“ Titip ya? Entar hari Senin.. tolong bawain ke kantor..” pesenku pada temen kantor yang pagi itu mau balik ke Jakarta. Hari itu hari Jum’at. Sebenernya tugas kantor udah selesai sejak pagi tadi. Mau balik lagi ke Jakarta .. nanggung ! Maka, sebagian barang aku pindahkan ke dalam tas temanku. Sedang sisanya masuk ke kerir yang bakal aku bawa nanti.
Hari itu, rencananya aku bakal lanjut ke Wonosobo. Bareng sebelas temen lainnya yang baru start entar malem dari Jakarta dengan kereta. Akhirnya kuputuskan untuk nongkrong disini sampai temen-temen dari Jakarta lewat. Kereta Sawunggalih trayek Sta. Senen – Kutoarjo bakal lewat dan berhenti sebentar di Sta. Cirebon sekitar pukul 10 malam nanti.
Terus terang, ini pengalaman pertama ngeback pack sendirian. Tapi dari pada bengong nggak jelas … mending jalan deh! So …. Segera check out dari hotel jatah kantor dan pindah ke hotel murmer sekitar stasiun kereta.
Kemaren, begitu datang di Cirebon (dan di sela-sela tugas kantor) aku sempet keliling sebentar untuk survey. Ada beberapa hotel murmer yang jaraknya hanya selemparan batu (saking deketnya!) dengan stasiun. Mulai yang harganya 20 rb s.d. 35rb permalam (standar single, fan, kamar mandi didalam/ luar) hingga yang harganya berkisar 95rb – 110 rb (AC, telp,
kulkas, kamar mandi didalam).
Sedang kendaraan umun di kota ini relatif mudah ditemui. Ada angkutan umum dan becak! Beberapa trayek kendaraan nomor D4, D6, GP (yang laennya lupa) yang melayani jalur seputar kota Cirebon. Mungkin setiap trayek dijatah ya… jadi, nggak terlalu banyak dan berebut penumpang. Perjalanan ke tiap lokasi nggak sampai 15 menit. Memang dasar ibu-ibu …. Pertama datang disini yang dicari pasti mal dulu! Biasaaaa… buat berorientasi! Kalo mau sight seeing keliling kota, gampang juga ..naek salah satu angkot. Ikuti mereka berputar satu keliling rute. He..he…
Setelah masuk kamar. Istirahat sebentar … langsung deh … bergerilya …Berikutnya … mau jalan kemana ya? Pertama yang harus dilakukan adalah cari info. Tanya resepsionis atau office boy. Dengan tulus mereka akan memberikan informasi kepada kita. Atau tanya sesama penumpang angkot. Bahkan spg di mal pun akan membantu. Beberapa interest place sudah kutandai. Ke keraton, kalo bisa lanjut ke sentra batik cirebon dan pasar Kanoman. Itu dulu deh.
“naek angkot aja. Lampu merah berhenti. Setelah itu nyambung dengan angkot lain. Di depan toko anu di perempatan berhenti. Dan lanjut pake becak.
“oh .. oke!” (kataku sambil mencatat di kertas) “Ongkosnya biasanya berapa ya?”
“angkot sih 1200 perak. Jauh deket sama aja. Becak. Tergantung jarak lah ya.. Tapi umumnya jarak deket sekitar 2500 – 3000 ribu “
Begitu sampai di jalan raya…. Keburu dicegat tukang becak. Setelah berhitung, sama aja bahkan lebih efisien naek becak. Jarak segitu dia mau dibayar 7000 perak. Pake ditungguin pula!
Jam sepuluh pagi. Panas sekali. Dan jarak ternyata cukup jauh juga. Becak yang kutumpangi berlenggak-lenggok melewati seluruh short cut yang bisa ia tembus. Melewati pasar, jalan raya hingga becak berdecit berhenti di sebuah jalan masuk.
Tidak jauh dari sana ada pos pembelian tiket masuk. Mirip kantor kecil sih. Beberapa set meja dan kursi, satu lemari berisi piagam dan file , satu set pesawat TV dan player, berikut rak berisi merchandise ala Keraton. Begitu aku membuka pintu dan melongok ke dalam segera disambut oleh seorang bapak tua yang menyodorkan buku tamu begitu tahu maksud kedatanganku.
Disudut sana, serombongan anak SMP baru selesai tour dengan diantar salah seorang guide. Sedang beberapa Bapak dengan pakaian beskap lengkap sudah nyegir begitu melihatku datang. (Kenapa nyengir ya? Bingung mode on …) Baru aku tahu kemudian. Mereka berbahagia karena ada pengunjung hari ini. Rupanya juga, mereka adalah beberapa guide resmi keraton yang sedang bertugas hari itu.
Tiket masuk seharga 2000 rupiah, ditambah 1000 rupiah untuk tambahan membawa kamera. Berbelanja buku dan CD mengenai Keraton Kesepuhan Cirebon.
Aku dikenalkan dengan salah seorang guide yang kini bertugas mengantarkanku berkeliling. Bapak ini tersenyum ramah menyambut jabat tangan yang kuulurkan kepadanya.
“Nama Bapak siapa?”
“Usman, …… mmmm ..Mbak-nya ini dari mana ya?”
“Oh … saya dari Jakarta Pak …, sori ya Pak .. kalo rada lama … habis ..sambil motret nih ..”
“Oh .. tidak apa-apa … santai aja .., lho kok sendirian? ”
“Oh ..banyak kok ” Sebagai jurus andalan bersilat lidah “ Tapi temen-temen saya baru
gabung entar malem”
Dengan tarif resmi guide yang hanya 10 ribu rupiah. Aku diajak Pak Usman berkeliling. Kompleks Keraton Kesepuhan Cirebon yang dibangun abad 15 ini tidak seluruhnya utuh. Hanya istana yang masih di jaga sesuai aslinya. Beberapa bangunan pendukung sudah beralih fungsi menjadi museum. Di sisi timur bagian dalem agung bahkan hanya tinggal puing-puing. Lokasi bangunan keraton Kesepuhan membujur dari utara ke selatan. Seperti laiknya keraton lainnya di Jawa. Orientasi keraton ini menghadap ke utara sebagai perwujudannya menghadap magnet dunia.(cmiiw)
Di sekitar kompleks sudah mulai padat rumah penduduk. Umumnya masih kerabat keraton. Di sela-sela penjelasannya yang sangat mendetail mengenai sejarah, mitos dan fakta seputar keraton, kami ngobrol mengenai kegiatannya sebagai guide keraton. “Dulu saya kerjaannya bisnis Mbak.Keluar kota terus. Keluarga saya tinggal disini. Sepuluh tahun terakhir, saya putuskan untuk menetap saja dan mengabdi ke keraton”
Miris juga mendengar penuturan Pak Usman. Tanpa bermaksud meminta belas kasihan. Ia menjawab pertanyaanku mengenai honor yang ia terima dari Keraton. “Honor perbulan untuk guide 60 rb. Sedang tukang rumput disini hanya 50 rb saja perbulannya” begitu kami melewati depan istana. Halaman luas berikut pohon-pohon rimbun di sekitar. Seorang tua sedang menyapu halaman.
“kadang-kadang untuk memotong rumput saja, kami meminta bantuan pemda” mengingat luasnya lapangan ilalang. “mereka kan punya mesin potong rumput”
“guide nya sendiri pak?” tanyaku.
“disini ada 12 orang guide. Umumnya masih kerabat keraton” dan umumnya sudah sepuh sebagaimana Pak Usman.
“Lho? Yang muda-nya pada kemana Pak?”
“merantau Mbak!” Bagaimana mereka berusaha menghidupi segenap isi keraton dan keluarga. Mengharap subsidi dari pemerintah masih jauh diluar harapan.
“Tidak seperti yang di jogja Mbak” curhatnya. “mereka disana kayaknya kok lebih terjamin”
“yah ..Pak .. pelan-pelan … saya lihat disini sudah mulai ada usaha untuk mandiri kok.” Jawabku begitu aku diajak berkeliling melihat usaha pengrajin furniture antik di tempat mereka. “tanah keraton di depan, udah disewakan kepada pemda”
“sekolah tari ada disisi timur keraton. Sayang peminat nya berguguran setiap tahunnya” Begitu kami melewati satu bangunan sekolah. Ada 3 kelas dan satu ruangan umum. Sayang ya… usaha pelestarian budaya seharusnya justru tumbuh dari sini.
Kemudian kami melewati taman istana. Konon, disini ada sumur yang tak pernah kering airnya. Bahkan di musim kemarau sekalipun. Airnya tawar begitu aku dijamu untuk mencicipinya langsung dari sumur. “Suuueeegeerrrrr!!!” Padahal lokasi keraton ini hanya beberapa kilometer jaraknya dari laut.
Nggak terasa, udah lebih dari dua jam! Kini kami sudah berada kembali di pos tiket. Tips kuberikan untuk Pak Usman seiring salam perpisahan dari mereka yang ada di pos mengantarku kembali menuju becak carteran.
Menoleh sedikit ke belakang ..( he.. he… seperti dalam filem-filem tuh …diiringi theme song …. gending sunda mengiringi becakku meninggalkan keraton Kasepuhan) tercenung membayangkan masa kejayaannya dulu. Ketika orang dari negeri seberang datang membawa cendera mata. Ketika rakyat datang bertelanjang kaki memohon perlindungan gusti ratu Ayu
Pakungwati. Ketika langit memerah karena mesjid keraton habis dilalap api. Ketika …….
“kemana kita sekarang Neng?” tanya si tukang becak memecah lamunan.
(he..he..tersadar dari lamunan) “lanjut Maaaannngg!!!”
Serpong, 31 Desember 2004
(seperti janjiku kepada Aris kunlun : “ini spin off-nya pendakian Sindoro, Ris!”)
No comments:
Post a Comment