Steril itu pilihan. Itu kata saya lho. Ah… mungkin saya sedang cari pembenaran Tapi, sungguh. Ketika jumlah kucing peliharaanmu mulai bertambah dari waktu ke waktu, dan kamu mulai kerepotan, mulai kehilangan waktu untuk memperhatikan mereka satu persatu. Hmmm… menurut saya sih, sudah waktunya.
Buat saya, untuk ambil langkah itu, diperlukan kemauan untuk membuka pikiran. Open mind. Berani mencoba menerima perubahan. Masih ingat program pemerintah era Soeharto? Program KB itu lho. Dulu untuk menghimbau orang untuk ber-KB rasanya susahnya luar biasa. Betul nggak? Tapi lihat sekarang.
Atauuuuuu….. yang baru-baru ini deh. Program pemerintah untuk beralih dari minyak tanah ke gas? Whaduuuuh.. kok ya rasanya susah mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru. Padahal itu membuat hidup jauh lebih mudah. Memang butuh waktu sih.
Ngomongin hidup lebih mudah, saya jadi ingat ibu saya. Dulu ia nggak mau pakai mesin cuci.”Cucian nggak bersih!” katanya. Mendingan cara tradisional. Rendam, sikat dan bilas. Tapi saya, si manusia keren era millennium ini , keturunan satu generasi dibawahnya, lebih suka pakai mesin cuci.
Alasannya sederhana, karena cepat dan praktis. Walau pada kenyataannya, sekarang ibu saya masih menggunakan kombinasi keduanya. Mesin cuci dan cuci ala tradisional itu. Saya mau bilang apa. Namanya juga pilihan. Ya nggak? Terserah masing-masing deh.
Kembali ke persoalan steril. Teman saya nggak setuju waktu saya cerita akan mensteril semua kucing peliharaan saya. Katanya, saya menentang mother nature. Mengebiri hak asasi binatang untuk bereproduksi. Tidak berperikekucingan. Dan semua kata-kata mutiara lainnya. Semua saya telan dengan cengiran.
Argumen saya, dianggap tak masuk akal. Ingin menekan populasi kucing? “Huh.. mulia sekali anda. ” katanya. Padahal, apa dia mau pelihara tiga ekor anak kucing sekaligus? Apa dia mau pelihara delapan kucing sekaligus? Atau dia mau mengadopsi setiap anak kucing yang berkeliaran di jalan?
Yang menyedihkan sih, komentar ayah saya. Alkisah, bulan lalu saya pulang ke rumah. Waktu itu saya pamer foto-foto kucing saya di rumah. Begitu ia melihat foto si mpus pasca operasi steril, mendadak ia kehilangan gairah untuk meneruskannya. Dan bilang “pantes aja. Barangkali kamu kena karma. Belum bisa punya anak karena kucing-kucingmu disteril semua”
“Wuuuuuihhhh… deeeeeeepp!” sahut saya dalam hati. Tapi lagi-lagi si anak bengal ini penasaran. Suara hati harus disampaikan toh. Maka, kembalilah teori-teori mengenai kucing yang terus bertambah.
Tidak berhasil.
Maka, “apa setiap anak kucing yang lahir harus dibuang?”
“ya.. pilih kucing cowok dong”
“dan yang cewek dibuang?”
“eeee……”
“ayolah Paaa…. Open mind sedikit deh. *hihihi.. ni anak sotoy banget ya*
“ya enggak… “
“terus?”
Ayah saya diam. Dan kalau dia sudah diam. That’s it. End of conversation. Tapi saya diam aja. Mungkin dia sedang mikir. Sekali lagi. Memang butuh waktu. Sama seperti ibu saya dan mesin cucinya. Tapi saya nggak tahu dengan teman saya yang satu ini. Padahal, dia juga pelihara seekor kucing lho.
“Ya dibuang aja, Ries!”
“Lah? Apa dasarnya?”
“Toh ada teori survival. Siapa yang bertahan, dia yang akan terus hidup.”
“Dengan membuang kucing di pasar?”
“Iya”
“aku nggak tega”
Bukannya sama aja. Terori survival yang saya maksud adalah dengan menekan populasinya. Populasi yang cukup laaaah. Supaya jumlah orang yang mau pelihara kucing dan jumlah makanan yang tersedia bagi mereka tetap seimbang. *ceileeeee… tingkat tinggi nih*
Dengan mensteril kucingku, aku nggak perlu repot mencari orang untuk adopsi kucing, atau repot-repot harus membuang kucing ke pasar kan? Atau gini aja deh. Sebagai manusia yang berakal, aku mewakili kucingku untuk mengambil keputusan untuk mereka. Demi kesejahteraan mereka *analogi yang rada maksa sih sebenernya* “
“pokoknya kamu orang yang kejam, Ries”
“maksud lo?”
“tidak berperikekucingan”
Ah.. sutra lah… buat saya, steril itu pilihan. Mana tega saya membuang anak kucing yang baru lahir. Lebih baik saya steril saja induknya. Populasi kucing di rumah tetap tidak bertambah. Dan konsentrasi saya tentu bisa full untuk kucing-kucing tersayang.
Saya harap, orang juga mulai berpikir begitu. Kasihan kan ngeliat anak kucing yang dibuang di pasar, atau di jalan yang meong-meong kelaparan? Kasihan juga kan ngeliat banyak kucing tua yang sakit di tepi jalan karena nggak mampu mencari makan. Atau kucing yang mati karena ditabrak mobil di tengah jalan?
Apa kamu tega?
Serpong 30 maret 2009; 14.16 (sebenernya topic tentang steril kucing ini udah mengendap sejak setahun lalu. Baru bisa ditulis hari ini deh)
Buat saya, untuk ambil langkah itu, diperlukan kemauan untuk membuka pikiran. Open mind. Berani mencoba menerima perubahan. Masih ingat program pemerintah era Soeharto? Program KB itu lho. Dulu untuk menghimbau orang untuk ber-KB rasanya susahnya luar biasa. Betul nggak? Tapi lihat sekarang.
Atauuuuuu….. yang baru-baru ini deh. Program pemerintah untuk beralih dari minyak tanah ke gas? Whaduuuuh.. kok ya rasanya susah mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru. Padahal itu membuat hidup jauh lebih mudah. Memang butuh waktu sih.
Ngomongin hidup lebih mudah, saya jadi ingat ibu saya. Dulu ia nggak mau pakai mesin cuci.”Cucian nggak bersih!” katanya. Mendingan cara tradisional. Rendam, sikat dan bilas. Tapi saya, si manusia keren era millennium ini , keturunan satu generasi dibawahnya, lebih suka pakai mesin cuci.
Alasannya sederhana, karena cepat dan praktis. Walau pada kenyataannya, sekarang ibu saya masih menggunakan kombinasi keduanya. Mesin cuci dan cuci ala tradisional itu. Saya mau bilang apa. Namanya juga pilihan. Ya nggak? Terserah masing-masing deh.
Kembali ke persoalan steril. Teman saya nggak setuju waktu saya cerita akan mensteril semua kucing peliharaan saya. Katanya, saya menentang mother nature. Mengebiri hak asasi binatang untuk bereproduksi. Tidak berperikekucingan. Dan semua kata-kata mutiara lainnya. Semua saya telan dengan cengiran.
Argumen saya, dianggap tak masuk akal. Ingin menekan populasi kucing? “Huh.. mulia sekali anda. ” katanya. Padahal, apa dia mau pelihara tiga ekor anak kucing sekaligus? Apa dia mau pelihara delapan kucing sekaligus? Atau dia mau mengadopsi setiap anak kucing yang berkeliaran di jalan?
Yang menyedihkan sih, komentar ayah saya. Alkisah, bulan lalu saya pulang ke rumah. Waktu itu saya pamer foto-foto kucing saya di rumah. Begitu ia melihat foto si mpus pasca operasi steril, mendadak ia kehilangan gairah untuk meneruskannya. Dan bilang “pantes aja. Barangkali kamu kena karma. Belum bisa punya anak karena kucing-kucingmu disteril semua”
“Wuuuuuihhhh… deeeeeeepp!” sahut saya dalam hati. Tapi lagi-lagi si anak bengal ini penasaran. Suara hati harus disampaikan toh. Maka, kembalilah teori-teori mengenai kucing yang terus bertambah.
Tidak berhasil.
Maka, “apa setiap anak kucing yang lahir harus dibuang?”
“ya.. pilih kucing cowok dong”
“dan yang cewek dibuang?”
“eeee……”
“ayolah Paaa…. Open mind sedikit deh. *hihihi.. ni anak sotoy banget ya*
“ya enggak… “
“terus?”
Ayah saya diam. Dan kalau dia sudah diam. That’s it. End of conversation. Tapi saya diam aja. Mungkin dia sedang mikir. Sekali lagi. Memang butuh waktu. Sama seperti ibu saya dan mesin cucinya. Tapi saya nggak tahu dengan teman saya yang satu ini. Padahal, dia juga pelihara seekor kucing lho.
“Ya dibuang aja, Ries!”
“Lah? Apa dasarnya?”
“Toh ada teori survival. Siapa yang bertahan, dia yang akan terus hidup.”
“Dengan membuang kucing di pasar?”
“Iya”
“aku nggak tega”
Bukannya sama aja. Terori survival yang saya maksud adalah dengan menekan populasinya. Populasi yang cukup laaaah. Supaya jumlah orang yang mau pelihara kucing dan jumlah makanan yang tersedia bagi mereka tetap seimbang. *ceileeeee… tingkat tinggi nih*
Dengan mensteril kucingku, aku nggak perlu repot mencari orang untuk adopsi kucing, atau repot-repot harus membuang kucing ke pasar kan? Atau gini aja deh. Sebagai manusia yang berakal, aku mewakili kucingku untuk mengambil keputusan untuk mereka. Demi kesejahteraan mereka *analogi yang rada maksa sih sebenernya* “
“pokoknya kamu orang yang kejam, Ries”
“maksud lo?”
“tidak berperikekucingan”
Ah.. sutra lah… buat saya, steril itu pilihan. Mana tega saya membuang anak kucing yang baru lahir. Lebih baik saya steril saja induknya. Populasi kucing di rumah tetap tidak bertambah. Dan konsentrasi saya tentu bisa full untuk kucing-kucing tersayang.
Saya harap, orang juga mulai berpikir begitu. Kasihan kan ngeliat anak kucing yang dibuang di pasar, atau di jalan yang meong-meong kelaparan? Kasihan juga kan ngeliat banyak kucing tua yang sakit di tepi jalan karena nggak mampu mencari makan. Atau kucing yang mati karena ditabrak mobil di tengah jalan?
Apa kamu tega?
Serpong 30 maret 2009; 14.16 (sebenernya topic tentang steril kucing ini udah mengendap sejak setahun lalu. Baru bisa ditulis hari ini deh)