku dapat mengamati dengan jelas betapa orang-orang seukuran Bhiksu sangat dihormati. Seperti halnya keluarga kerajaan.
Perjalanan selama 2 jam tidak terasa lama. Pemandangan di luar sana silih berganti seperti halnya di Indonesia. Vegetasinya, ya.. lingkungan permukimannya. Sama sekali tidak jauh berbeda. Nggak ada tanda-tandanya. Juga nggak ada kondektur yang bakal teriak-teriak mengingatkan penumpang yang akan turun. Kalo kami nggak secara kebetulan melihat plang bertuliskan Ayutthaya. Mungkin udah lewat deh. Kami bergegas turun. Dan tak lama kemudian, kereta api melanjutkan perjalanannya.
Stasiun kereta Ayutthaya ini tidak begitu besar. Sama seperti Stasiun Jatinegara deh, atau Stasiun CIrebon atau Purwokerto. Waktu itu sudah hampir pukul 2 siang. Dalam imajinasiku nih, suasana di stasiun bergerak sangaaaaaaaattt lambat. .. semua bergerak slow motion.
Orang-orang duduk di bangku kayu di emplasemen. Seekor anjing yang dengan cueknya tidur di lantai dekat pintu masuk. Beberapa turis, duduk di pojok sambil membaca lonely planet. Tidak ada pengemis juga tidak ada calo yang kadang-kadang sedikit opportunis mencari wisatawan.
Sadar bahwa menjadi daerah tujuan wisata. Bahkan sejak dari Stasiun kereta pun kami sudah disuguhi informasi yang sangat jelas. Papan peta lokasi berikut tarif tuk-tuk (alat angkutan terutama untuk jarak dekat. Kalo di Jakarta padanannya sih Bajaj) untuk setiap tujuan. Tarif tuk-tuk untuk lokasi terjauh sekali jalan seharga 100 Baht (atau sekitar 25 ribu rupiah) atau kalau tidak mau repot, carter tuk tuk aja sebesar 200 Baht/jam (50 ribu) mereka akan mengantar kemana saja kita suka.
Atau kalau masih kurang puas, disana juga ada pusat informasi turis. Mereka dengan senang hati akan membantu. Toilet umum 3 Baht (750 perak!) sekali masuk, uniknya si penjaga toilet juag sekaligus menjual tissue dan accessories lainnya.
Ayutthaya pernah menjadi pusat pemerintahan bumi Thai. Lebih dari 417 tahun (antara tahun 1350 – 1767) dengan 33 raja dari 5 dinasti yang menjalankan pemerintahan. Ada sekitar 13 object yang tersebar di segala penjuru kota berupa kompleks istana dan Wat (yang artinya kurang lebih kuil).
Untuk mengelilinginya dengan 'tenang', paling tidak dibutuhkan sehari dua hari disini. Aku lihat ada beberapa penginapan di depan stasiun berikut penyewaan sepeda. Sayang nggak sempet tanya harga.
Seorang wanita berusia antara 45 – 50 tahunan menghampiri kami. Dengan sopan dan dengan bahasa Inggris yang cukup fasih menawarkan jasa untuk mengantarkan kami ke lokasi-lokasi menarik di Ayutthaya. Baru kemudian aku sadar bahwa dia ternyata co drivernya tuk tuk.
Kami berjalan hingga pintu keluar stasin. Ada beberapa tuk tuk yang mangkal disana. Nggak ada tuh usaha untuk me-mark up harga. Jelas-jelas ia menunjuk papan harga di stasiun. Yang menarik, untuk membantu si turis memahami apa yang ia maksud, ia menunjukkan post card bergambar Wat dan istana yang dapat kami kunjungi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang. Tujuan kami adalah Wat Mahathat. Terletak benar-benar di jantung kota Ayutthaya. Terletak di antara wat lainnya. Cuaca terik sekali. Bayangin aja seperti jalan-jalan ke Tanjung Priok siang hari bolong. Panas banget! Gerah! Nyengir sendiri kalo mbayangin naek sepeda keliling-keliling kota. Hari gini? Pake sepeda? He..he…..
Sewa Tuk tuk sebesar 40 Baht (10 ribu rupiah) tepat berhenti di depan gardu tiket. Dengan tiket seharga 30 Baht (7500 rupiah) perorang dan barang belanjaan berupa buku seharga 20 Baht (5 ribu saja!). Kami segera beranjak menuju pintu gerbang yang berada tidak jauh dari sana.
Untungnya nggak terlalu banyak turis yang datang. Untuk seukuran jam 2 siang sih … ha..ha... wajar-wajar saja. Kabar baik justru. Bisa motret sepuas hati. Kagak banyak figurannya!
Hanya ada 2 orang penjaga berseragam membawa pentungan dan peluit (buat apaan sih? mengatur lalulintas? … penasaran kan? Lihat deh di akhir cerita..) yang terkantuk-kantuk di kursi di depan.
Kompleks Wat Mahathat cukup luas. Ada beberapa bangunan utama yang bentuknya mirip candi di Indonesia. Bedanya, mereka terbuat dari batu bata merah. Hebat juga ya arsiteknya. Jaman dulu sih mana ada teknologi beton. Numpuk batu candi kayak Borobudur aja susahnya setengah mati. Ini? Apalagi numpukin batu bata merah.
Yang paling menarik adalah patung kepala Budha yang ada di dalam batang pohon. Konon nggak ada bukti sejarah mengenai kepala Budha ini, tapi diperkirakan ketika Ayutthaya di serang oleh tentara Birma, kuil Mahathat terbakar dan musnah. Akibatnya sebagian besar runtuh dan kuil ini terabaikan lebih dari ratusan tahun. Banyak pepohonan tumbuh menyelubunginya. Versi lain menceritakan bahwa bahwa ada seorang pencuri mencoba untuk mencurinya, tetapi karena berat ia tidak dapat membawanya atau mungkin juga karena takut ketahuan orang, maka ia menyembunyikannya disana. HIngga tanpa disadari, akar pohon menyelimutinya seperti yang kita lihat saat ini.
Sedihnya, di beberapa tempat banyak patung Budha tanpa kepala akibat penjarahan. Sebagian candi sudah berlumut, penuh dengan kotoran kelelawar, miring akibat usia dan tinggal menunggu runtuhnya saja.
Mungkin karena sudah lelah. Atau sedikit bosan menungguku menjepret object. Suamiku duduk di gundukan bata. Entah dari mana asalnya mendadak muncul petugas dengan sempritannya yang melengking tinggi. Gengsi?
Sudah pasti.
Tapi untuk menyamarkannya suamiku hanya bertanya kepadaku. “maksudnya apa?” emangnya tukang sulap lagi. Baru ngeh setelah melihat ada tulisan (sori .. dalam aksara Thai) dan memandang gundukan bata tersebut yang ternyata masih merupakan situs bagian dari Wat Mahathat yang harus dilestarikan.
Sambil tersenyum simpul, kami berdua pelan-pelan berjalan menuju pintu gerbang. Bukan maksud melarikan diri tapi memang waktu udah bener-bener tidak memungkinkan.
Sayang, waktunya terbatas. Kami harus mengejar kereta jam 15.48 kembali ke Bangkok. Perjalanan dengan kereta tidak terasa. Suamiku malah sudah tertidur sejak tadi. Tapi suatu saat …. Suatu saat pasti balik lagi. Menuntaskan ke duabelas object lainnya …. Pastiii!!!! Teriakku.
(disambit omelan suami yang mendadak bangun dan pandangan aneh dari seluruh penumpang yang ada di sekitarku)
Serpong 5 Januari 2005 15:32
(ntar malem ada acara ngumpul di Mc D Sarinah Thamrin)
5 comments:
lengkap cerita nya .... kayak nya jadi inspirasi buat gw jalan ke ayuthha besok hehehehe
wah.... have fun yaaah...
mbak, untuk ke stasiun kereta hua lamphong dr daerah siam naik apa yaa??????
maaaab... udah nggak inget lagi :( ini kan trip 5 tahun laluu :D
ok dech hehehehehe
Post a Comment