setengah sebelas siang.
Bus tujuan Tawangmangu yang kami tumpangi hari itu penuh sesak. Wajar karena ini satu-satunya moda transportasi murah meriah hingga Tawangmangu. Isinya kebanyakan sih penduduk lokal. Dan kadang turis lokal seperti kami. Kali ini Emma menjadi bendahara team. Sebelum berangkat tadi kami sudah urunan untuk pengeluaran selama disini. Tiap orang dikutip Rp 6,000 hingga terminal Karangpandan.
Kami duduk agak di belakang. Berhimpitan bersama penumpang lainnya. Ada yang membawa barang keranjang belanjaan dan sayur mayur yang disusun rapi bersama kelima kerir kami. Tapi yang menarik adalah sekarang bus trayek ini sudah dilengkapi dengan TV dan perangkat DVDnya. Siang itu diputar pertunjukan organ tunggal dari kampung terdekat. Cukuplah membuat seluruh penumpang bergoyang.
Satu jam kemudian kami diturunkan tepat di depan pintu masuk terminal Karangpandan. Dari informasi yang kami googling sebelum kami kesini, dari Terminal Karangpandan, kami harus naik angdes menuju pasar Kemuning. Pasar ini adalah pasar di desa Kemuning, desa yang letaknya tak jauh dari Candi Ceto. Sebelum mencapai pasar Kemuning, ada pangkalan ojek yang dapat mengantar hingga candi Ceto. Menurut info, tarifnya Rp 25,000/motor.
Tampang culun kami berlima menarik perhatian salah seorang sopir angdes –angkutan pedesaan- itu. Sopir angdes ini usul untuk langsung carter saja hingga candi Ceto, karena biasanya angkutan ini hanya beroperasi di pagi hari, mengantar orang untuk jual beli di pasar Kemuning.
Tawarannya tak kami tolak. Toh masih masuk budget. Daripada nyambung-, kami sih pilih carter aja. Ongkos Rp 60,000 sekali carter. Lagipula, saya nggak yakin deh bisa naik ojek dengan beban seberat ini mampu melewati tanjakan menuju Candi Ceto yang super aduhai itu.
“Tapi nggak narik penumpang lagi ya?” tawar Kris. Trauma dengan trip di masa lalu yang malah kelamaan di jalan karena si sopir masih menarik penumpang di tengah jalan.
“Iyaa”
“Dianter sampe pintu gerbang candi ya?” tambah saya. –lagi males jalan jauh -
“Iyaaaa…!!!” sopirnya ngambek. Hehehe…
Jam satu siang kendaraan yang kami sewa benar-benar menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang Candi. Hahaha… wong ujung jalannya adalah pintu gerbang candi.
Walau sepanjang jalan mata kami dimanjakan oleh hijaunya kebun teh yang ada di kanan kiri kami, tadi kami sempat juga deg-deg an karena mobil terus menerus menanjak dan berbelok melewati tikungan tajam. Untung sopirnya amat cekatan membawa kendaraannya.
Dan hujan pun turun.
“Great! “ keluh saya dalam hati.
Sambil membuka payung masing-masing dan membayar tiket masuk ke kawasan Candi Rp 2,500 per orang (Rp 10,000 untuk wisata mancanegara) setelah itu kami masuk ke salah satu warung yang letaknya tak jauh dari pintu gerbang candi. Ada sate kelinci sebagai menu utamanya.
“Apa? Kelinci?” Emma ragu-ragu. Joan juga sangsi.
“Haruskah kami makan makluk berbulu halus dan berwajah cute itu? “ tampang mereka berdua mendadak seperti kelinci Oh.. rasanya tidak tega.
Tapi akhirnya kami santap juga. Hanya Joan yang memesan sate ayam. Kami makan di teras warung –yang sekaligus menjadi rumah tinggal si ibu- Warung ini bangunan terdekat yang ada di depan kompleks candi. Sebenarnya kami tidak perlu khawatir jika datang kemalaman di tempat ini. Disini banyak penginapan. Saya nggak sempat tanya berapa harga sewa permalamnya. Dan disini juga ada beberapa warung makan, tempat parkir mobil dan motor berikut 2 toilet sederhana yang airnya dingin sekali.
15.30 WIB Pos Candi Ceto (1480 mdpl)
“Sekarang sudah jam setengah empat sore” ucap saya sambil menutup doa. Sambil melirik jam tangan “dan kita sudah ada di ketinggian 1500-an” lanjut saya lagi. Sedikit mengeluh –dan melenguh - karena molor lebih dari tiga jam. Seandainya tidak ada yang terlambat tadi, seharusnya kami sudah naik sekitar jam 1 siang tadi.
Kami berdiri tepat di depan pintu gerbang Candi. Ada puluhan anak tangga yang terus naik menuju gapura pertama. Ada sembilan teras–dari sebelas- yang telah direnovasi yang memanjang dari arah barat (tempat kami berdiri) dan terus naik ke arah timur mengarah ke puncak Lawu.
Sore itu cukup cerah. Hujan baru saja berhenti. Dan tempat wisata ini tidak terlalu ramai walau hari itu adalah hari libur nasional. Saya menduga karena sesiang tadi tempat ini terus diguyur hujan.
Untuk naik ke gunung Lawu, dari depan kawasan Candi Ceto ini entry pointnya dimulai dari gang pertama di sebelah kiri pintu gerbang Candi.
Ada jalan lebar yang sudah diperkeras dengan semen. Di beberapa titik malah dibuat trap tangga.
Perlahan kami berjalan menyusuri sisi utara pagar tembok kawasan Candi. Sebenarnya ada pintu masuk lagi. Kalau kita masuk ke kawasan candi, di teras keempat, ada beberapa pendopo kayu. Di sisi kirinya ada pintu keluar menuju tempat pemujaan patung Saraswati. Sama saja. Akhirnya jalan setapaknya juga akan bertemu dengan jalur naik kami barusan. Begitu sudah ada sedikit diatas kawasan Candi, jalur semen akan berbelok ke kanan menuju tempat pemujaan patung Dewi Saraswati.
Tapi kami memilih untuk terus lurus. Ada papan penunjuk arah menuju Candi Kethek. Dari sini jalannya berubah menjadi jalan tanah. Walaupun begitu jalurnya jelas sekali. Kami terus berjalan hingga lima belas menit kemudian kami sudah bertemu dengan sungai. Sungainya sendiri tidak terlalu dalam dan lebar, tipe sungai yang kering ketika musim kemarau tiba. Airnya saat itu (akhir februari 2010) hanya semata kaki tingginya namun jernih sekali. Jalurnya kemudian bersambung di seberang sungai dan terus menanjak ke arah kanan.
Jam 16.00 WIB Candi Kethek
Nah.. lima menit jauhnya dari seberang sungai ini. Kami jumpai sebuah candi. Candi Kethek namanya. Bentuknya menyerupai punden berundak raksasa. Disusun dari tumpukan batu yang ditata mengikuti bentuk kontur tanah. Ada tambahan mahkota raja yang bercat emas di puncak candi ini. Mungkin karena sudah sore dan perjalanan masih jauh saya jadi tidak tertarik menjelajah isi candi ini. Menyesal juga kalau dipikir-pikir. mungkin lain kali deh, khusus datang kesini untuk tour de candi.
Kami lewat di depan candi ini mengikuti jalan setapak yang terus mengarah ke arah kanan. Kadang kami temui pipa air milik penduduk di sepanjang jalan yang kami lewati. Jalannya jelas sekali tapi licin karena lumut. Dengan beban berat kami memang harus ekstra keras bertahan agar tidak terpeleset dan jatuh. Apalagi jalur sering tertutup rimbun semak belukar di kanan kirinya. Kami harus menyibaknya untuk melihat jalur dengan jelas. Pasti jarang sekali orang lewat sini.
Kami berjalan dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa kali masih berjumpa dengan ladang penduduk. Dan ketika mulai masuk hutan pinus pun, pohonnya tidak begitu rapat. Masih ada pohon perdu di kanan kirinya.
Jujur, kali ini saya frustasi ketika melihat jalurnya. Seharusnya saya senang karena jalan setapak ini cukup landai. Tapi kapan sampainya? Hehehe… pos 3 target kami hari ini masih jauh. Tapi kalau dipikir-pikir sih, sebenarnya saya jauh lebih frustasi karena beban bawaan saya yang berat ini. Kerir yang saya pakai kali ini tidak nyaman di pundak saya. Saya menyesal menukarnya di detik terakhir ketika akan berangkat kemarin. Saya jadi tidak dapat menikmati perjalanan sore ini.
sedih deh..curhat lagi deh
Previous story : empat plus satu
Bus tujuan Tawangmangu yang kami tumpangi hari itu penuh sesak. Wajar karena ini satu-satunya moda transportasi murah meriah hingga Tawangmangu. Isinya kebanyakan sih penduduk lokal. Dan kadang turis lokal seperti kami. Kali ini Emma menjadi bendahara team. Sebelum berangkat tadi kami sudah urunan untuk pengeluaran selama disini. Tiap orang dikutip Rp 6,000 hingga terminal Karangpandan.
Kami duduk agak di belakang. Berhimpitan bersama penumpang lainnya. Ada yang membawa barang keranjang belanjaan dan sayur mayur yang disusun rapi bersama kelima kerir kami. Tapi yang menarik adalah sekarang bus trayek ini sudah dilengkapi dengan TV dan perangkat DVDnya. Siang itu diputar pertunjukan organ tunggal dari kampung terdekat. Cukuplah membuat seluruh penumpang bergoyang.
Satu jam kemudian kami diturunkan tepat di depan pintu masuk terminal Karangpandan. Dari informasi yang kami googling sebelum kami kesini, dari Terminal Karangpandan, kami harus naik angdes menuju pasar Kemuning. Pasar ini adalah pasar di desa Kemuning, desa yang letaknya tak jauh dari Candi Ceto. Sebelum mencapai pasar Kemuning, ada pangkalan ojek yang dapat mengantar hingga candi Ceto. Menurut info, tarifnya Rp 25,000/motor.
Tampang culun kami berlima menarik perhatian salah seorang sopir angdes –angkutan pedesaan- itu. Sopir angdes ini usul untuk langsung carter saja hingga candi Ceto, karena biasanya angkutan ini hanya beroperasi di pagi hari, mengantar orang untuk jual beli di pasar Kemuning.
Tawarannya tak kami tolak. Toh masih masuk budget. Daripada nyambung-, kami sih pilih carter aja. Ongkos Rp 60,000 sekali carter. Lagipula, saya nggak yakin deh bisa naik ojek dengan beban seberat ini mampu melewati tanjakan menuju Candi Ceto yang super aduhai itu.
“Tapi nggak narik penumpang lagi ya?” tawar Kris. Trauma dengan trip di masa lalu yang malah kelamaan di jalan karena si sopir masih menarik penumpang di tengah jalan.
“Iyaa”
“Dianter sampe pintu gerbang candi ya?” tambah saya. –lagi males jalan jauh -
“Iyaaaa…!!!” sopirnya ngambek. Hehehe…
Jam satu siang kendaraan yang kami sewa benar-benar menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang Candi. Hahaha… wong ujung jalannya adalah pintu gerbang candi.
Walau sepanjang jalan mata kami dimanjakan oleh hijaunya kebun teh yang ada di kanan kiri kami, tadi kami sempat juga deg-deg an karena mobil terus menerus menanjak dan berbelok melewati tikungan tajam. Untung sopirnya amat cekatan membawa kendaraannya.
Dan hujan pun turun.
“Great! “ keluh saya dalam hati.
Sambil membuka payung masing-masing dan membayar tiket masuk ke kawasan Candi Rp 2,500 per orang (Rp 10,000 untuk wisata mancanegara) setelah itu kami masuk ke salah satu warung yang letaknya tak jauh dari pintu gerbang candi. Ada sate kelinci sebagai menu utamanya.
“Apa? Kelinci?” Emma ragu-ragu. Joan juga sangsi.
“Haruskah kami makan makluk berbulu halus dan berwajah cute itu? “ tampang mereka berdua mendadak seperti kelinci Oh.. rasanya tidak tega.
Tapi akhirnya kami santap juga. Hanya Joan yang memesan sate ayam. Kami makan di teras warung –yang sekaligus menjadi rumah tinggal si ibu- Warung ini bangunan terdekat yang ada di depan kompleks candi. Sebenarnya kami tidak perlu khawatir jika datang kemalaman di tempat ini. Disini banyak penginapan. Saya nggak sempat tanya berapa harga sewa permalamnya. Dan disini juga ada beberapa warung makan, tempat parkir mobil dan motor berikut 2 toilet sederhana yang airnya dingin sekali.
15.30 WIB Pos Candi Ceto (1480 mdpl)
“Sekarang sudah jam setengah empat sore” ucap saya sambil menutup doa. Sambil melirik jam tangan “dan kita sudah ada di ketinggian 1500-an” lanjut saya lagi. Sedikit mengeluh –dan melenguh - karena molor lebih dari tiga jam. Seandainya tidak ada yang terlambat tadi, seharusnya kami sudah naik sekitar jam 1 siang tadi.
Kami berdiri tepat di depan pintu gerbang Candi. Ada puluhan anak tangga yang terus naik menuju gapura pertama. Ada sembilan teras–dari sebelas- yang telah direnovasi yang memanjang dari arah barat (tempat kami berdiri) dan terus naik ke arah timur mengarah ke puncak Lawu.
Sore itu cukup cerah. Hujan baru saja berhenti. Dan tempat wisata ini tidak terlalu ramai walau hari itu adalah hari libur nasional. Saya menduga karena sesiang tadi tempat ini terus diguyur hujan.
Untuk naik ke gunung Lawu, dari depan kawasan Candi Ceto ini entry pointnya dimulai dari gang pertama di sebelah kiri pintu gerbang Candi.
Ada jalan lebar yang sudah diperkeras dengan semen. Di beberapa titik malah dibuat trap tangga.
Perlahan kami berjalan menyusuri sisi utara pagar tembok kawasan Candi. Sebenarnya ada pintu masuk lagi. Kalau kita masuk ke kawasan candi, di teras keempat, ada beberapa pendopo kayu. Di sisi kirinya ada pintu keluar menuju tempat pemujaan patung Saraswati. Sama saja. Akhirnya jalan setapaknya juga akan bertemu dengan jalur naik kami barusan. Begitu sudah ada sedikit diatas kawasan Candi, jalur semen akan berbelok ke kanan menuju tempat pemujaan patung Dewi Saraswati.
Tapi kami memilih untuk terus lurus. Ada papan penunjuk arah menuju Candi Kethek. Dari sini jalannya berubah menjadi jalan tanah. Walaupun begitu jalurnya jelas sekali. Kami terus berjalan hingga lima belas menit kemudian kami sudah bertemu dengan sungai. Sungainya sendiri tidak terlalu dalam dan lebar, tipe sungai yang kering ketika musim kemarau tiba. Airnya saat itu (akhir februari 2010) hanya semata kaki tingginya namun jernih sekali. Jalurnya kemudian bersambung di seberang sungai dan terus menanjak ke arah kanan.
Jam 16.00 WIB Candi Kethek
Nah.. lima menit jauhnya dari seberang sungai ini. Kami jumpai sebuah candi. Candi Kethek namanya. Bentuknya menyerupai punden berundak raksasa. Disusun dari tumpukan batu yang ditata mengikuti bentuk kontur tanah. Ada tambahan mahkota raja yang bercat emas di puncak candi ini. Mungkin karena sudah sore dan perjalanan masih jauh saya jadi tidak tertarik menjelajah isi candi ini. Menyesal juga kalau dipikir-pikir. mungkin lain kali deh, khusus datang kesini untuk tour de candi.
Kami lewat di depan candi ini mengikuti jalan setapak yang terus mengarah ke arah kanan. Kadang kami temui pipa air milik penduduk di sepanjang jalan yang kami lewati. Jalannya jelas sekali tapi licin karena lumut. Dengan beban berat kami memang harus ekstra keras bertahan agar tidak terpeleset dan jatuh. Apalagi jalur sering tertutup rimbun semak belukar di kanan kirinya. Kami harus menyibaknya untuk melihat jalur dengan jelas. Pasti jarang sekali orang lewat sini.
Kami berjalan dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa kali masih berjumpa dengan ladang penduduk. Dan ketika mulai masuk hutan pinus pun, pohonnya tidak begitu rapat. Masih ada pohon perdu di kanan kirinya.
Jujur, kali ini saya frustasi ketika melihat jalurnya. Seharusnya saya senang karena jalan setapak ini cukup landai. Tapi kapan sampainya? Hehehe… pos 3 target kami hari ini masih jauh. Tapi kalau dipikir-pikir sih, sebenarnya saya jauh lebih frustasi karena beban bawaan saya yang berat ini. Kerir yang saya pakai kali ini tidak nyaman di pundak saya. Saya menyesal menukarnya di detik terakhir ketika akan berangkat kemarin. Saya jadi tidak dapat menikmati perjalanan sore ini.
sedih deh..curhat lagi deh
Previous story : empat plus satu
28 comments:
hiiiyyy... trus rasanya apa mbak?? I'd rather eat indomie than i eat that cute lil' animal :D
mgkn bukan dikarenakan jalurnya mbak... tapi karena perasaan drop yg sudah menggelayut karena telat leih dari 3 jam
yang pasti rasanya lelaaaah sekali ..
kayak daging ayam :p
- jangan2 .. waktu itu aku makan daging ayam ya?-
wow... manteb nie tripnya.... dasyat mBak...
sekalian kulakan sayur... jual di pasar rebo hehaha..:D
sate kelinci itu enak banget loh... apalagi kalo di buat tongseng... muantaabbbb....
*kapan2 harus lewat nih jalur... :D
Mungkin memamg saatnya kita lenggang kangkung ditemani porter tangguh hehe
maunya sih gitu mas..
-business women- :p
bukannya kambing Dwi?
rasanya sih gitu mak.
sate kelinci hehehe gw terakhir makan ginian waktu KKN dulu tahun 97
lama banget
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
Lagi.. Lagi..
hehe ketagihan catpernya mba :)
hihi.. iya..iyaaa...
setuju saiya .. :D
jadi.. bisa ngopiiiii sesuka hati tanpa koatir air abis ..
setelah saiya liad-liad, hampir disetiap poto ada dewi joan, hanya 1 dewi saraswatinya he he he ..
Mba Ariiees...selalu bikin Iri deech...
Post a Comment