Jam 8 malam, di Café Mbok Yem, pos HARGO DALEM (3.167 mdpl)
Mbok Yem memang luar biasa, warungnya buka 24 jam sehari, 365 hari setahun. Tak sekalipun pernah absen. Warung kecil di ketinggian 3000 meter ini, ia lebarkan ke selatan.
Bedeng memanjang beralas tikar ia berikan bagi pendaki dan peziarah yang kemalaman, tak punya tenda dan kelaparan tentunya.
Melalui Suwasti, Kris bilang akan menghabiskan logistiknya dan membangun tenda tak jauh dari café Mbok Yem.
Maka inilah kami : saya, Suwasti, Joan dan Emma. Memakai jaket hangat dan kupluk. Di bawah terang lampu neon, dengung suara genset, lengkingan Mbok Yem menyambut pendaki yang baru datang atau dengkuran pendaki yang tidur saking lelahnya.
Kami duduk melingkar saling merapatkan bahu. Di lantai beralas tikar, menghadap wadah plastik berisi kopi dan teh.
Kami ngobrol dan tertawa penuh arti. Mengingat petualangan hari itu. Akhirnya kami sampai juga. Dan rasanya sudah rindu ingin kembali lagi. Tidak hanya menyapa pucuk-pucuk daun cemara dan rumput liarnya. Tapi juga atas kehangatan dan persaudaraan yang kami rasakan selama ini.
Lalu sambil menunggu pesanan nasi pecel kami tiba. Saya kembali teringat kejadian sore itu di pos 5.
Pukul 15.30 sore POS 5 Bulak Peperangan (2820 mdpl)
Sambil menoleh kebelakang, jauh diujung sana, saya lihat dua orang berjalan beriringan.
“Oh.. itu mereka.” Ucap saya lega.
Sambil memberi tanda pada Emma dan Joan untuk terus maju. Kami perlahan bergerak kembali. Setelah pos 5 ini, ada dua bukit kecil di kiri kami.
Dan begitu keluar dari tempat ini.. ah.. kami bertemu lagi dengan padang sabana yang jauh lebih luas dari padang sebelumnya.
Lalu jalan setapaknya mulai membelok ke tenggara. Dan jauh di ufuk selatan, samar-samar kami lihat puncak bukit dan sebuah tower diatasnya.
“Hah? Ada tower disini?” kami semua sungguh penasaran. -Kemudian saya tahu, dari pemilik toko souvenir yang ada di pintu masuk Cemoro Sewu. Tower itu sudah tidak berfungsi lagi. Dia dibangun pada jaman pemerintahan presiden Soeharto. Entah milik siapa dan untuk apa.-
di tengah padang, jam 4 sore
“Gue pusing!” keluh Joan tak berkutik.
Hujan sudah berhenti. Tapi ia merasa kedinginan. Sedang saya merasa lapar -hmm.. suatu kombinasi yang aneh- Emma mengangsurkan roti dari daypack yang dibawanya. Dan kemudian mulai sibuk menjepret sana sini dan buntutnya minta dipotret dengan payung merahnya.
Halah!
Suwasti dan Kris menyusul tak lama kemudian. Kris menemukan sumber air. Ada cekungan resapan air hujan tak jauh dari situ. Ia kesana dan menyaring air dengan filter yang dibawanya.
Benar kata Emma. Seandainya tidak hujan disini, kami pasti akan berhenti lebih lama. Seandainya juga hari masih siang disini, kami juga pasti akan berlama-lama disini.
Sambil berdebat kesana kemari, saya dan Joan sibuk mengunyah roti . –iya, Joan juga ikutan makan roti- ia juga menelan obatnya. Saya juga sempat mengganti baju yang basah oleh keringat dan tempias hujan tadi. Kami istirahat sejenak disini. Diantara kabut yang mulai menutup bukit di ujung sana.
Pukul 16.30 sore
Emma kelihatan kecil sekali. Payung merahnya sesekali bergerak menyusuri jalan setapak yang membelah padang rumput yang luas ini. Dia sudah mulai kedinginan. Yang artinya, harus mulai berjalan lagi. Saya menyusul. Joan mengikuti tak lama kemudian. Kepalanya masih pusing. Tapi sudah lebih baik dibanding setengah jam lalu.
Suwasti menjemput Kris yang sedang menyaring air. Dan kemudian menyusul rombongan. Jarak kami masing-masing terpisah beberapa puluh langkah. Tapi masih bisa saling melihat.
Di ujung lapangan ini, ada sebuah bukit yang harus kami daki lagi. Cukup menguras tenaga. Apalagi ini sudah mulai memasuki ketinggian 3000 meter. Oksigen mulai tipis. Kami terengah-engah menghimpun oksigen masuk ke dalam paru-paru.
Pukul 17.00 sore
Dan begitu tiba di puncak bukit, kami melipir lagi dan mengitari beberapa punggungan bukit. Pohon cantigi di kanan-kiri kami.
Di sela-selanya terlihat juga batang pohon edelweis yang belum berbunga. Tiba-tiba, saya melihat sesuatu yang saya rindukan selama ini. Aha!
“Emmaaak!!!” teriak saya. “Itu puncaknya!!!”
Sambil menunjuk jauh disana, saya melihat tugu dan dan sebuah bendera diatasnya. Sedang berkibar. Kecil sekali. Tapi saya senang karena sebentar lagi kami akan tiba.
Dari jauh Emma mengangguk –saya yakin sebenarnya dia juga sedang tersenyum lebar -.
Ia kembali melangkah. Sesekali saya menoleh ke belakang, memastikan Joan masih ada.
Di kelokan tak jauh dari Joan, nampak Suwasti dan Kris. Oh.. syukurlah. Pasukan masih lengkap.
Hingga akhirnya saya melihat Emma duduk termangu di tumpukan batu.
“Kemana kita Mbak?” tanyanya.
Dia bingung karena jalurnya menghilang disini. Di sekitar kami penuh dengan bebatuan dan pohon cantigi. Sepertinya ini sih yang disebut dengan Pasar Dieng.
Sayang saya lupa mencatat ketinggiannya. Tapi perkiraan saya, letak Pos Pasar Dieng ini tidak sampai 100 meter ada di bawah pos Hargo Dalem. Tempatnya mbok Yem yang terkenal itu lho.
“Hmmm…ke arah kiri Mak!” sambil mengingat-ingat pesan David sebelumnya. Dia bilang, begitu di Pasar Dieng, orientasinya terus ke arah kiri. Kami harus hati-hati karena disini banyak percabangan jalur. Dan kalau tidak ada kabut, -ini katanya lagi- “Dari sini kita sudah bisa melihat Hargo Dalem. Letaknya ada di sebelah kiri atas.”
Maka pelan-pelan kami berjalan ke arah kiri. Tak lama kemudian, jalurnya ketemu lagi. Jelas sekali. Diantara batu-batuan dan pohon cantigi.
Kami masih melewati satu padang ilalang lagi. Dan kemudian….Kemudian nampak atap-atap bangunan di Hargo Dalem.
Sedikit ke atas lagi. Juga kelihatan puncak lawu hargo dumilah juga tugu serta bendera yang berkibar. Semua semakin jelas dilihat dari sini.
Ahhhh… akhirnya…!!!
-SELESAI-
CATATAN : pos HARGO DALEM (3.167 mdpl) disini terdapat tempat ritual dan pondok penziarah dan rumah botol. Sedangkan PUNCAK LAWU/ HARGO DUMILAH ada di ketinggian 3.245 mdpl; 07° 37' 38" LS dan 111° 11' 39" BT) Sebelum mencapai Hargo Dalem, sedikitnya ada sekitar 3 teras tanah lapang yang cukup luas berbentuk persegi panjang (mengarah timur-barat) yang di keempat sisinya dilingkungi oleh semak belukar.
Saya menduga, ini tempat untuk mendirikan tenda ketika musim pendakian cukup ramai. Kami datang dari sisi terpanjang tanah lapang ini. Terus membelah lapangan untuk kemudian naik lagi beberapa anak tangga yang terbuat dari batu ke teras berikutnya. Hingga tibalah kami di hargo dalem. Langsung berhadapan dengan petilasan makam. Di kanan kirinya ada bangunan berdinding seng yang digunakan orang untuk bersemedi.
Lalu kami belok kiri dan bertemu papan arah menuju Cemoro Kandang, Cemoro Sewu, Sendang Drajat, Jogorogo, Ceto .. dan satu lagi tidak terbaca. Kami berjalan ke arah Cemoro Sewu.
Hanya beberapa langkah dari sana langsung kami temukan pondok Mbok Yem itu.
Dan disinilah kami akan menginap malam ini.
Mbok Yem memang luar biasa, warungnya buka 24 jam sehari, 365 hari setahun. Tak sekalipun pernah absen. Warung kecil di ketinggian 3000 meter ini, ia lebarkan ke selatan.
Bedeng memanjang beralas tikar ia berikan bagi pendaki dan peziarah yang kemalaman, tak punya tenda dan kelaparan tentunya.
Melalui Suwasti, Kris bilang akan menghabiskan logistiknya dan membangun tenda tak jauh dari café Mbok Yem.
Maka inilah kami : saya, Suwasti, Joan dan Emma. Memakai jaket hangat dan kupluk. Di bawah terang lampu neon, dengung suara genset, lengkingan Mbok Yem menyambut pendaki yang baru datang atau dengkuran pendaki yang tidur saking lelahnya.
Kami duduk melingkar saling merapatkan bahu. Di lantai beralas tikar, menghadap wadah plastik berisi kopi dan teh.
Kami ngobrol dan tertawa penuh arti. Mengingat petualangan hari itu. Akhirnya kami sampai juga. Dan rasanya sudah rindu ingin kembali lagi. Tidak hanya menyapa pucuk-pucuk daun cemara dan rumput liarnya. Tapi juga atas kehangatan dan persaudaraan yang kami rasakan selama ini.
Lalu sambil menunggu pesanan nasi pecel kami tiba. Saya kembali teringat kejadian sore itu di pos 5.
Pukul 15.30 sore POS 5 Bulak Peperangan (2820 mdpl)
Sambil menoleh kebelakang, jauh diujung sana, saya lihat dua orang berjalan beriringan.
“Oh.. itu mereka.” Ucap saya lega.
Sambil memberi tanda pada Emma dan Joan untuk terus maju. Kami perlahan bergerak kembali. Setelah pos 5 ini, ada dua bukit kecil di kiri kami.
Dan begitu keluar dari tempat ini.. ah.. kami bertemu lagi dengan padang sabana yang jauh lebih luas dari padang sebelumnya.
Lalu jalan setapaknya mulai membelok ke tenggara. Dan jauh di ufuk selatan, samar-samar kami lihat puncak bukit dan sebuah tower diatasnya.
“Hah? Ada tower disini?” kami semua sungguh penasaran. -Kemudian saya tahu, dari pemilik toko souvenir yang ada di pintu masuk Cemoro Sewu. Tower itu sudah tidak berfungsi lagi. Dia dibangun pada jaman pemerintahan presiden Soeharto. Entah milik siapa dan untuk apa.-
di tengah padang, jam 4 sore
“Gue pusing!” keluh Joan tak berkutik.
Hujan sudah berhenti. Tapi ia merasa kedinginan. Sedang saya merasa lapar -hmm.. suatu kombinasi yang aneh- Emma mengangsurkan roti dari daypack yang dibawanya. Dan kemudian mulai sibuk menjepret sana sini dan buntutnya minta dipotret dengan payung merahnya.
Halah!
Suwasti dan Kris menyusul tak lama kemudian. Kris menemukan sumber air. Ada cekungan resapan air hujan tak jauh dari situ. Ia kesana dan menyaring air dengan filter yang dibawanya.
Benar kata Emma. Seandainya tidak hujan disini, kami pasti akan berhenti lebih lama. Seandainya juga hari masih siang disini, kami juga pasti akan berlama-lama disini.
Sambil berdebat kesana kemari, saya dan Joan sibuk mengunyah roti . –iya, Joan juga ikutan makan roti- ia juga menelan obatnya. Saya juga sempat mengganti baju yang basah oleh keringat dan tempias hujan tadi. Kami istirahat sejenak disini. Diantara kabut yang mulai menutup bukit di ujung sana.
Pukul 16.30 sore
Emma kelihatan kecil sekali. Payung merahnya sesekali bergerak menyusuri jalan setapak yang membelah padang rumput yang luas ini. Dia sudah mulai kedinginan. Yang artinya, harus mulai berjalan lagi. Saya menyusul. Joan mengikuti tak lama kemudian. Kepalanya masih pusing. Tapi sudah lebih baik dibanding setengah jam lalu.
Suwasti menjemput Kris yang sedang menyaring air. Dan kemudian menyusul rombongan. Jarak kami masing-masing terpisah beberapa puluh langkah. Tapi masih bisa saling melihat.
Di ujung lapangan ini, ada sebuah bukit yang harus kami daki lagi. Cukup menguras tenaga. Apalagi ini sudah mulai memasuki ketinggian 3000 meter. Oksigen mulai tipis. Kami terengah-engah menghimpun oksigen masuk ke dalam paru-paru.
Pukul 17.00 sore
Dan begitu tiba di puncak bukit, kami melipir lagi dan mengitari beberapa punggungan bukit. Pohon cantigi di kanan-kiri kami.
Di sela-selanya terlihat juga batang pohon edelweis yang belum berbunga. Tiba-tiba, saya melihat sesuatu yang saya rindukan selama ini. Aha!
“Emmaaak!!!” teriak saya. “Itu puncaknya!!!”
Sambil menunjuk jauh disana, saya melihat tugu dan dan sebuah bendera diatasnya. Sedang berkibar. Kecil sekali. Tapi saya senang karena sebentar lagi kami akan tiba.
Dari jauh Emma mengangguk –saya yakin sebenarnya dia juga sedang tersenyum lebar -.
Ia kembali melangkah. Sesekali saya menoleh ke belakang, memastikan Joan masih ada.
Di kelokan tak jauh dari Joan, nampak Suwasti dan Kris. Oh.. syukurlah. Pasukan masih lengkap.
Hingga akhirnya saya melihat Emma duduk termangu di tumpukan batu.
“Kemana kita Mbak?” tanyanya.
Dia bingung karena jalurnya menghilang disini. Di sekitar kami penuh dengan bebatuan dan pohon cantigi. Sepertinya ini sih yang disebut dengan Pasar Dieng.
Sayang saya lupa mencatat ketinggiannya. Tapi perkiraan saya, letak Pos Pasar Dieng ini tidak sampai 100 meter ada di bawah pos Hargo Dalem. Tempatnya mbok Yem yang terkenal itu lho.
“Hmmm…ke arah kiri Mak!” sambil mengingat-ingat pesan David sebelumnya. Dia bilang, begitu di Pasar Dieng, orientasinya terus ke arah kiri. Kami harus hati-hati karena disini banyak percabangan jalur. Dan kalau tidak ada kabut, -ini katanya lagi- “Dari sini kita sudah bisa melihat Hargo Dalem. Letaknya ada di sebelah kiri atas.”
Maka pelan-pelan kami berjalan ke arah kiri. Tak lama kemudian, jalurnya ketemu lagi. Jelas sekali. Diantara batu-batuan dan pohon cantigi.
Kami masih melewati satu padang ilalang lagi. Dan kemudian….Kemudian nampak atap-atap bangunan di Hargo Dalem.
Sedikit ke atas lagi. Juga kelihatan puncak lawu hargo dumilah juga tugu serta bendera yang berkibar. Semua semakin jelas dilihat dari sini.
Ahhhh… akhirnya…!!!
-SELESAI-
CATATAN : pos HARGO DALEM (3.167 mdpl) disini terdapat tempat ritual dan pondok penziarah dan rumah botol. Sedangkan PUNCAK LAWU/ HARGO DUMILAH ada di ketinggian 3.245 mdpl; 07° 37' 38" LS dan 111° 11' 39" BT) Sebelum mencapai Hargo Dalem, sedikitnya ada sekitar 3 teras tanah lapang yang cukup luas berbentuk persegi panjang (mengarah timur-barat) yang di keempat sisinya dilingkungi oleh semak belukar.
Saya menduga, ini tempat untuk mendirikan tenda ketika musim pendakian cukup ramai. Kami datang dari sisi terpanjang tanah lapang ini. Terus membelah lapangan untuk kemudian naik lagi beberapa anak tangga yang terbuat dari batu ke teras berikutnya. Hingga tibalah kami di hargo dalem. Langsung berhadapan dengan petilasan makam. Di kanan kirinya ada bangunan berdinding seng yang digunakan orang untuk bersemedi.
Lalu kami belok kiri dan bertemu papan arah menuju Cemoro Kandang, Cemoro Sewu, Sendang Drajat, Jogorogo, Ceto .. dan satu lagi tidak terbaca. Kami berjalan ke arah Cemoro Sewu.
Hanya beberapa langkah dari sana langsung kami temukan pondok Mbok Yem itu.
Dan disinilah kami akan menginap malam ini.