Kisah sebelumnya : episode WHAT HAPPEN IN POS 3?
Jam 12.15 siang pos 4 Penggik (2520 mdpl)
Dan begitu kepala saya muncul di ujung tanjakan dan naik ke pelataran kecil itu. Ah.. Rupanya Joan dan Emma sedang bercakap-cakap dengan seorang bapak yang ada disana. Kami tiba di pos 4. Ada orang yang sudah lama kemping disini. Serombongan penduduk setempat yang akan turun lewat Ceto.
Katanya kami rombongan ke-enam yang naik lewat situ. Hah? Banyak juga. Salah dong kalau ada anggapan kalau ini jalur sepi.
Ini hari ke 7 mereka disini. Dengan tenda seadanya, jemuran malang melintang di sekitar dan sebuah radio transistor yang dinyalakan. Tak terlalu keras, tapi cukup mengisi kekosongan benak orang yang ada saat itu. Dua orang sedang leyeh-leyeh tidur di dalam tenda. Nampak nyaman sekali. Salah seorang dari mereka sedang turun ke bawah. Yang lain sedang menimang-nimang bunga edelweis. Entah di dapat darimana. Mungkin kemarin dulu waktu mereka muncak.
“Ada air?” tanya Kris.
“Ada mas.“ tapi lumayan juga kalau mau turun.
“Mata air? Sungai?” tanya saya lagi. Gembira. Hobi main air.
“Dari pipa air”
Oooooo… mungkinkah pipa air yang kemarin kami lihat sepanjang jalur dari pos 1 itu berujung disini?
Kami dibuatkan kopi oleh salah satu bapak yang baik hati itu. Berulang kali dia menatap kami dengan takjub.
“Perempuan semua?” –maksudnya, ini yang naik perempuan semua-
"Hihihi.. ada pak, cowoknya satu. Tuh!”
Mungkin karena kasihan melihat kami yang belum pernah lewat sini. Mungkin juga karena pengalaman pribadi melewati super tanjakan yang alaihim itu. Sambil ngobrol, dengan cekatan ia meraut batang kayu untuk kami. Voila!! Lima batang trekking pole sudah jadi.
Aduh.. kami terharu!
di pos 4 ini ada dua teras bersusun. Jalur naik kami membelah kedua teras ini. Di sayap kiri teras pertama ada bangunan sederhana beratap seng tanpa dinding, mirip seperti shelter di pos 3 tadi. Yang sekarang jadi tempat persediaan kayu bakar mereka.
Sedang di sayap kanannya ada pelataran tanah yang diatasnya dibangun tenda. Naik sedikit ke teras berikut, disanalah tempat kami menumpang masak dan istirahat. Tempatnya cukup luas. Cukuplah disini jika ingin dibangun sebuah tenda.
Menu makan siang kami kali ini adalah mie rebus ditambah suwir-suwir ayam (sisa kemarin), tuna kaleng sumbangan Kris plus crackers keju. Kopi lagi. Teh lagi. Dan buah.
Selama perjalanan dari pos 3 ke pos 4 tadi jalurnya tidak begitu ekstrim, satu setengah jam pertama paling tidak sekitar 10-15 derajat kemiringannya. Tapi setengah jam selanjutnya barulah tanjakan 45-60 derajat yang membuat paha dan betis saya berdenyut-denyut.
“Aaaah… !!!” kopi- ini ada yang punya? Tanya saya lagi si penggemar kopi. Masih ada segelas kopi yang belum diminum. Sambil menemani Joan dan Emma dengan sebatang rokoknya. Saya menyesap kopi dengan nikmatnya… ambooooy!!!
Wah.. tidak terasa sudah 2 jam disini. Mereka menolak snack dan cemilan yang kami beri. –ini tanda terimakasih kami karena sudah dibuatkan 5 gelas kopi- katanya, kami pasti lebih butuh karena akan naik. Duh.. baik banget ya mereka. Emma nyaris menangis karenanya “Sekarang udah jarang nemu orang yang kayak gini”
Mereka melepas kami dengan sebuah doa. Amin… semoga selamat di perjalanan.
Pukul 13.45 siang
Mulai terasa dingin dan kabut pun sering turun menyambut kami.
Kadang juga berupa siur angin yang mirip sekali suara aliran sungai. Atau bahkan turun tetes-tetes air akibat kabut terlalu tebal yang ia sendiri tak mampu lagi membendungnya.
Tinggal menunggu waktu saja. Sebentar lagi pasti turun hujan.
Dari sini jalan akan terus menanjak naik. Yah.. sekitar 45-60 derajat-lah. Empat puluh lima menit kemudian kami malah sudah menembus ketinggian 2715 mdpl. Ada pelataran datar. Dan dua pohon besar yang membingkainya.
Sepertinya sih ini puncak punggungan. Kami istirahat sebentar. Ada batang pohon rebah yang dapat kami gunakan sebagai sandaran. Emma, Joan dan Suwasti tergoda untuk menjepret jamur dan lumut yang ada di batang pohon itu. Cantik memang.
Tiba-tiba kabut pun terbuka. Lalu nampak puncak bukit di sebelah. Semua bertanya-tanya. Apakah nanti kami akan lewat situ? Mengingat jalur yang kami ikuti sekarang mengarah kesana, terus ke kanan. Nah..nah… semakin menarik saja perjalanan kali ini. Hati saya mulai berdebar-debar.
Pukul 14.45 siang
Kami beranjak dari tempat ini. Lalu hujan pun turun. Kadang gerimis, kadang deras. Malas membuka raincoat, saya, Emma dan Joan membuka senjata andalan masing-masing. Payung! lagipula jauh lebih aman karena melindungi tas kamera yang saya kalungkan di depan dada.
Saya terus merapatkan barisan pada Emma dan Joan. Suwasti dan Kris agak tertinggal di belakang, Tadi mereka berhenti dulu untuk memakai raincoat. Dari sini jalurnya jelas sekali dan orientasinya selalu ke kanan. Sekarang jalurnya turun terus dan kemudian naik lagi melalui tanjakan yang ….. ampuuuun deh!
Lima belas menit kemudian, kami mencapai kaki punggungan tetangga. Tidak harus nanjak bukit sebelah yang tadi kami lihat. Tapi sedikit naik dan melipir di kakinya. Kami mengikuti tanjakan tanah yang jalurnya yang berputar sedikit dan melewati hutan cemara yang nampaknya bekas terbakar di waktu lalu. Masih banyak batang-batang pohon yang menghitam. Walau kini semak belukar yang hijau mulai menghiasi diantaranya.
Rasanya tanjakan ini tak habis-habisnya. Emma dan Joan nampak tertelan kabut diantara pohon-pohon cemara hitam ini. Lalu tiba-tiba pandangan berubah.
Ah… hati saya bergemuruh.
Jadi inilah padang sabana itu. Seperti yang dijelaskan David waktu kami chat beberapa minggu lalu.
“Ada padang ilalang yang mirip seperti Cikasur, mbak” –cikasur itu salah satu tempat di gunung Argopuro, Jawa Timur- dan karena ini pula yang membuat saya ingin lewat jalur ini.
Kami datang dari arah barat. Di sisi kanan kami hutan cemara bekas terbakar itu, sedang disisi kiri kami ada hamparan padang ilalang yang luas. Rumputnya masih muda. Masih ABG. belum setinggi rumput di Cikasur atau gunung Merbabu. Masih setinggi betis dan warnanya masih hijau daun pisang.
Padangnya indah sekali.
Andai waktu itu tidak hujan. Barangkali kami akan lebih lama bermain-main disini.
Dan lautan rumput ini panjang sekali. Mungkin bandingannya sama seperti berjalan dari alun-alun timur menuju alun-alun barat surya kencana di gunung Gede.
Bedanya disini penuh rumput dan bukan pohon edelweis.
Bukan puncak gunung Gede dan Gumuruh di kanan kirinya, tapi siluet bukit dan hutan pinus di kanan kirinya.
Saya, Emma dan Joan saling menjepret dengan kamera. Cukup lama juga kami disini. Tapi Suwasti dan Kris belum kelihatan. Lalu perlahan-lahan kami berjalan menyusur padang ini. Beberapa kali pula kami berhenti menunggu mereka. Tapi belum kelihatan juga.Duh.. mereka ada dimana ya? Seharusnya mereka sudah ada disini.
Pukul 15.30 sore POS 5 Bulak Peperangan (2820 mdpl)
Setelah lama mengarungi padang ilalang itu. Akhirnya saya temukan juga pos 5. Menurut info yang diberikan David sebelum kami kesini.
“Dulu di pos 5 ada shelternya, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. tandanya hanya berupa batu propinsi saja. “
Jadi ini rupanya batu propinsi itu. Tapi ….“Ah .. mana Suwasti ya?” saya khawatir sekali.
next : kemana ya ibu yang satu itu?
Jam 12.15 siang pos 4 Penggik (2520 mdpl)
Dan begitu kepala saya muncul di ujung tanjakan dan naik ke pelataran kecil itu. Ah.. Rupanya Joan dan Emma sedang bercakap-cakap dengan seorang bapak yang ada disana. Kami tiba di pos 4. Ada orang yang sudah lama kemping disini. Serombongan penduduk setempat yang akan turun lewat Ceto.
Katanya kami rombongan ke-enam yang naik lewat situ. Hah? Banyak juga. Salah dong kalau ada anggapan kalau ini jalur sepi.
Ini hari ke 7 mereka disini. Dengan tenda seadanya, jemuran malang melintang di sekitar dan sebuah radio transistor yang dinyalakan. Tak terlalu keras, tapi cukup mengisi kekosongan benak orang yang ada saat itu. Dua orang sedang leyeh-leyeh tidur di dalam tenda. Nampak nyaman sekali. Salah seorang dari mereka sedang turun ke bawah. Yang lain sedang menimang-nimang bunga edelweis. Entah di dapat darimana. Mungkin kemarin dulu waktu mereka muncak.
“Ada air?” tanya Kris.
“Ada mas.“ tapi lumayan juga kalau mau turun.
“Mata air? Sungai?” tanya saya lagi. Gembira. Hobi main air.
“Dari pipa air”
Oooooo… mungkinkah pipa air yang kemarin kami lihat sepanjang jalur dari pos 1 itu berujung disini?
Kami dibuatkan kopi oleh salah satu bapak yang baik hati itu. Berulang kali dia menatap kami dengan takjub.
“Perempuan semua?” –maksudnya, ini yang naik perempuan semua-
"Hihihi.. ada pak, cowoknya satu. Tuh!”
Mungkin karena kasihan melihat kami yang belum pernah lewat sini. Mungkin juga karena pengalaman pribadi melewati super tanjakan yang alaihim itu. Sambil ngobrol, dengan cekatan ia meraut batang kayu untuk kami. Voila!! Lima batang trekking pole sudah jadi.
Aduh.. kami terharu!
di pos 4 ini ada dua teras bersusun. Jalur naik kami membelah kedua teras ini. Di sayap kiri teras pertama ada bangunan sederhana beratap seng tanpa dinding, mirip seperti shelter di pos 3 tadi. Yang sekarang jadi tempat persediaan kayu bakar mereka.
Sedang di sayap kanannya ada pelataran tanah yang diatasnya dibangun tenda. Naik sedikit ke teras berikut, disanalah tempat kami menumpang masak dan istirahat. Tempatnya cukup luas. Cukuplah disini jika ingin dibangun sebuah tenda.
Menu makan siang kami kali ini adalah mie rebus ditambah suwir-suwir ayam (sisa kemarin), tuna kaleng sumbangan Kris plus crackers keju. Kopi lagi. Teh lagi. Dan buah.
Selama perjalanan dari pos 3 ke pos 4 tadi jalurnya tidak begitu ekstrim, satu setengah jam pertama paling tidak sekitar 10-15 derajat kemiringannya. Tapi setengah jam selanjutnya barulah tanjakan 45-60 derajat yang membuat paha dan betis saya berdenyut-denyut.
“Aaaah… !!!” kopi- ini ada yang punya? Tanya saya lagi si penggemar kopi. Masih ada segelas kopi yang belum diminum. Sambil menemani Joan dan Emma dengan sebatang rokoknya. Saya menyesap kopi dengan nikmatnya… ambooooy!!!
Wah.. tidak terasa sudah 2 jam disini. Mereka menolak snack dan cemilan yang kami beri. –ini tanda terimakasih kami karena sudah dibuatkan 5 gelas kopi- katanya, kami pasti lebih butuh karena akan naik. Duh.. baik banget ya mereka. Emma nyaris menangis karenanya “Sekarang udah jarang nemu orang yang kayak gini”
Mereka melepas kami dengan sebuah doa. Amin… semoga selamat di perjalanan.
Pukul 13.45 siang
Mulai terasa dingin dan kabut pun sering turun menyambut kami.
Kadang-kadang tebal hingga menutup pandang.
Kadang juga berupa siur angin yang mirip sekali suara aliran sungai. Atau bahkan turun tetes-tetes air akibat kabut terlalu tebal yang ia sendiri tak mampu lagi membendungnya.
Tinggal menunggu waktu saja. Sebentar lagi pasti turun hujan.
Dari sini jalan akan terus menanjak naik. Yah.. sekitar 45-60 derajat-lah. Empat puluh lima menit kemudian kami malah sudah menembus ketinggian 2715 mdpl. Ada pelataran datar. Dan dua pohon besar yang membingkainya.
Sepertinya sih ini puncak punggungan. Kami istirahat sebentar. Ada batang pohon rebah yang dapat kami gunakan sebagai sandaran. Emma, Joan dan Suwasti tergoda untuk menjepret jamur dan lumut yang ada di batang pohon itu. Cantik memang.
Tiba-tiba kabut pun terbuka. Lalu nampak puncak bukit di sebelah. Semua bertanya-tanya. Apakah nanti kami akan lewat situ? Mengingat jalur yang kami ikuti sekarang mengarah kesana, terus ke kanan. Nah..nah… semakin menarik saja perjalanan kali ini. Hati saya mulai berdebar-debar.
Pukul 14.45 siang
Kami beranjak dari tempat ini. Lalu hujan pun turun. Kadang gerimis, kadang deras. Malas membuka raincoat, saya, Emma dan Joan membuka senjata andalan masing-masing. Payung! lagipula jauh lebih aman karena melindungi tas kamera yang saya kalungkan di depan dada.
Saya terus merapatkan barisan pada Emma dan Joan. Suwasti dan Kris agak tertinggal di belakang, Tadi mereka berhenti dulu untuk memakai raincoat. Dari sini jalurnya jelas sekali dan orientasinya selalu ke kanan. Sekarang jalurnya turun terus dan kemudian naik lagi melalui tanjakan yang ….. ampuuuun deh!
Lima belas menit kemudian, kami mencapai kaki punggungan tetangga. Tidak harus nanjak bukit sebelah yang tadi kami lihat. Tapi sedikit naik dan melipir di kakinya. Kami mengikuti tanjakan tanah yang jalurnya yang berputar sedikit dan melewati hutan cemara yang nampaknya bekas terbakar di waktu lalu. Masih banyak batang-batang pohon yang menghitam. Walau kini semak belukar yang hijau mulai menghiasi diantaranya.
Rasanya tanjakan ini tak habis-habisnya. Emma dan Joan nampak tertelan kabut diantara pohon-pohon cemara hitam ini. Lalu tiba-tiba pandangan berubah.
Ah… hati saya bergemuruh.
Jadi inilah padang sabana itu. Seperti yang dijelaskan David waktu kami chat beberapa minggu lalu.
“Ada padang ilalang yang mirip seperti Cikasur, mbak” –cikasur itu salah satu tempat di gunung Argopuro, Jawa Timur- dan karena ini pula yang membuat saya ingin lewat jalur ini.
Kami datang dari arah barat. Di sisi kanan kami hutan cemara bekas terbakar itu, sedang disisi kiri kami ada hamparan padang ilalang yang luas. Rumputnya masih muda. Masih ABG. belum setinggi rumput di Cikasur atau gunung Merbabu. Masih setinggi betis dan warnanya masih hijau daun pisang.
Padangnya indah sekali.
Andai waktu itu tidak hujan. Barangkali kami akan lebih lama bermain-main disini.
Dan lautan rumput ini panjang sekali. Mungkin bandingannya sama seperti berjalan dari alun-alun timur menuju alun-alun barat surya kencana di gunung Gede.
Bedanya disini penuh rumput dan bukan pohon edelweis.
Bukan puncak gunung Gede dan Gumuruh di kanan kirinya, tapi siluet bukit dan hutan pinus di kanan kirinya.
Saya, Emma dan Joan saling menjepret dengan kamera. Cukup lama juga kami disini. Tapi Suwasti dan Kris belum kelihatan. Lalu perlahan-lahan kami berjalan menyusur padang ini. Beberapa kali pula kami berhenti menunggu mereka. Tapi belum kelihatan juga.Duh.. mereka ada dimana ya? Seharusnya mereka sudah ada disini.
Pukul 15.30 sore POS 5 Bulak Peperangan (2820 mdpl)
Setelah lama mengarungi padang ilalang itu. Akhirnya saya temukan juga pos 5. Menurut info yang diberikan David sebelum kami kesini.
“Dulu di pos 5 ada shelternya, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. tandanya hanya berupa batu propinsi saja. “
Jadi ini rupanya batu propinsi itu. Tapi ….“Ah .. mana Suwasti ya?” saya khawatir sekali.
next : kemana ya ibu yang satu itu?
14 comments:
pertamax..........
nice catper....
Lanjooooot jalan teroooos..........
halah! kedua di thread sendiri ...xixixi...
no more sbt daah...eungap! hahaha...
huehuehuehehehehe.....
maksudnye klo lg nanjak :p
Membaca catpernya kayak cerita 1001 malam, bikin nagih!! lanjut gan! :-D
hayuuuuuk!!!! mariiiii....
aku ada sedang mengejar kaliyaann..hiks...secara berat badan nambah kok ya jalan berat amat... *curcol*
lah.. ada yg curcol.
kopi yang sangad endang markonah..
wuenak sekaliiiiii :D
ikut ngos2an tapi ketagihan...
hayuuu mbak lanjut...
sampe nambah simbah.
*sibuk ngetik kejar tayang*
Mbaa..mana cerita mayat perempuan yg di temuin itu..??
Diperkosa kali ya mbaa..iiih..syereeem....
Post a Comment