BANG ALEX YANG GUNDAH GULANA
13.00 siang
Siang itu bang alex –sopir kami- menyetir dengan rasa gundah.
Di sela-sela curhatnya kepada Pak John yang duduk di depan, ia membagi kegelisahan hatinya. Ia tidak puas dengan sistem bagi hasil mobil carterannya.
Saya, Joko dan Wangsa yang duduk di baris kedua, menguping dari belakang.
Kami prihatin. Namun keindahan alam ranah minang ini segera menghapus rasa sedih itu. Dibujuk akan diberi tips dan makan bersama. Hatinya pun kembali riang gembira.
Pukul satu siang itu. Kami resmi menuju Kersik Tuo. Setelah sebelumnya beberapa kali mobil dihentikan seperti di :
(1) pasar : untuk belanja tambahan logistik
(2) toko bahan bangunan : untuk mencari spirtus –ini untuk bahan bakar kompor kami selama di gunung nanti-
(3) bank mandiri : ini yang paling penting …haha .. spesial kami dedikasikan untuk Emma yang pusing tujuh keliling karena hari itu adalah batas akhir untuk pembayaran tagihan di kedainya.
Kersik Tuo akan kami capai dalam waktu sekitar 6-7 jam perjalanan lagi.
Harap dicatat ya. Ini sudah rute tercepat karena jalurnya memotong bukit dan gunung.
Umumnya orang menyebut jalur ini dengan jalur Padang-Sungai penuh via Muara Labuh. Jaraknya sekitar 260 km sadja.
Bandingkan jika kami harus menyusur pesisir pantai selatan yang jarak tempuhnya sekitar 277 km atau Padang-Sungai penuh via Painan yang jaraknya sekitar 329 km. Ataaaaaau … siapa tahu ada yang berniat berangkat dari kota Jambi. Yang jaraknya 458 km dan harus dibayar tunai dengan 11 jam perjalanan. Ampun deh apalagi kalau ditambah dengan jalan propinsi yang rusak!
Semua sudah kami lakukan. Melihat keluar. Melewati hutan. ngobrol. Tidur.
Bangun. Melewati dusun. Ngemil. Tidur lagi. Bangun. Ngobrol. Denger ipod.
Tidur lagi. Melewati hutan lagi, melewati sungai dan danau.
Hingga kami akhirnya nyaris menjerit karena gembira. Karena kami berhenti tepat di depaaaaan………
RUMAH MAKAN SUNGAI KALU
jam 15.30 sore
In a middle of nowhere .. ada sebuah rumah makan. Namanya Rumah Makan Sungai Kalu.
Posisinya persis di kilometer 117 dari kota padang dan sekitar 20 km lagi menuju kota Muara Labuh. Sudah rahasia umum.
Kalau kebetulan melihat banyak mobil dan truk parkir di depan rumah makan. Bisa dipastikan sembilan puluh sembilan persen -satu persennya mari kita sisakan untuk hal tak terduga yaaa…- makanan di rumah makan itu pasti enak dan muuuuurrrrraaaaaaaahhhhh… hahaha…!
Ini rumah makan yang direkomendasikan Bang Alex. Menu andalan rumah makan ini adalah :
ayam kampung bumbu cabe hijau.
Tahukah kalian…..potongan dada ayam kampung itu digoreng panas-panas dan dihidangkan diatas piring kecil.
Ditambah dengan hiasan kentang goreng yang dipotong memanjang –kentangnya baru digoreng juga-, ditambah beberapa keping jengkol goreng –ini juga masih panas mengepul karena baru digoreng-, lalu ketiganya disiram dengan bumbu sambal cabe hijau.
Tidak hanya cukup sampai disitu. Diatasnya kemudian ditabur bawang goreng yang kriuk kriuk gimanaaa gituuu…. Endang sekali! (dan saya heran, kenapa Pak Bondan belum datang kemari? )
Ya Tuhan.. tolonglah hamba, berat sekali godaan hidup ini.
Walau katanya menu utamanya hanya ayam bumbu cabe hijau ini.. tapi dia datang bersama teman-temannya.
Ada belut goreng bumbu cabe hijau, ikan sungai bumbu cabe hijau, gulai ikan, gulai ayam, daging rendang, dendeng balado, ayam bakar, tumis buncis kuah santan, sup kambing panas, rupa-rupa lalap dan menu lainnya yang saya tak sempat saya ingat lagi saking banyaknya.
Hoho.. makan dulu yaaaa…!
Satu setengah jam kemudian kami beranjak pergi. Hampir magrib ketika masuk kota Muara Labuh.
Dan hujan pun turun. Hanya sejenak kami sempat meresapi kota kecil ini.
Rumah-rumah gadang yang berkelebat cepat, para wanita dengan mukena yang bergegas menuju mesjid, dan langit yang mulai redup.
Lalu elf-pun melaju cepat. Jalan berkelok sepertinya makanan sehari-hari untuk Bang Alex. Saya tidak bisa membayangkan seandainya kami sendiri yang harus menyetir mobil di daerah ini.
Dalam gelap dan dentaman musik –isinya kompilasi lagu kesayangan bang Alex- mobil kami menyisir kelokan demi kelokan sempit yang menikung tajam nyaris membentuk leter U dan langsung disambung dengan kelokan berbentuk leter S.
Kadang Menikung naik. Kadang menikung turun. Jangan ditanya deh, apalagi ketika hari gelap, sudah berapa kali saya memejamkan mata saking takutnya. Ada satu atau dua kali elf ini berhenti di tepi jembatan. Entah apa yang dilakukan bang Alex. Berhenti untuk mencari toilet barangkali.
“Lho? Kenapa justru di tepi jembatan sih? Apa nggak berbahaya?” saya usil bertanya.
“Justru ini tempat yang paling aman” sahut Joko dengan sotoy-nya. Karena jembatan
yang memotong sungai ini, biasanya ada di lembah dan kontur tanahnya lumayan datar.
Dengan keadaan seperti ini, mobil kami akan terlihat jelas oleh mobil yang datang dari arah depan maupun belakang “Bahaya sekali jika kita berhenti di kelokan jalan.”
“ooooooo…”
KERSIK TUO YANG SENYAP
jam 8 malam
Bener-bener sunyi deh desa ini. Padahal baru jam 8 malam. Dingin. Dan sisa-sisa hujan masih turun. Tak ada keramaian.
Toko-toko pun sudah tutup sejak tadi. Hanya ada lampu-lampu temaram di beberapa sudut dan derum kendaraan yang lewat sesekali.
Tapi kenapa ada suara gedebuk terdengar di tengah kesunyian ini. Rasanya kok tidak match ya dengan suasana desa yang senyap ini.
Hmmm….bulu kuduk saya mulai berdiri.
bersambuuuuung..
oiya... foto-foto bisa diintip disini: a road to kerintji
8 comments:
seperti biasa, fotonya sederhana tapi kerennnnn pak bondan emang mau perjalanan darat 7 jam ke situ?
lannnjjjooottttt......
lanjutkaaaann............!! ah ga sabar mau baca cerita selanjutnya :((
saya tau suara gedebuknya apaaaaaaa, huhuuu... *elus-elus siku* :D
Tancaaap !
haha.. lanjoooot ke halaman berikuuuuuut....!
moga2 pak bondan mau kesono mas Agam..
xixixixi..
Post a Comment